Lampu darurat menyala, menerangi kabin meskipun masih remang-remang. Pilot dan co-pilot keluar dari kokpit pesawat, memeriksa kondisi pesawat, sambil terus berkomunikasi dengan kapal penyelamat terdekat. Beruntung Tristan mengingatkan untuk menghubungi mereka saat kondisi panik tadi, sehingga tidak perlu banyak mengulur waktu.
Tristan bersama Yudha, Jevan, dan awak kabin memeriksa dari depan hingga belakang pesawat, membantu banyak penumpang yang terpental dan terluka seadanya. Air laut pelahan sudah membasahi lantai kabin. Pramugara bergerak cepat mencegah kebocoran di titik utama dan titik lainnya. Setidaknya mereka harus bersyukur karena badan pesawat itu tidak retak apalagi terbelah.
Namun sayang, seperti yang dikatakan Yudha tadi, semakin ke belakang, semakin banyak penumpang yang tampaknya sudah tak bernyawa. Rata-rata dari mereka adalah yang terlepas dari tempat duduknya, dan mengalami benturan keras di kepala.
Sekian sentimeter kedalaman air laut di lantai kabin perlahan berwarna merah, darah korban benturan tercampur disana.
"Berapa pencahayaan dan akan menyala?" tanya Tristan pada seorang pramugara di depannya.
"Normalnya satu jam," jawabnya cepat.
Tristan mengangguk, lanjut berjalan membantu penumpang lain yang kemungkinan terluka. Kejadian itu berjalan sangat cepat dan tiba-tiba, tidak heran jika banyak penumpang yang terlempar seperti ini, karena mereka tidak sempat mengenakan sabuk pengaman setelah take-off.
Dengan cahaya senter dari ponselnya yang masih menyala, Tristan menyorot satu per satu penumpang di bangku kanan dan kiri. Kebanyakan dari mereka tak sadarkan diri. Tristan tidak tahu apakah mereka masih bernyawa atau tidak. Serangan panik, shock, dan jantung bisa saja menyebabkan orang meninggal akibat kejadian luar biasa tadi.
Tak sengaja Tristan menyorot nomor kursi penumpang di atas, nomor kursi 80A. Dua orang terlintas di benaknya langsung.
"Bella … Sierra," gumamnya pelan. Ia mempercepat langkahnya, sembari tetap memeriksa penumpang lain. Saat ini Ia berjalan paling depan, karena Ia tidak membawa perlengkapan medis, bertugas memberitahu awak kabin siapa saja yang butuh ditangani segera.
Akhirnya Tristan sampai di deret bangku yang Ia cari. Rasa takut dan khawatir menyertainya ketika melihat Bella dan Sierra yang tidak sadarkan diri. Sierra tampaknya pingsan karena shock, Ia tidak mengalami luka fisik. Lain lagi dengan Bella, gadis itu menunduk ke depan, dan darah terlihat menetes dari kepalanya. Ia terbentur sesuatu.
"Medis! Ada korban benturan di kepala disini!" teriak Tristan, memanggil satu pramugari dengan medical kit untuk mendekat.
Tristan melempar kasar ponselnya ke kursi kosong sebelah Bella, alias kursi yang Ia duduki tadi. Kedua tangannya perlahan memegangi pundah Bella, menyandarkan tubuh gadis itu bersandar, lalu mendorong ke belakang sandaran agar lebih rendah.
Lanjut Tristan menyingkap rambut Bella yang menutupi wajah, memeriksa luka gadis itu. Cukup parah, pikir Tristan. Tristan semakin panik sekarang, tidak tahu kenapa. Padahal sedari tadi Ia melihat penumpang yang meninggal dengan luka lebih parah tidak sekhawatir dan setakut itu.
Tristan memeriksa denyut jantung Bella. Sedikit lega, gadis itu masih berdetak jantungnya, masih juga bernafas walau pelan.
Pramugari dengan medical kit itu akhirnya datang, menangani Bella dengan cepat dan cekatan. Tristan melanjutkan patrolinya. Rupanya lebih mengerikan disana, korban luka lebih parah, bahkan dengan satu pandangan, Tristan tahu kalau beberapa diantara mereka sudah meninggal.
Sesampainya di baris bangku terakhir, Tristan akhirnya kembali berjalan cepat ke depan. Tampak Jevan dan Yudha juga sudah di depan, mereka berkomunikasi dengan pilot dan co-pilot.
"Korban di belakang, mulai dari nomor bangku 70-an diperkirakan sekitar lima belas orang," lapor Tristan pada pilot.
