Gia yang tengah asik makan ringan sembari menggambar rancangan proyek bangunan terbarunya di ruang tengah apartemen Tristan itu hanya bisa diam membatu, bengong, mendapati Tristan pulang bersama Bella. Oh, tidak hanya pulang bersama, melainkan adiknya itu juga mengatakan bahwa Bella akan menginap di apartemen Tristan untuk malam ini akibat insiden yang dialami Bella tadi pagi.
Gia akhirnya berdiri, "Tristan, ayo bicara dulu sama Mbak empat mata di dalam," titahnya serius dan ketus sembari berjalan menuju kamarnya.
"Oh ya Bella, silakan duduk, itu ada makanan Mbak, dimakan aja," sambung Gia dengan nada berbeda untuk Bella.
"Iya Mbak." Bella tersenyum canggung. Ini memang murni idenya Tristan. Katanya Ia khawatir ada apa-apa jika Bella tinggal di apartemen sendirian malam ini pascainsiden buruk yang menimpanya. Bella menurut saja, tapi Ia tak memprediksi kalau respon Gia akan seterkejut itu. Tristan bahkan sudah diseret ke dalam.
BLAM!
Gia menutup pintu kamarnya keras, membuat Bella bahkan terkejut sendiri.
PLAKK!
Gia menoyor kepala Tristan keras-keras hingga pemiliknya agak gontai. Sekali lagi, Tristan bukan ditampar.
"Heh! Kamu tuh mikir gak sih, Tristan? Bawa anak gadis ke apartemen, belum nikah! Ini Indonesia heh! Bukan Amerika!" Gia menunjuk-nunjuk wajah Tristan sembari berbicara pelan penuh penekanan.
"Sakit Mbak!" protes Tristan.
Gia ganti menjambak rambut Tristan, membuatnya mati-matian tidak mengeluarkan suara. Malu kan kalau terdengar oleh yang ada di ruang tengah.
"Setres Kamu ini. Udah berapa kali Kamu bawa cewek ke apartemen pas gak ada Mbak hah!"
"Mbak, lepasin dulu please, biar Aku jelasin. Ya, lepas dulu Ya Allah sakit ini!"
Gia berdecak sebal, lalu menghempaskan kepala adiknya kasar.
Tristan lantas menghela nafasnya setelah berhasil menangani rasa sakit double di kepalanya, "Jadi gini, pertama ... walaupun Aku lama di Amerika, Aku gak pernah bawa perempuan ke apartemen, apalagi kalo cuma berdua. Demi Tuhan baru kali ini, dan itupun karena ada alasan khusus dan urgensinya ..." ujarnya menggantung, memeriksa apakah Gia menyimak dan mendengar dengan baik atau tidak.
"Ya, terus?"
"Aku udah cerita kan tadi pagi dia kenapa di kampusnya?"
Gia mengangguk sembari berkacak pinggang, "Ya terus? Buruan deh gak usah muter muter!"
"Yaudah sabar!"
"Bella itu ..." ujarnya menggantung, karena ingat pada janjinya untuk tidak mengatakan pada siapapun soal penyakit HSAM yang diderita Bella. Termasuk Gia.
"Bella kenapa?" tanya Gia begitu mendapati Tristan malah melamun.
Tristan meneguk salivanya sendiri, "Bella itu ... Bella itu ... dia bakal terganggu kalau sudah mengalami hal hal buruk," ujarnya setelah mencari alasan umum.
Gia mengerutkan dahinya.
"Insiden pascakecelakaan di RS. Kayak gitu."
"Paham kan Mbak? Paham gak paham tolong dipahami. Tolong bantu juga dia," lanjut Tristan. Gia tampak terdiam berpikir, turut berempati.
"Tenang aja Mbak, Bella tidurnya sama Kamu kok, bukan sama Aku."
Kembali Gia memukuli Tristan.
