Secangkir kopi hangat menemani Bella duduk di lobby apartemennya. Bella sedang menunggu Tristan yang katanya sebentar lagi sampai. Tidak biasanya gadis itu mau diajak keluar dengan orang baru, tapi soal Tristan, Bella rasa selain bentuk respect karena pria itu banyak menolongnya, adalah karena memang Tristan perlahan sudah diberikan tempat di hati Bella. Mungkin karena Tristan selalu memberikan rasa terlindungi pada Bella, bahkan termasuk tadi pagi.
Tidak dipungkiri Bella jadi sedikit tenang mengetahui Tristan akan datang malam ini, meskipun Ia tak tahu sebenarnya apa yang akan disampaikan Tristan padanya.
Bella kembali menyesap kopi hangat itu, berusaha menenangkan pikirannya yang kembali acak-acakan hingga menimbulkan sakit kepala. Tadi siang, Ia tertidur, dan trauma itu sudah datang lagi melalui mimpinya. Trauma masa kecilnya, ditambah trauma soal kecelakaan itu. Lebih parah, Bella sudah seperti orang terkena vertigo. Nyaris saja Ia pingsan jika tidak cepat meminum obat darurat yang selalu Ia simpan jika gejala seperti itu muncul.
Sampai sekarang, Bella masih ketakutan, tak berani memejamkan mata kembali. Tangannya bahkan masih bergetar.
"Bella?" sapa seseorang.
Bella menoleh, rupanya itu Tristan. Sepertinya pria itu berangkat dari apartemennya, dilihat dari Ia yang tidak menggunakan seragam kepolisian.
"Maaf lama," ujarnya.
Bella menggeleng, "Gak kok," bohongnya. Padahal sudah hampir dua jam Ia disana. Sengaja mencari keramaian untuk meredakan ketakutannya tinggal sendirian di apartemen.
"Kamu mau minum? Biar Saya pesan," tawar Bella, hendak beranjak dari kursinya.
Cepat Tristan menolak, "Tadi udah kok. Duduk aja," ujarnya.
Bella menurut, keduanya kini saling terdiam, belum ada yang membuka topik pembicaraan. Entah kenapa rasanya jadi canggung dan bingung. Tristan yang membuat janji temu itu bahkan hanya memperhatikan ke luar jendela sedari tadi.
"Kayaknya Kamu lagi sibuk sekali ya?" tanya Bella kemudian, setelah memperhatikan wajah Tristan yang terlihat lelah meskipun pria itu berusaha membuatnya terlihat segar.
Tristan tersenyum, "Tau dari mana?"
"Feeling?"
"Iya. Maaf kalau Saya jadi ngelamun. Bagaimana keadaan Kamu? Oh, langsung aja, tadi pagi kenapa Kamu nangis?" tanya Tristan beruntun.
Bella meneguk salivanya dalam-dalam, haruskah Ia menceritakannya pada Tristan? Semua yang Ia alami hari ini?
"Ingatan soal kecelakaan itu selalu datang bersama memori-memori buruk yang lain, Saya gak bisa tidur dengan tenang. Saya takut," jujur Bella. Entah apa yang membuat gadis independen itu begitu berterus terang soal kelemahannya pada Tristan.
Tristan menghela nafas, "Kamu pasti capek karena gak bisa tidur. Tapi apa karena itu kamu nangis?" tanyanya.
"Karena itu, dan juga ... karena Saya rindu sekali dengan Ayah angkat Saya. Dulu beliau yang selalu menenangkan Saya, menemani Saya tidur jika mimpi-mimpi itu datang," ujar Bella terdengar sedih sekali di telinga Tristan.
"Beliau juga orang yang pertama kali tahu soal penyakit Saya. Tapi sekarang beliau sudah tak ada. Maaf Saya terlalu emosional tadi pagi," ujarnya kemudian, menatap Tristan tak enak hati.
Tristan terdiam, menatap gadis itu lekat-lekat. Ada perasaan ingin selalu melindungi dihatinya, tapi bagaimana caranya, Tristan belum tahu.
"Setakut apa Kamu hari ini, Saya gak bisa bayangin. Tapi pasti itu sangat mengerikan. Saya sendiri punya trauma akibat pekerjaan Saya dibidang kepolisian, dan itu sangat sulit dihilangkan, bagaimana Kamu?"
Bella mengangguk, "Ya, kadang Saya merasa ... kenapa terlalu sulit untuk Saya mengingat hal-hal yang baik saja dalam hidup. Memori buruk itu selalu datang menghampiri bahkan disaat Saya sedang berbahagia."
"Kamu merasa Tuhan gak adil ke Kamu?"
"Terkadang."
"Wajar. Tapi menurut Saya, Kamu hanya perlu memperbanyak memori-memori menyenangkan dalam hidup Kamu untuk menekan yang buruk. Apa Kamu bahagia sejauh ini? Apa momen di hidup Kamu yang sangat membahagiakan untuk diingat? Apa itu sebanding dengan memori buruk yang selalu Kamu ingat?"
Tristan sudah seperti psikiater sekarang.
Bella menghela nafas dalam, "Saya rasa gak sebanding. Katakan Saya tidak bersyukur, tapi karena penyakit inilah, Saya gak terlalu bahagia menjalani hidup. Yang Saya lakukan selama 26 tahun adalah belajar, bekerja, dan bertahan hidup. Saya gak punya keluarga untuk dijadikan sandaran atau motivasi."
"Hidup Saya sangat kering," finalnya.
Tristan semakin menatap gadis dihadapannya ini dengan sedih, iba, semua perasaan itu tercampur hingga abstrak rasanya.
"Apa pernah Kamu membuka hati untuk seseorang menjadi sahabat, atau ... orang yang Kamu cintai?" tanya Tristan kemudian.
Bella menggeleng, "Sulit. Bagaimana bisa Saya percaya orang lain akan selamanya baik jika Ibu Saya sendiri berusaha membunuh Saya sejak kecil?" ujarnya, balas menatap Tristan lekat-lekat.
"Tapi semua orang gak memiliki sifat yang sama percis, Bella."
"Buktinya Ayah angkat Kamu. Kamu bisa menerima beliau. Dan Kamu sepertinya bahagia karena ada sosok yang Kamu cintai disisi Kamu. Saya rasa Kamu perlu mencari sosok pengganti Ayah Kamu. Siapapun itu, yang bisa menenangkan, dijadikan sandaran, dan tentunya membahagiakan Kamu, hingga memori buruk itu tertekan jauh kebelakang," ujar Tristan panjang lebar.
Bella tersenyum simpul, "Sepertinya Kamu ada benarnya. Mungkin Saya aja yang terlalu penakut untuk melangkah keluar cangkang," ujarnya.
"Jangan takut, ada Saya."
Bella kembali meneguk salivanya dalam, tangannya bergetar, hatinya apalagi, "Tristan ... maaf tapi kalau Kamu terus seperti ini, perasaan Saya bisa tergerak jauh," ujarnya.
"Jika memang perasaan Saya bersambut dengan milik Kamu, apakah Kamu dapat menjadikannya salah satu takdir dan memori baik?"
Hening, kedua orang itu saling bertatapan satu sama lain. Seolah bertelepati, tapi tak jelas juga apa yang sebenarnya mereka ingin sampaikan.
"Karena Kamu orang baik, tentu itu akan menjadi baik," jawab Bella akhirnya.
Tristan tersenyum tulus, "Kalau begitu, mulai sekarang tolong izinkan Saya menjadi orang yang dapat Kamu andalkan jika hal-hal seperti ini terjadi."