"Tu ... tunangan?" Tristan dan Gia tersentak kaget mendengar penuturan Bella bahwa Tristan adalah tunangannya.
"Iya. Ini ada apa sih?" tanya Bella kini mulai frustasi.
Tristan menghela nafasnya dalam, "Bella, Saya memang Tristan Emilio Fariq, orang yang bertanya di seminar Kamu, juga orang yang duduk di sebelah Kamu di pesawat, tapi ... Saya bukan tunangan Kamu," jelas Tristan.
Bella terdiam, masih mencerna ucapan Tristan yang tidak bisa Ia percayai.
"Mas Saya gak mungkin salah, Saya ingat jelas Kamu dan Saya ... di rumah Kamu ..."
"Bella Bella, tunggu dulu. Dari mana Kamu tahu dan bisa bicara seperti itu?" potong Tristan cepat.
"Aku hanya ingat. Aku bahkan masih ingat tanggalnya, hari pertunangan itu," kekeuh Bella.
"Kalau begitu tanggal berapa?"
"7 November 2019," jawab Bella.
Tristan dan Gia kembali terdiam. Apa time travel itu sungguh ada? Atau Bella hanya sekedar berhalusinasi akibat kecelakaan? Kemungkinan-kemungkinan seperti itu kini terlintas di pikiran mereka. Ada apa dengan gadis ini?
"Sekarang tanggal 18 Februari 2019. Kamu berhalusinasi, hm?" tanya Tristan, masih dengan nada yang lembut seperti tadi.
Tampak Bella kini gelagapan. Lalu perlahan kepalanya kembali sakit, Ia bahkan memegangi pelipisnya sekarang. Gia bergerak cepat mendekat, mengusap kepala Bella, meredakan rasa sakit.
"Apa mungkin ini cuma halusinasi? Tapi itu benar-benar nyata dalam ingatan Saya, kalau Kamu adalah tunangan Saya," ujar Bella.
Tristan menggeleng, "Saya bukan tunangan Kamu, mungkin ini memang efek kecelakaan karena Kamu terakhir berinteraksi dengan Saya di pesawat sebelum pendaratan darurat itu terjadi," ujarnya.
Bella hanya bisa terdiam. Hatinya mengatakan tidak, Ia yakin Tristan adalah tunangannya. Tapi melihat Tristan seperti ini Ia tidak bisa apa-apa.
"Bella, sebaiknya Kamu istirahat, tenangkan dulu pikiran Kamu," saran Gia.
"Mbak Gia ..."
"Kenapa, hm?"
Bella menggeleng, "Gak," ujarnya singkat kemudian memejamkan mata.
Tristan menarik selimutnya sampai pinggang, "Saya pergi ke Jakarta dulu karena ada pekerjaan. Kamu istirahat baik-baik disini sama Mbak Gia, kalau ada apa-apa, Saya akan datang," ujarnya pelan, disamping Bella tepat.
Bella tidak merespon, sepertinya pikiran gadis itu sedang kacau.
"Pergi sekarang?" tanya Gia begitu melihat Tristan mengenakan jaketnya.
"Iya. Titip Bella, Mbak. Kabarin kalau ada apa-apa," ujarnya. Gia hanya mengangguk, lantas Tristan benar-benar pergi.
Sementara itu, Bella mendengar semua yang dikatakan Tristan tadi. Demi Tuhan, pikirannya kalang kabut. Rasanya campur aduk; bingung, sedih, marah. Bella bahkan bingung apa yang sedang terjadi pada dirinya. Apakah Ia bermimpi? Memang Ia selalu merasakan mimpinya itu nyata, tapi selama ini, mimpinya selalu tentang masa lalunya, bukan masa depan.
"Tujuh November ... apa-apaan?" batin Bella bergejolak. Bagaimana Ia bisa bangun di bulan Februari sementara hal yang Ia ingat terjadi seharusnya sembilan bulan kemudian.
"Apa itu ... time travel? Tapi kenapa jiwaku rasanya benar-benar ada disana? Ini bukan lagi hypertymesia," lanjutnya dalam tidur.
"Hypertymesia merekam apa yang sudah kulalui, bukan apa yang akan kulalui. Ini tidak masuk akal. Apa Tristan dan Gia tengah berbohong? Tapi mereka terlalu baik untuk itu."
****
Tristan baru sampai di apartemennya di Jakarta setelah menempuh perjalanan sekitar tiga jam dari Banten. Duduk di sofa empuk ruang tamunya, tubuh pria itu terasa sangat lelah. Wajar saja, empat hari Ia hanya tidur di kasur pasien yang keras, dan belum beristirahat dengan benar setelah kejadian mengerikan di pesawat malam itu.
