Pagi-pagi sekali, Bella sudah berada di dapur apartemen Tristan, menyiapkan sarapan untuk ketiga penghuni apartemen, termasuk dirinya. Dapurnya Tristan adalah dapurnya juga, begitu kurang lebih konsepnya, maka Bella leluasa saja mengulik bahan masakan yang bisa Ia olah dari kulkas Tristan. Rupanya Tristan termasuk golongan pria yang rajin mengisi lemari pendingin, meskipun Bella tidak tahu apa Ia bisa masak atau tidak.
Bella memilih nasi goreng, tempe goreng, ikan bakar, dan sambal kecap sebagai menu yang Ia masak. Awalnya gadis itu kira menu-menu yang Ia pilih akan terlalu berat sebagai sarapan, tapi Ia pikir sekalian saja Ia buatkan Tristan bekal makan siang. Gia juga, kalau Ia mau.
"Dom Perignon drip on our shoes ...
"We could fly around the world, but we always end up dancing in the kitchen ..."
Terdengar samar-samar suara Tristan bernyanyi kecil di pagi hari. Bella tersenyum simpul, Ia tahu lagu apa itu, dan kenapa kesannya pas sekali dengan posisinya di dapur.
"I don't mind if this whole town goes up in flames ... As long as I got you with me, I'ma be okay ..." Suara Tristan semakin dekat, sepertinya pria itu sedang menuju dapur.
Benar saja, Tristan muncul di dapur dengan rambutnya yang masih basah sehabis mandi pagi. Pria itu tentu kaget mendapati Bella sudah aktif di dapur sepagi ini. "Waduh, ngagetin aja Bu Bella. Ngapain ini?" tanyanya sembari duduk di meja bar dapur.
Bella menuangkan segelas air mineral, "Gak liat Saya lagi masak?" tanyanya, menyerahkan air itu kemudian pada Tristan.
Tristan tersenyum sumringah, menatap Bella sekilas sebelum gadis itu kembali ke pantry, "Kok seneng ya?"
"Apa?" tanya Bella, fokus mengiris tomat.
Tristan selesai dengan air minumnya, "Ada yang ngasih minum pagi-pagi, masakin," jawabnya.
"Ya enak dong karena Mas Tristan gak perlu repot-repot sebelum berangkat ke markas kan?" Bella menaruh irisan-irisan tomat itu ke atas piring dan lunch box sebagai garnish. Tristan hanya memperhatikan sembari senyam-senyum sendiri alih-alih membantu Bella yang kini mulai menghidangkan makanan yang Ia masak ke atas meja, dihadapan Tristan.
"Mbak Gia mana? Gak ikut sarapan?" tanya Bella. Gadis itu gesit bergerak, mengambil dua gelas, mengisinya dengan air di dispenser belakang Tristan.
"Mana ada dia bangun jam segini," jawab Tristan.
GLUP!
GLUP!
Galon yang berkurang isi airnya itu berbunyi, mengisi keheningan antara Bella dan Tristan, hingga Bella selesai dan menaruhnya disamping Tristan. Sebelum gadis itu kembali ke pantry, Tristan menarik tangannya hingga mendekat, nyaris duduk dipangkuannya. Bella tentu saja terkejut, dari jarak sedekat itu bisa tercium jelas aroma sampo atau sabun berbau maskulin yang digunakan Tristan.
"Tau gak apa yang kurang selain Kamu masak pagi-pagi?" tanya Tristan kemudian, menatap Bella teduh.
"A-apa?" Bella bingung.
Tristan menghela nafasnya agak panjang, "Morning kiss. Give me one," ujarnya, memiringkan wajahnya ke kanan, menunjukan pipinya.
Bella berdecih pelan, memalingkan wajahnya sebentar, lalu Ia mendekat. Tapi bukan untuk mengikuti permintaan spontan Tristan, melainkan mengambil handuk putih di leher Tristan, mengeringkan rambut pria itu yang belum kering sepenuhnya.
"Nanti," ujar Bella dari jarak dekat, menutup sebagian besar wajah Tristan dengan handuk putih, menyisakan matanya saja yang menatap Bella tajam.
"Makan dulu, Saya buatin bekal kalau mau dan gak malu." Bella kembali ke pantry, menyisakan Tristan yang merah padam ditempatnya. Lihat, dia yang awalnya mencari gara-gara, dia sendiri yang menjadi korban salah tingkah.
