Chereads / The Retro: Art and Death / Chapter 37 - Penyanderaan Tak Terduga

Chapter 37 - Penyanderaan Tak Terduga

Perkuliahan pagi baru saja selesai setengah sepuluh pagi. Kelas untuk mata kuliah tiga kredit yang diampu Bella di mahasiswa S1 semester 7 itu mulai bubar, dengan Bella yang masih sibuk merapikan laptop, jurnal, diktat dan beberapa bawaannya yang lain. Nafis si Ketua Kelas menawarkan bantuan untuk membawakan barang-barang Bella yang cukup berat itu akhirnya.

"Sampai mana progress Kamu dan kedua lainnya? Apa ada kendala soal data-data yang sudah Saya berikan tempo hari?" tanyanya, sekalian saja memfollow up progress tugas akhir mahasiswa bimbingannya sembari jalan menuju ruangannya.

Nafis tampak berpikir, "Kalau Saya ... belum ada sih Bu. Kurang tau juga dengan yang lain."

"Berarti sudah bisa di report ke Saya kapan untuk hasil kategorisasinya? Sebagai tahap awal penelitian? Itu harus didiskusikan dulu ya sebelum kita eksekusi ke lapangan," lanjut Bella. Keduanya mulai menaiki tangga menuju lantai dua.

"Secepatnya Bu. Mungkin ... dua sampai tiga hari kedepan."

"Baik. Saya tunggu ya. Selalu kompak dengan dua teman kalian, kalau bisa jangan sampai ada yang tertinggal dari yang lain."

"Baik Bu nan ..."

"TOLONG!"

Ucapan Nafis terhenti, keduanya terkejut begitu mendengar suara seseorang berteriak minta tolong. "Ada apa itu?" tanya Bella. Nafis dan Bella bergerak cepat, mencari sumber suara yang jelas sekali berasal dari lantai satu.

BAKK!

BUGH!

"TOLONG! Aaa! Jangan, tolong berhenti!" suara teriakan wanita minta tolong itu semakin terdengar begitu Nafis dan Bella mendekat ke Sekretariat Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas. Beberapa mahasiswa juga turut menghampiri.

"Tolong jangan!"

"Siapa di dalam!" Nafis mengguncang-guncang pintu sekretariat yang terkunci dari dalam.

"Tolong Saya!" seorang wanita menampakan dirinya dibalik kaca. Namun cepat Ia kembali ditarik ke dalam oleh seseorang.

"Ada dua orang. Satu perempuan, satu pria," ujar salah satu mahasiswa yang datang kesana.

Bella menanggalkan seluruh barang-barangnya di lantai kecuali ponsel, memeriksa dalam ruangan yang cukup gelap. Matanya memicing, memastikan bahwa yang dilihatnya itu adalah seorang pria tinggi yang sedang mencekik perempuan yang menampakan wajahnya di kaca tadi. Tampak pria itu secara agresif menyerang si wanita.

"Siapa perempuan di dalam? Mahasiswa?" tanya Bella pada kerumunan mahasiswa sembari menghubungi seseorang di telepon.

"Iya Bu. Mahasiswa Departemen Ilmu Politik," jawab Nafis, masih bersusah payah mendobrak pintu dibantu beberapa mahasiswa lain.

"Pagi Pak. Tolong turun ke Sekretariat DPM, ada orang asing menyerang mahasiswi. Segera Pak, kondisinya sudah berbahaya," ujar Bella panik, karena Ia melihat perempuan di dalam semakin terintimidasi hingga sudah jatuh di lantai. Entah apa yang dikatakan oleh si pria sambil memaki itu, tak terdengar karena kedap suara.

"Satu!"

"Dua!"

"Tiga!"

BRAKK!

BRAKK!

BRUGH!

Pintu akhirnya berhasil terbuka setelah dirusak oleh Nafis dan lima orang lainnya menggunakan balok kayu besar yang entah mereka dapatkan dari mana. Kini terlihat jelas wajah pria itu, dan sialnya Ia tak juga melepaskan mahasiswi, malah menjadikannya sandera.

Bella tanpa pikir panjang mendekat ke dalam, meskipun Nafis dan rekan-rekannya sudah melarang karena itu berbahaya. "Pak, tolong lepaskan gadis ini. Anda sudah membuat keributan di lingkungan kampus," ujar Bella dengan nada bicaranya yang diatur normal. Hati-hati Ia berbicara, mencegah si pria yang sepertinya memang bertempramen buruk dan agresif ini malah terpancing emosi dan balik melukai yang lain.

"Minggir!" titahnya alih-allih melepaskan si mahasiswi.

Bella menggeleng, "Lepaskan dulu, Pak!"

"Jangan ikut campur Kamu!" sentak si pria. Tak lama dari itu, Nafis dan beberapa mahasiswa ikut masuk. Security yang dipanggil juga sudah datang.

"Anda ini siapa?" tanya security. Pria itu mulai terlihat gugup karena dihadang oleh belasan orang di depannya, dengan Bella berdiri di paling depan. Tanpa ragu Bella menarik tangan mahasiswi yang sudah syok berat dan lemah itu. Namun ...

"Bu Bella!" teriak Nafis sembari menarik lengan kemeja Bella. Pria itu menodongkan pisau persis ke depan mata Bella, satu sentimeter saja Bella bergerak ke depan, netranya itu akan menjadi korban.