Baru saja memejamkan mata, pikirannya kembali berisik memikirkan kejadian tadi siang di rumah sakit. Soal Bella yang mengatakan bahwa Ia adalah tunangannya.
"Halusinasi? Apa mungkin?" gumam Tristan. Sejujurnya Ia tak percaya jika halusinasi akan sejauh itu. Tapi jika bukan halusinasi, lantas apa?
"Bella itu dosen, pasti dia gak mungkin berkata sembarangan, apalagi soal statusnya sebagai wanita. Bukannya akan sangat memalukan mengaku-ngaku menjadi tunangan seseorang?"
"Apa mungkin ... dia bisa ... melihat masa depan?"
Mata Tristan kembali terbuka, "Apa mungkin? Dia bahkan ingat tanggalnya, 7 November. Apa mungkin halusinasi bisa sedetail itu? Belum lagi cincin berlian?"
Tristan meraba jari manisnya. Astaga, dia benar-benar pusing sekarang.
"Kayaknya Gue harus bicara panjang sama dia," finalnya kemudian melanjutkan tidurnya. Namun lagi-lagi, belum sempat Ia bisa tertidur, ponselnya berdering.
Kak Gia is calling ...
Buru-buru Tristan mengangkat teleponnya, "Halo Mbak?"
"Udah sampe belum Dek?"
"Baru aja. Gimana kondisi Bella?"
"Yeu, ini Aku ya, Mbak mu yang nelfon, yang ditanyai kok Bella terus. Naksir ya Kamu?" tuduh Gia.
"Ya kan Aku khawatir dia kenapa-kenapa. Ada apa sih Mbak?" kilah Tristan.
"Ini ... tadi Mbak bicara banyak sama Bella. Tanya sih kenapa dia sampe bilang Kamu itu tunangannya."
Tristan mendudukan diri di pinggir sofa sekarang, antusias mendengar informasi dari kakaknya itu.
"Terus?"
"Dia gak enak sama Kamu katanya. Bikin Aku sama Kamu bingung. Tapi dia juga bilang kalau selama ini, dari kecil, dia tuh sering mimpi yang buruk atau gak buruk, dan itu nyata banget. Lucid dream gitu katanya," ujar Gia panjang lebar.
Tristan meneguk salivanya dalam-dalam, kenapa Ia mulai merinding sekarang?
"Tapi khusus kali ini, dia benar-benar mimpiin sesuatu yang belum pernah Ia alami sebelumnya. Alias ... masa depan. Dan lagi-lagi, mimpinya itu nyata, sampe tadi dia detail banget kan inget tanggal, sama soal cincin?"
Tristan mengangguk, masih dengan fokus penuh mendengarkan penuturan kakaknya.
"Tau gak sih Dek, yang bikin Aku speechless banget tuh dia bilang, sampe mimpi itu perasaannya dapet. Ngerti gak sih? Dia kan mimpinya kalian tuh tunangan, jadi dia tuh ngerasa kayak ... ya sayang sama Kamu itu beneran," ujarnya.
Tristan terkejut, heran, bingung, semuanya. Ia tak bisa merespon sekarang.
"Buktinya soal cincin itu aja. Kalau dia nanya kamu kenapa gak make itu, berarti kan di mimpi itu kalian pernah janji buat selalu pakai apa gimana. Itu mimpinya jelas banget Dek, Mbak mikir apa itu namanya time travel? Apa iya ada mimpi sedetail itu? Minimal lupa dikit lah, tapi tadi Mbak kayak wawancara aja jadinya, nanyain apa aja yang dia lihat di mimpinya selama gak sadar. Detail banget Dek, sumpah!" Gia mulai heboh.
Tristan memejamkan mata, mengusap wajahnya kasar, "Mbak, sumpah Aku bingung. Jadi Aku harus gimana?"
"Ya gak gimana-gimana. Terserah kamu sih. Ini kan cuma mimpi, dan haram hukumnya percaya sama ramalan dalam bentuk apapun. Tapi ya kalau kamu mau mepet dia ya bagus. Mbak suka kok anaknya, ramah, baik, dosen juga. Cocok lah sama Kamu."
"Mbak, tolong lah, bukan timingnya ngomongin begituan. Aku tuh nanya Aku harus gimana jelasin ke dia abis ini. Canggung kan?"
"Yaelah. Santai aja sih, Bella juga gak canggung sama Aku. Kamu aja inimah kepedean. Buruan deh selesaikan kerjaan Kamu, terus temuin Bella. Kalian harus ngomong panjang lebar kayaknya. Sekalian kompromi."
"Kompromi apaan?"
"Kompromi, mau direalisasikan gak mimpinya si Bella? Hahahahaa!"
"Mbak Gia!"