Setelah makan malam di lobby, Tristan kemudian mengantarkan Bella ke unit apartemennya di lantai 12. Tidak ada kecanggungan dirasakan Tristan setelah mengatakan perasaannya secara blak blakan tadi. Yang ada Bella yang kewalahan, bingung harus menanggapi bagaimana. Untung Tristan cepat peka, meminta gadis itu untuk tidak terlalu ambil pusing. Lagi-lagi.
"Hubungi Saya kalau terjadi sesuatu," titahnya begitu Bella membuka pintu unit apartemen.
Bella mengangguk, "Iya, makasih Tristan. Saya masuk dulu. Hati-hati pulangnya," ujarnya.
Tristan tersenyum, seraya melambaikan tangannya. Ia kemudian benar-benar pamit, sebelum Bella menutup pintu. Tentu akan tidak sopan jika Bella menutup pintunya terlebih dahulu.
Berjalan menuju lift, Tristan menoleh ke kanan, kiri, depan, belakang lorong apartemen yang dilaluinya. Tidak banyak unit apartemen dalam satu lantai, mungkin tidak sampai dua puluh unit kamar. Apartemen itu juga sepi, sedari tadi Ia tidak melihat seorang pun keluar dari unit, atau keluar dari lift. Tristan kembali khawatir, apalagi Bella mengatakan bahwa Ia hampir pingsan tadi siang karena kepalanya sakit. Apapun alasannya, gadis itu belum sepenuhnya pulih dari luka fisik kecelakaan.
"Pantas aja kalau dia takut tinggal di apartemen sepi begini," ujarnya, lanjut menutup pintu lift untuk turun ke basement.
Sesampainya di basement, Tristan segera menuju SUV silver yang Ia parkir disana. Sudah malam, apartemen itu semakin sepi.
Belum saja menginjak pedal gas, ponselnya bergetar, membuat Tristan teralih. Segera Ia memeriksanya.
[SMS]
(0834-xxxx-xxxx)
1. Valencia Hills Apartment unit 27CA
2. De Coffee Code
3. Huntington House
Tristan mengerutkan dahinya, mencerna baik baik siapa gerangan nomor tak dikenal yang mengiriminya SMS tidak jelas itu.
"Apaan sih?"
Tristan menaruh kasar ponselnya di jog depan samping Ia duduk, namun lagi-lagi, Ia tak jadi menginjak pedal gas mobil karena sesuatu melintas dipikirannya.
Tristan kembali membuka ponselnya, tepatnya pesan tadi.
"Ini kan ... TKP yang bakal Gue periksa mulai besok?" ujarnya pelan. Sekali lagi Tristan memastikan isi pesan itu. Persis, itu tiga TKP yang harus diperiksanya.
Tanpa pikir panjang, Tristan segera menghubungi Isyana.
"Halo Syan? Ini Gue, Tristan. Sorry ganggu malem malem. Gue perlu bantuan Lo," ujarnya, berbicara melalui handsfree karena Ia sedang mengemudi dengan kecepatan tinggi.
"Kenapa Tan? Ada apa?"
"Tolong lacak nomor yang Gue kirim barusan via telegram," ujarnya.
"Oke. Tunggu.
Panggilan kemudian terputus. Tristan kembali fokus pada kemudi, membelah jalan raya Jakarta yang kebetulan sekali senggang malam itu.
"Apa itu Kian?" batinnya.
Tristan menggeleng, tidak ingin berasumsi macam macam dulu sebelum Isyana melaporkan pelacakan nomor itu.
Tepat ketika berhenti di lampu merah, ponselnya kembali bergetar.
[iMess]
(Kapten Isyana - Intel)
Tan, gak terdeteksi siapa pemiliknya
Udah gak aktif juga nomor itu
Tristan berdecak jengkel, paling tidak suka dengan hal yang membuatnya penasaran bukan main seperti ini.
****
Keesokan harinya, Tristan lebih pagi datang ke markas kepolisian. Agenda investigasi ulang itu akan dilakukan per hari ini, setelah sebelumnya kemarin mereka menentukan strategi masing masing. Masukan datang dari Yudha, kalau sekali reinvestigasi harus dilakukan minimal oleh dua orang.
Tristan setuju, karena kalau dipikir pikir, agak beresiko juga. Siapa yang tahu bagaimana kondisi TKP penemuan jenazah itu sekarang? Juga kemungkinan kemungkinan lain jika mereka datang sendiri?
Bukan tidak mungkin jika pembunuh itu tiba tiba akan muncul di tempat yang sama. Sekali lagi, pembunuh itu sulit ditebak, polisi harus berhati hati.
"Hari ini, akan dilakukan investigasi ulang di TKP satu terlebih dahulu. Kita akan membuatnya satu hari satu, agar leluasa bekerja, dan semakin teliti. Berbeda dari rencana awal juga, lima dari kita, akan ikut semua dalam satu per satu reinvestigasi TKP. Apa ada sanggahan sampai sini?" tanya Tristan dalam briefing singkat pagi itu.
"Tidak ada," sahut mereka.