****
Jam sebelas malam, Bella terbangun dari tidurnya. Lagi lagi. Ini kesekian kalinya Ia terbangun sejak pamit beristirahat pada Tristan jam sembilan lalu. Apalagi yang mengganggunya selain ingatannya sendiri? Bahkan suara Gia disebelahnya yang tidur mendengkur itu masih bisa jauh Ia tolerir.
Bella akhirnya memutuskan bangun saja, sekalian mencari air minum di dapur. Haus juga. Tenang, Ia sudah memiliki full access ke seluruh apartemen kecuali kamar si pemilik.
Mendekati pintu keluar, Bella mendengar suara televisi dihidupkan di ruang tengah. Bella pikir seseorang lupa mematikan televisi. Namun rupanya tidak, karena begitu membuka pintu, Bella mendapati Tristan disana. Tristan duduk di sofa, menyilangkan kakinya. Pria itu sedang serius membaca dan mencorat coret satu bundel kertas tebal dengan tinta merah. Kacamata rimless di wajahnya semakin menambah kesan bahwa pria berkaos putih itu sedang fokus maksimal, bahkan melupakan siaran sepak bola di televisinya. Entah kenapa Ia harus menghidupkan televisi kalau tidak ditonton.
"Mas Tristan? Belum tidur?"
Tristan tampaknya terkejut dengan suara serak Bella tiba-tiba. Terlalu fokus dirinya, sampai tak mendengar suara pintu kamar yang dibuka tadi.
"Eh? Kamu. Iya belum. Kamu mau kemana? Kenapa gak tidur?" tanya Tristan beruntun.
"Saya mau minum."
Tristan cepat berdiri, menaruh kertas tebalnya di meja, "Kamu tunggu disini. Saya ambilkan," ujarnya, tanpa persetujuan sudah melenggang ke dapur.
Bella menurut, duduk disamping tempat Tristan duduk tadi. Melihat judul dokumen yang dibuka Tristan, rupanya Ia masih sibuk dengan laporan penyidikan kasus yang sama; The Retro.
Tristan akhirnya kembali, "Nih. Apa ada lagi yang mau Kamu minum, atau makan mungkin?" tanyanya sembari memberikan segelas air mineral pada Bella.
Bella menggeleng, "Gak, Mas. Makasih," tolaknya.
Tristan lantas tersenyum, mengacak rambut depan Bella sekilas, dan kembali duduk. Tristan kembali pada dokumennya, namun Ia terhenti ketika Bella menaruh gelas ke atas meja kembali. Tidak enak juga kalau mengabaikan calon tunangannya itu kan? Alhasil Tristan menaruh kembali dokumennya
"Kamu pasti gak bisa tidur ya?" tanya Tristan kemudian, memiringkan duduknya menghadap Bella, menopang kepala dengan tangannya.
Bella mengangguk, "Iya. Kejadian tadi pagi itu sangat mengganggu."
"Sedetail apa Kamu mengingat itu?"
"Sangat detail. Bahkan ..."
Bella memejamkan matanya. "Saya masih hafal gimana kasarnya tangan orang itu mengenai leher Saya bersama pisaunya."
Tristan mengusap kepala gadis didepannya dengan sayang, tidak banyak yang bisa Ia katakan.
Hening kemudian. Keduanya sibuk dengan pikiran masing masing.
"Apa yang ... bisa ... menenangkan Kamu? Kamu bilang waktu itu ada Ayah angkat Kamu?"
Bella mengangguk, "Ya. Biasanya beliau yang temani Saya sampai bisa tidur," ujarnya tersenyum penuh arti dan nostalgia.
Tristan tersenyum kemudian, masih merapikan anak rambut Bella yang agak berantakan. Mungkin Bella terlalu banyak bergerak akibat sulitnya tidur.
"Kalau Kamu mau, Kamu bisa menganggap Saya seperti mendiang Ayah Angkat Kamu," ujarnya kemudian.