"Mas ... makan," titah Bella sekali lagi pada Tristan yang membelakanginya. Pasalnya gadis itu tak akan mulai makan sebelum Tristan, si tuan rumah dan lebih tua menyuapkan makannya. Ya, setidaknya itu budaya meja makan yang Bella amati di keluarga Tristan saat pertemuan beberapa waktu lalu.
Tristan akhirnya berbalik setelah berhasil mengontrol diri. Namun Tristan belum berani menatap Bella, membuat gadis itu tersenyum menang.
"Kamu buatin bekal? Bakal Saya bawa kok," ujarnya kemudian, menyambung perkataan Bella tadi.
"Beneran?" Bella sumringah, membuat Tristan tersenyum penuh arti, "Iya dong. Kenapa malu? Saya seneng banget malah. Biar sekalian pamer."
"Pamer apa?"
"Ya ... dimasakin calon istri? Gak tau aja Kamu Saya diledekin mulu tau, jomblo jomblo jomblo, katanya," curhat Tristan, lucu sekali menurut Bella.
"Ekhm! Udah pacaran aja nih pagi-pagi." Gia datang entah sejak kapan, langsung saja duduk disebelah Tristan dengan wajah bantal dan rambut singanya.
"Makan Mbak Gia," ujar Bella, menaruh piring berisi nasi goreng untuk Gia.
"Wah, enak banget nih dimasakin. Soalnya dua minggu disini gak pernah ada yang perhatian mau buat sarapan," sindirnya pada si pemilik apartemen, alias Tristan.
Tristan merotasikan bola matanya malas, sementara Bella hanya terkekeh pelan.
"Oh ya, semalem Kamu tidur terus bangun ya Bel? Mbak bangun Kamu gak ada, pas bangun lagi Kamu udah di samping," tanya Gia, membuat Bella dan Tristan curi-curi pandang. Untung Gia masih mengantuk, tak menangkap gelagat mencurigakan dua orang bersamanya itu.
"Oh ... iya Mbak, Saya ke toilet, cari minum," jawab Bella. Sebenarnya Ia juga lupa apakah tadi malam Ia tertidur di sofa sembari memeluk Tristan atau berjalan sendiri ke kamar.
Sementara itu Tristan susah payah menahan senyumnya, karena dirinyalah oknum yang menggendong Bella ala bridal style itu ke kemar Gia, karena gadis itu tertidur lelap disampingnya, dalam posisi yang tidak sama sekali tega Tristan bangunkan.
***
Tristan dan Jevan melangkah tergesa menuju ruang tahanan setelah Luki mengatakan bahwa Damar datang ke kepolisian pagi ini, dan mengkonfirmasi bahwa pria yang melakukan penyerangan terhadap mahasiswa ICS Jakarta berserta dosennya yang tak lain tak bukan adalah Bella itu adalah Farhan, salah satu tersangka yang dibebaskan karena salah tangkap.
"Pak Damar," panggil Tristan pada Damar yang sedang berbicara dengan Luki di depan ruang tahanan. Keduanya berbalik cepat mengetahui kedatangan Tristan dan Jevan.
"Oh, Kapten Tristan. Pagi."
"Pagi. Jadi bagaimana kronologinya? Bagaimana Anda tahu kalau pelaku penyerangan di ICS Jakarta ini adalah saudara Farhan?"
"Saya masih menyimpan foto dan identitasnya. Juga informasi yang didapatkan dari observasi kita kemarin."
"Bagaimana observasi Anda kemarin? Belum sempat disampaikan pada Kami," ujar Tristan, sekaligus saja menanyakan hasil pekerjaan pada Damar.
"Ketua RT di komplek itu mengatakan bahwa Vernaldi dan Farhan tinggal bersama di rumah itu, dan salah satu dari mereka sering tidak ada. Lalu beberapa bulan terakhir, salah satu dari mereka, yaitu Farhan teridentifikasi sebagai ODGJ, bahkan satu psikiater dan petugas RSJ pernah mendatangi rumah itu."
Jevan dan Tristan mengerutkan dahinya terkejut, sementara Luki sepertinya sudah mendengar lebih awal, "ODGJ? Apa dia mengalami gangguan jiwa semacam ... impulsivitas, atau ... agresif?" tanya Tristan kemudian, agak terbata mencari sebutan psikologis yang pas. Pikirannya kini kembali pada ucapan Bella sore itu, mengatakan bahwa sepertinya ada yang tidak beres dengan emosional si pria.
"Betul, Kapten. Pelaku ini agresif, dan impulsif. Seharusnya masih dalam pendampingan psikiater untuk diterapi."