Tristan mengangguk, "Baik. Kalau begitu, mari segera bekerja."
"Oh, sebentar Kapten Tristan. Saya lupa menanyakan. Tadi malam, nomor siapa yang Anda lacak?" tanya Isyana, membuat Jevan dan Yudha mendadak bingung karena tak tahu apa apa.
"Satu nomor asing, mengirimi Saya tiga lokasi TKP dengan urutan satu sampai tiga. Ketiganya adalah lokasi yang menjadi tanggung jawab Saya," jelasnya.
"Lalu bagaimana? Siapa pengirimnya?" tanya Jevan.
Isyana menggeleng, "Tidak teridentifikasi. Nomor itu sudah tidak aktif."
"Tapi satu hal ..." Tristan menggantung ucapannya, membuat semua orang kembali dibuat penasaran.
"Pesan misterius itu ... bisa saja sebuah petunjuk. Bahkan jika pembunuhnya sekalipun yang memberitahu, itu tetap sebuah petunjuk," ujarnya.
Luki mengangguk setuju, "Ya, Saya pikir juga begitu, Kapten. Kita mungkin bisa memulainya dari uturan TKP pertama yang disebut di pesan misterius itu."
"Lalu jika memang kita akan mengikutinya, pengamanan ekstra dibutuhkan. Akan berbahaya jika ternyata itu adalah petunjuk sekaligus jebakan," ujar Jevan yang diangguki semua orang.
"Baik, minta divisi antiteror untuk menyertakan anggotanya dalam membantu tim kita."
****
Merasa lebih baik, Bella akhirnya memutuskan untuk kembali datang ke kampus sebelum masa cutinya habis. Ia merasa mangkir dari tanggung jawab jika harus terus diam di rumah, sementara Sierra menanggung sendiri beban mengajar dan tugas tugas lainnya.
"Loh, Bu Bella? Sudah sehat dan kembali mengajar?" tanya Marina, salah satu dosen di departemen yang sama dengan Bella begitu mereka berpapasan di halaman parkir.
"Oh, Bu Marina. Iya nih Bu, Alhamdulillah sudah lebih baik."
"Alhamdulillah. Kami khawatir sekali Bu, mendengar berita kecelakaan itu. Maaf ya, Saya waktu itu gak ikut jenguk karena ada seminar di Bandung," ujarnya tak enak selagi keduanya berjalan menaiki tangga menuju ruang dosen.
"Gak masalah Bu. Saya juga belum sadar waktu perwakilan departemen datang menjenguk."
Keduanya terus mengobrol, hingga akhirnya sampai di ruang dosen. Melihat Bella kembali ke kampus membuat belasan dosen yang sudah ada di ruangan pagi itu menjadi heboh. Para dosen senior menyalami, bahkan memeluk Bella hangat. Wajar saja, Ia adalah bintang diantara dosen-dosen itu. Banyak orang mengaguminya karena karakter dan kompetensinya.
"Hari ini ada agenda penting apa aja Sier? Selama Saya gak ada?" tanya Bella ketika Ia sudah berada di ruangannya bersama sang asisten.
"Tidak banyak, Mbak. Hanya aja ada tiga orang mahasiswa S1 bimbingan Mbak yang sudah ditetapkan mulai dua hari lalu," ujarnya.
"Oh? Bimbingan akademik atau bimbingan skripsi?"
"Bimbingan skripsi, Mbak."
"Oh gitu. Mereka milih Saya sendiri atau dipilihkan sama departemen?"
"Dua dipilihkan departemen, satu pilih sendiri, Mbak."
"Ini biodata mereka Mbak." Sierra menyerahkan satu map dari departemen pada Bella.
Bella membaca dokumen itu kemudian, dalam sekejap dan seterusnya sudah pasti akan mengingat seluruh informasi dalam format biodata itu.
"Hanin, Ola, Nafis ..." gumamnya pelan, menyebutkan satu per satu nama mahasiswa bimbingannya yang baru.
Bella menutup map itu, "Saya heran, kenapa departemen ini selalu ngasih Saya mahasiswa dengan IPK diatas 3.7 dan cemerlang? Padahal Saya gak mensyaratkan loh," ujarnya.
"Gak tau deh Mbak. Tapi bukannya malah enak ya Mbak?"
"Enak sih memang, mereka akan mudah mengerti, cepat tanggap. Tapi image Saya sebagai dosen disini jadi dipandang sulit sekali didekati dengan mahasiswa yang ... maaf ... IPK nya tidak sampai segitu, Sier."
"Hoo iya sih, paham Saya."
"Kan? Saya tuh pengennya fair aja gitu. Saya inginnya lebih merangkul, ingin merasakan juga gimana membimbing mahasiswa yang tidak setangkas mereka mereka ini."
"Mungkin karena kadept sudah mempercayakan Mbak dengan sangat, makanya hanya diberi top student untuk dibimbing."
"Salah itu Sier. Justru harusnya kalau Saya dinilai sangat kompeten, Saya diminta bimbing yang kurang. Kesannya Saya tuh jadi dosen elit banget gitu loh. Gak enak rasanya."