Pagi hari, fajar baru saja naik, semburat jingga menyeruak di langit, cukup indah dipandang dari gedung tinggi. Bella tampak duduk termenung di depan jendela, menghadapkan diri pada pemandangan pagi yang wajib Ia saksikan setiap harinya. Lima hari di rumah sakit membuatnya merindukan pagi hari yang sunyi dan syahdu seperti ini.
Bella memejamkan matanya, sangat menenangkan. Wajahnya yang anggun itu diterpa angin halus pagi hari. Setidaknya Jakarta masih punya udara segar untuk dihirup sebelum jalanan kembali padat, dan polusi merajai langit.
Pikiran Bella kembali melayang pada insiden beberapa waktu lalu. Sedang bermimpi atau tidak, memori itu selalu lewat, terlihat jelas melalui matanya yang terpejam.
Sekali lagi Bella menghela nafas dalam, menguasai dirinya dari rasa trauma yang pasti akan datang kapanpun. Kecelakaan itu menyeramkan, menegangkan, dan perasaan itu masih terbawa hingga sekarang. Bella harus bersiap, sebentar lagi hidupnya akan semakin tidak tenang dengan bertambahnya memori tidak menyenangkan itu.
"Ya Allah ..." sebutnya, pada Tuhan yang sudah menganugerahi kemampuan ingatan luar biasa padanya. Sepanjang hidup Bella berdoa agar Ia dijauhkan dari kejadian buruk, dan kalau bisa Ia hanya melewati momen-momen yang indah saja. Tapi sayang, hidup manusia tidak selalu mulus. Bahkan sejak dari kecil Ia sudah mengalami percobaan pembunuhan dari ibunya sendiri.
Terkadang Bella merasa takdir terlalu kejam padanya, tapi jika Ia menilik ke bawah, masih banyak orang yang tidak beruntung dari pada dirinya. Bella wajib besyukur karena seorang penyelamat dari pembunuhan itu membawanya ke panti asuhan. Ya meskipun Ia pun mengalami penyiksaan disana, setidaknya saat Ia berusia 17 tahun, seseorang mengadopsinya.
Seseorang itu, benar-benar Bella anggap sebagai orangtua sekaligus pahlawan. Sayangnya, tidak lama Bella dapat merasakan kasih sayang orangtua dari orang itu. Pria paruh baya baik hati itu lebih dahulu dipanggil Yang Maha Kuasa, dengan sebab yang sampai sekarang Bella tidak tahu. Terlalu muda baginya untuk memahami cara kerja politik dan bisnis kotor hingga pria yang disebut 'Ayah' olehnya itu pergi tiba-tiba.
"Ayah ... Bella ingin bertemu Ayah ..." ujar Bella, menatap langit berharap Ayahnya itu mendengar. Bella sangat menyayangi Ayahnya, karena Ia tidak mengenal sosok Ayah sedari kecil. Ia hanyalah anak terombang-ambing, tak tahu asalnya dari mana, dari siapa.
Tanpa sadar, matanya mulai basah, Bella kembali terisak. Terlalu emosional sepagi ini, untuk menerima satu lagi ingatan buruk tempo hari, juga kerinduan akan sosok Ayah angkatnya.
Cukup lama Bella terisak, hingga dering ponsel mengalihkannya.
Tristan Emilio Fariq is calling ...
Bella buru-buru mengusap air matanya, menggesert tombol hijau di ponselnya.
"Assalamualaikum?" sapa Tristan di seberang sana. Sepagi ini Ia sudah menghubungi Bella.
"Waalaikumsalam. Ya, ada apa Tristan?" tanya Bella, dengan suara yang masih khas setelah menangis.
"Ada apa dengan suara Kamu? Habis nangis?" tanya Tristan peka.
Bella menggeleng, padahal jelas Tristan tidak bisa melihatnya. Bella belum menjawab, pertanyaan Tristan itu malah membuatnya semakin terisak, namun Ia sembunyikan agar Tristan tidak mendengar.