"Bu Bella mundur Bu! Bahaya!" titah seorang security wanita di belakang. Bella tidak langsung menurut, Ia tampak berpikir disana.

"Turunkan senjata Anda Pak. Atau Kami yang akan balik melukai Anda jika tidak kooperatif!" sentak security lagi. Pria itu menelan salivanya sendiri, semakin panik, sekarang menodongkan pisau lipatnya pada si security, dengan tangan yang masih mengapit si mahasiswi.

Kesempatan bagi Bella, Ia langsung mendekat dan berhasil menarik mahasiswi itu meskipun akhirnya Ia terpental ke belakang, dan gantian kini Bella yang disandera. Ruangan menjadi riuh melihat si pria itu menempelkan pisau ke leher Bella. Dosen itu masih berusaha terlihat tenang, padahal jelas lehernya itu berdarah.

"Ada apa ini!" seru seseorang, membuat perhatian seluruh orang di ruangan itu teralihkan. Adalah Jesse, Direktur Utama ISC Jakarta, alias kampus mereka. Perihal darimana dan bagaimana Ia bisa ada disana, tidak ada yang tahu.

"Anda! Turunkan senjata dan lepaskan Bella atau Anda yang Saya tembak!" serunya. Jesse benar-benar mengangkat pistolnya, mengarah pada kepala si pria yang menyandera Bella.

Situasinya kian menegang sekarang.

"Saya beri kesempatan sampai hitungan ketiga!"

"Satu!

"Dua!"

Jesse memperlambat hitungannya menuju tiga. Pria itu tampak sangat tertekan, apalagi Bella, Ia sudah memejamkan matanya sedari tadi kalau-kalau tembakan itu jadi dilontarkan Jesse, dan pisau di tangan pria itu merobek lehernya.

"Ti ..." Jesse bersiap dengan pelatuk pistolnya.

BRAKK!

"Bu Bella ..." Pria itu akhirnya melepaskan Bella kasar, membuat dosen itu terhempas ke lantai. Buru-buru security wanita dan beberapa mahasiswi memapahnya keluar. Jesse memperhatikan Bella sampai Ia keluar, Bella hanya menunduk, berterimakasih pada Direktur yang sudah menyelamatkannya itu.

Pria tadi segera diringkus. "Amankan pria ini. Bawa ke kantor kepolisian!"

****

Jam empat sore, waktu kerja di kepolisian telah berakhir, Tristan bergegas memacu mobilnya menuju ISC setelah tadi siang Ia menghubungi Bella dan gadis itu mengatakan bahwa Ia baru saja menjadi sandera dalam insiden tak terduga. Ya, tak ada gunanya bagi Bella untuk menutup-nutupi insiden ini dari Tristan.

Sampai di ISC, Tristan menghubungi Bella, menanyakan dimana gadis itu berada. Rupanya Bella sudah terlihat berjalan ke parkiran utama tempat Tristan memarkirkan mobilnya, terlihat dari jarak seratusan meter. Segera Tristan keluar.

"Bella!" Tristan setengah berlari di halaman parkir yang masih agak ramai mahasiswa.

Bella menoleh, sembari agak meringis. Lehernya itu benar-benar diperban, akibat goresan yang cukup panjang. Perih rasanya.

"Gimana ceritanya? Ada apa?" tanya Tristan panik, mengelus rambut Bella, lanjut merangkulnya sampai mobil. Tak peduli kalau banyak pasang mata yang memperhatikan aksi pria yang sudah melepas seragam kepolisiannya itu.

"Coba coba, Saya bingung ini ada apa sebenarnya?" Tristan kembali bertanya begitu mereka sudah masuk ke dalam mobil.

Bella melepas tasnya terlebih dahulu, "Tadi tiba-tiba pas Saya selesai ngajar, ada mahasiswi disandera orang asing di kampus. Saya bantu, dan ya ... klasik sih. Malah Saya yang disandera beberapa menit, dan hasilnya begini," ujarnya tenang, sementara Tristan tak ada santai-santainya. Pria itu mengerutkan dahi, bahkan mengepalkan tangan, seolah siap menghajar orang yang menyandera calon tunangannya itu.

Melihat Tristan seperti itu, Bella tersenyum, "Udahlah Mas, gak apa-apa, kok. Saya juga udah diobatin, istirahat seharian gak kerja ini di kampus. Orangnya juga udah diamankan tadi," ujarnya.

Tristan menghela nafasnya, mulai menghidupkan mesin mobil, "Gak apa-apa gimana. Dia diamankan di unit Saya kan? Besok Saya periksa dia," ujarnya.

"Jangan diapa-apain loh."

"Gimana nanti."

"Kayaknya dia ada sesuatu. Saya lihat ... emosinya gak normal," ujar Bella, menghadap Tristan yang sibuk mengambil haluan parkir.

Hening sejenak, Tristan masih menenangkan emosinya. Bella mewajari saja, mungkin kalau di posisi Tristan, Ia akan sama paniknya.

Tristan lalu menggenggam tangan Bella erat, selagi tangan satunya di kemudi, mengemudi dengan satu tangan, "Tau gak Kamu? Rasanya hampir lepas jantung Saya tadi siang."