Bella tersenyum miring, "Kamu bakal repot, Mas."
"Kenapa emang?"
"Saya berisik. Saya bakal cerita panjang lebar sampai tidur."
"Gak masalah. Saya udah minum kopi tadi, pasti bisa dengerin Kamu sampe pagi."
Bella tertawa pelan. Lantas Ia menghela nafasnya dalam sebelum akhirnya menyandarkan kepala di dada Tristan. Tristan lumayan kaget awalnya, namun Ia merespon cepat, ikut melingkarkan tangan di pundak Bella, menepuk nepuk lengan gadis itu, menyalurkan ketenangan.
"Apa yang mau Kamu ceritakan?" tanya Tristan kemudian.
Bella masih diam, Ia masih meresapi ketenangan yang Ia dapatkan dari Tristan sembari matanya itu memejam. Terbawa suasana, Bella turut melingkarkan tangannya ke pinggang Tristan, membuat pria itu terkekeh geli. Lucu sekali Bella, memeluknya seperti koala, pikir Tristan.
"Saya gak paham kenapa Saya berani banget tadi pagi, dan disetiap kejadian seperti itu."
"Di waktu kejadian, Saya berani. Tapi setelahnya ... Saya berubah menjadi penakut."
"Seperti sekarang."
Bella mulai menceritakan, meluapkan apa yang ada di kepalanya sejak tadi siang. Tristan menyimak seksama, sembari terus menepuk pelan lengan Bella.
"Satu lagi memori buruk masuk ke otak Saya secara permanen."
Bella mengeratkan pelukannya pada Tristan, "Saya gak bisa memilih mana yang akan Saya pikirkan hari ini, besok, atau lusa. Semua muncul acak, tapi ... yang buruk selalu datang. Saya benci itu."
Tristan memiringkan wajahnya, hingga pelipisnya menyentuh puncak kepala Bella. Tristan paham, suasana hati Bella sedang kacau.
Bella lantas tertawa pelan, "Maaf Saya selalu repotin Mas Tristan. Bikin khawatir, dan sekarang malah ... curhat panjang."
Tristan menggeleng, turut mengunci tangannya dibalik punggung Bella, "Berapa kali sih Saya harus bilang? Saya itu sayang sama Kamu, gak mungkin merasa direpotkan dengan hal hal seperti itu," ujarnya tulus.
Bella lantas tersenyum, mendonggak sebentar, mempertemukan tatapan mereka disana. "Mbak Gia gimana pas tau Saya nginep disini? Marah ya sama Kamu?" tanyanya, membelokan topik.
Tristan memiringkan wajah, menunjukan pelipis kirinya, "Liat nih masih merah Saya tadi ditampol sama dia," adunya bak anak kecil, membuat Bella terkekeh geli.
"Coba liat." Bella tergerak menyentuh pelipis Tristan yang sebenarnya tidak merah merah amat. Tristan memang kebanyakan mendramatisir.
"Saya pikir Kamu lebih baik setelah bicara panjang lebar begini," ujar Tristan kemudian.
Bella, masih tak bosan memeluk dan bersandar pada Tristan, "Iya. Mas Tristan lebih membantu daripada psikiater. Heran Saya."
Tristan tertawa pelan, "Gombal Kamu. Yaudah, tidur. Saya temenin."
Bella memukul pelan Tristan, "Ntar Mbak Gia mikirnya aneh-aneh Kamu ini, Mas."
Tristan mengerutkan dahinya, "Aneh aneh gimana? Hayo mikir apa Kamu?" godanya.
"Gak usah pura pura polos!"
"Kan Saya nanya."
"Gak percaya Saya kalau Kamu gak ngerti."
"Terus kenapa Kamu meluk meluk Saya kalau paham Saya ngerti sama yang begitu begituan?"
"Ya apa lagi kan? Saya percaya sama Mas Tristan."