Salah, Tristan terlalu peka, Ia paham Bella sedang menangis sekarang.
"Saya hubungi Kamu buat memastikan Kamu baik-baik aja. Tapi sekarang kalau Kamu mau menangis, silakan, Saya bakal dengarkan," ujarnya, membuat Bella semakin menjadi-jadi.
Terus seperti itu hingga tangisan Bella sedikit mereda. Tristan sedari tadi ikut overthinking kira-kira apa yang terjadi pada dosen muda itu.
"Kamu ada kegiatan apa hari ini?" tanya Tristan, mengalihkan pembicaraan.
"Eng-gak ada. Saya masih dikasih cuti sama fakultas," jawab Bella masih sesekali terisak.
"Yasudah. Saya harus ke kantor sekarang. Saya mau ketemu Kamu sepulang kerja, jam tujuh malam ini. Apa Kamu bisa?"
"Un ... untuk apa ya?"
"Tentu karena Saya khawatir mendengar Kamu nangis pagi-pagi. Saya juga tau Kamu hidup sendirian."
Bella meneguk salivanya yang masih tercampur air mata, tersentuh dengan perhatian Tristan. Apa mungkin Ia sudah mencari tahu latar belakang Bella saat itu? Karena Ia seolah polisi dan mudah saja menemukan data-data kependudukan?
"Gak perlu repot ..."
"Saya gak pernah merasa direpotkan. Atau Kamu yang ngerasa gak nyaman sama Saya? Kalau begitu Saya minta maaf."
Bella menggeleng cepat, "Gak ... gak begitu Tristan. Saya cuma takut merepotkan Kamu. Saya bisa ditemui jam tujuh malam ini. Tapi mungkin di apartemen Saya saja ya," ujarnya.
"Baik kalau begitu. Sampai nanti. Saya tutup dulu, Assalamualaikum," ujarnya. Agak lebih tegas dari sebelumnya.
"Waalaikumsalam."
****
Tristan menghentikan mobilnya di area parkir markas kepolisian. Langsung saja Ia menuju ruangannya yang sudah dipindahkan ke lantai tiga itu. Sesampainya disana, tampak Jevan dan Yudha sudah berada di ruangan. Tidak, Tristan tidak terlambat karena jam masuk kerja masih setengah jam lagi.
"Pagi, Kapten!" sapa Yudha yang baru kali ini lagi bertemu Tristan pascakecelakaan.
"Pagi, kita akan rapat sebentar lagi, menunggu Isyana dan Luki," ujar Tristan, mulai membuka laptopnya di meja kerja.
Setengah jam kemudian, tim investigasi bentukan Tristan itu sudah lengkap. Langsung saja rapat perdana untuk investigasi kasus pembunuhan berantai 'The Retro' itu dimulai. Diawali dengan Tristan yang menjelaskan terlebih dahulu latar belakang mereka dipilih, yaitu untuk melengkapi kompetensi dan koneksi satu tim investigasi itu dari strategi, intelijen, hingga agresi.
Tristan mengganti layar proyektor dengan gambar-gambar orang berpakaian baju gaya retro, pria dan wanita, total dua belas orang. Orang-orang itu difoto dalam posisi duduk di kursi depan toko atau di dalam apartemen dengan kepala menunduk, dan rata-rata tertutup topi. Posisi itu seolah-olah mencitrakan bahwa para korban sedang 'tertidur' di kursi. Mereka adalah korban pembunuhan berantai misterius 'The Retro'.
"Ini adalah korban-korban dari 'The Retro'. Jika kalian perhatikan, tidak ada tanda-tanda bekas kekerasan fisik pada dua belas jenazah ini," ujar Tristan sedikit mereview temuan dari kasus itu yang ditulis oleh Kian.
"Seolah disengaja, pembunuh ini menciptakan identitas khas dari kejahatannya, yaitu gaya berpakaian dan pose jenazah saat ditemukan."
"Pekerjaannya sangat rapi, bahkan hasil forensik tidak menunjukan ada sesuatu yang salah di tubuh para korban setelah diautopsi."