Pilot itu menghela nafas, mengusap wajahnya frustasi, "Innalillahi. Kapal penyelamat akan datang dalam tiga puluh menit. Apa penumpang seluruhnya mengenakan pelampung? Pintu darurat akan kita buka dalam dua puluh menit," ujarnya.
"Bagaimana dengan penumpang yang pingsan dan terluka, juga yang meninggal? Pintu darurat di belakang sudah kemasukan air tadi," ujar Tristan memberikan pertimbangan.
Pilot mengangguk, "Ya, kita akan keluarkan semua penumpang yang selamat dan mampu keluar lewat pintu sayap kanan. Pintu itu tidak rusak dan lebih tinggi beberapa meter dari permukaan air laut. Prosedur penyelamatan darurat bisa dilakukan," jelasnya.
Tristan tampak berpikir, kembali menoleh ke dalam kabin, "Apa cukup satu jam untuk mengevakuasi mereka? Berapa tim penyelamat yang akan diterjunkan?"
"Tiga kapal TNI dan dua kapal basarnas, sepertinya personil lebih dari tiga puluh orang," jawab co-pilot kali ini.
****
Sekitar jam sembilan malam, kapal penyelamat datang. Evakuasi sudah berjalan sekitar tiga puluh menit. Sudah hampir setengah dari seluruh penumpang keluar dari pesawat melalui pintu darurat. Sisanya, mereka yang tidak bisa keluar karena tidak sadarkan diri. Dua kapal yang lebih kecil dikerahkan untuk mendekat.
"Tim SAR akan masuk, menjembatani pengangkatan mereka yang … meninggal dan tidak sadarkan diri," ujar pilot, dengan nada bergetar.
Tristan mengangguk, "Baik. Ada sekitar tiga puluh orang tersisa," ujarnya, melirik ke kanan, Bella masih tak sadarkan diri, sementara Sierra sudah dievakuasi tadi.
Tak lama kemudian, Tim SAR benar-benar datang, masuk ke kabin membawa alat-alat penyelamatan, memindahkan tiga puluhan orang yang tidak sadar itu ke atas dek kapal.
Tristan, Pilot, co-pilot, dan awak kabin terus membantu proses evakuasi untuk mempercepat. Air laut mulai merendam kabin hampir seperempatnya, mereka harus cepat.
Satu jam kemudian, semua penumpang dan korban sudah dievakuasi ke atas dek kapal SAR, termasuk Tristan, Yudha, Jevan, dan awak kabin. Kabin pesawat nahas itu dipastikan sudah kosong. Kapal SAR dan TNI itu kemudian berlayar menuju Banten, daerah terdekat dari lokasi pendaratan darurat. Di darat, tim medis kembali disiagakan. Sedari tadi kepala SAR tidak henti-hentinya berkomunikasi dengan tim di darat, memastikan ambulance cukup untuk membawa korban-korban luka dan meninggal.
Tristan, Yudha, dan Jevan tidak henti-hentinya mundar mandir membantu para penumpang yang masih sadarkan diri untuk menenangkan dan mengistirahatkan diri di dek kapal yang cukup penuh.
Sementara itu, ruang medis yang minim menyebabkan beberapa korban dengan luka harus dibaringkan atau didudukan di ruang yang terbuka, langsung berhadapan dengan angin laut yang kencang. Itu tentu berbahaya.
Tristan beralih ke dekat ruang medis, memeriksa bagian dalam dan luar. Di dalam, korban dengan luka parah tampaknya sudah ditangani dengan baik. Tidak semua korban luka ada disana, termasuk satu orang yang dicari Tristan. Bella, gadis itu terluka parah dan tidak ada di dalam ruang medis.
Tristan lantas beralih keluar, memeriksa satu per satu tandu darurat yang didirikan di luar. Astaga, udara di luar bahkan sangat dingin.
Beberapa lama mencari, akhirnya Tristan melihat seseorang berpakaian kemeja putih gading dan celana bahan hitam tanpa alas kaki di salah satu tandu. Itu Bella.
Tanpa pikir panjang, Tristan memegangi pergelangan tangan Bella, memeriksa kondisinya. Gadis itu masih tidak sadarkan diri.
Melihat pakaian yang dipakai Bella itu amat tipis, Tristan akhirnya melepas sweater yang Ia pakai, menyelimutkannya pada Bella, menyisakan dirinya yang hanya mengenakan kaos hitam kepolisian tipis yang mencetak lekuk tubuhnya.
Terus seperti itu, Tristan tidak beranjak kemana-mana, tetap memegangi tangan Bella, menyalurkan panas tubuhnya khawatir Bella akan turut mengalami syok jantung atau hipotermia.