"Satu sidik jari pernah ditemukan pada korban ke tujuh, orang itu dicari dan ditemukan, tapi akhirnya ... pengadilan memutuskan pria itu tak bersalah karena kurangnya barang bukti," lanjut Tristan, menampilkan seorang pria pemilik sidik jari yang Ia maksud itu.
Tristan mengakhiri presentasi powerpointnya, ganti Ia menarik papan tulis disampingnya, mulai menulis sesuatu dengan marker.
"Pekerjaan pertama kita adalah, kita harus periksa kembali TKP, semua saksi, baik yang masih bisa ditemui langsung atau tidak. Kita harus melihat kejanggalan-kejanggalan disana, dan apapun itu."
"Kita akan menarik kesimpulan baru setelahnya, untuk menentukan strategi selanjutnya."
"Pendalaman hasil analisa forensik juga kembali akan dilakukan. Rasanya terlalu aneh jika dari kedua belas korban benar-benar tidak ditemukan tanda-tanda penyebab kematiannya."
"Sampai sini apa ada pertanyaan?" tanya Tristan, membuka diskusi dalam forum kecil itu.
Isyana mengangkat tangannya, "Kapten, Saya rasa orang yang salah tangkap itu juga perlu diinvestigasi kembali. Tidak perlu terlalu prosedural, kita akan menanyainya saja," ujarnya.
Tristan mengangguk setuju, "Benar, Kapten Isyana. Saya juga nanti akan menghubungi Damar, jaksa penuntut yang menangani pria ini, juga pengacaranya saat itu."
"Itu bagus. Lalu soal penyebab kematian para korban, Saya yakin si pembunuh memiliki sesuatu yang belum kita ketahui dapat menghilangkan jejak pembunuhan dengan cepat," ujar Luki berpendapat kali ini.
Semua orang mengangguk setuju, "Saya juga berpikiran sama, Letnan Luki," ujar Jevan.
"Bagaimana dengan Kapten Kian dan Arfani? Kita juga diminta untuk mencari dua orang itu," ujar Yudha.
Tristan tampak sedikit berpikir, "Kita akan menyerahkannya dulu pada divisi intelijen, jika mereka menyerah, baru kita akan turun tangan. Saya masih yakin kalau Kapten Kian dan Arfani hanya sedang bersembunyi," ujarnya.
"Kenapa Anda bisa sangat yakin tanpa bukti? Kematian dua detektif itu bisa saja terjadi," ujar Isyana.
"Intuisi. Saya dan Kapten Kian sama-sama seorang detektif. Kami paham bagaimana di situasi sulit, penyamaran dan persembunyian ekstrem itu dibutuhkan. Itu sebuah prosedur, dan memiliki batas waktu. Jika lebih dari satu bulan Kapten Kian menghilang tanpa jejak, itu baru tanda tanya besar," jelas Tristan panjang lebar.
Isyana tampaknya tidak puas, namun sementara ini Ia mengalah, menghargai Tristan sebagai pimpinannya dalam tim.
"Apa ada lagi?"
Semua orang tampak menggeleng.
"Kalau begitu, kita akan membagi tugas untuk pemeriksaan ulang TKP. Kita beruntung karena kedua belas TKP itu masih disegel sampai sekarang, tidak diubah," ujar Tristan.
"Letnan Jevan, Anda akan memeriksa TKP korban ke satu dan dua."
"Letnan Yudha, Anda akan memeriksa TKP korban ke tiga dan enam."
"Letnan Luki, Anda akan memeriksa TKP korban ke lima dan ke sembilan."
"Kapten Isyana, Anda akan memeriksa TKP korban ke empat, tujun, dan delapan."
"Sisanya, akan Saya tangani. Termasuk jika kalian ingin memanggil ahli forensik, kriminolog, atau pihak hukum, segera hubungi Saya dan jangan lakukan tanpa persetujuan Saya. Apa bisa dimengerti?"
"Siap, bisa Kapten!"