Tristan dan Luki berpapasan di depan ruangan Tristan sekembalinya dari tugas masing-masing, "Gimana? Apa ada sesuatu di temuan temuan tadi?" tanya Tristan to the point.
Luki mengangguk, "Iya, Kapten. Masa ada unsur unsur darah di benda warna merah itu," ujarnya seolah tak percaya.
Tristan mengerutkan dahinya, terkejut, tapi sebenarnya tidak terlalu. Ia lantas membuka pintu ruangannya, tampak kosong di dalam.
"Kemana yang lain?" tanyanya.
"Kembali ke station masing-masing. Katanya ada sinyal yang diduga dari Kapten Kian, Kapten Isyana langsung kesana setelah dikabari," jelas Luki. Keduanya lantas duduk di sofa ruangan.
"Jadi gimana? Mana laporan analisis forensiknya?"
Luki menyerahkan tiga bundel keras A4, berisi analisis tiga objek yang ditemukan di TKP siang tadi. Tristan membacanya perlahan, sesekali mengerenyitkan dahinya.
"Hanya hemoglobin? Bagaimana bisa tidak rusak? Itu kan unsur organik?" tanya Tristan.
"Arin bilang, itu sepertinya terawetkan, baik sengaja atau tidak. Juga terakhir Saya bersihkan yang menempel di tangan Kapten itu, baunya bukan bau khas darah, meskipun ada zat besi disana. Sepertinya identitas khas darah sudah disamarkan, dan kita harus selidiki itu," jelas Luki panjang lebar.
Tristan mengangguk, menaruh tiga laporan itu setelah paham semua isinya, "Tadi Saya bertemu dengan Pak Rajendra, detektif yang menginvestigasi tiga tahun lalu. Mengejutkannya, dulu mereka sudah menemukan belasan derigen itu, tapi kosong, makanya tidak ada di laporan," ujarnya.
Luki membulatkan matanya, "Bagaimana bisa begitu? Berarti ada yang mengubah TKP selama ini?"
Tristan mengangguk, "Ya, Pak Rajendra juga mengatakan begitu tadi, karena dua temuan kita yang lain, objek merah dan goresan di lantai itu juga tidak ditemukan tiga tahun lalu," ujarnya.
"Saya yakin mereka sudah bekerja dengan detail," lanjut Tristan.
Hening kemudian, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hingga akhirnya suara bukaan pintu yang cukup keras membuyarkan lamunan mereka. Itu Isyana, Jevan, dan Yudha.
"Ada apa tergesa tergesa seperti itu?" tanya Tristan, heran melihat ketiga orang itu seperti panik, apalagi Isyana.
"Pengirim pesan misterius kemarin malam, itu Kapten Kian!" ujar Isyana.
"Yang benar?"
"Ya, sinyal yang terdeteksi di divisi siber intelijen beberapa jam lalu itu sama dengan si pengirim. Tapi sayang, itu gak bisa diketahui lebih jauh. Kembali hilang. Sepertinya Kapten Kian berusaha menghubungi tapi diurungkan entah karena apa," jelas Yudha panjang lebar.
Tristan tampak berpikir keras, "Berarti itu memang petunjuk, dari Kapten Kian. Sepertinya Ia meminta kita memeriksa TKP yang janggal terlebih dahulu," ujarnya.
"Janggal seperti apa maksudnya? Karena ada yang tidak dilaporkan di laporan TKP tiga tahun lalu?" tanya Jevan.
Tristan mengangguk, "Ya, ternyata TKP itu memang diubah oleh seseorang," ujarnya. Lanjut Tristan menjelaskan apa yang baru saja dilaporkan Luki dan Ia dengar langsung dari Rajendra. Kembali tiga orang itu dibuat memutar otak. Siapa yang memodifikasi TKP itu? Dan apa tujuannya?
"Kita harus menemukan konsensus terlebih dahulu," lanjut Tristan, ganti berdiri dari duduknya untuk memberi instruksi.
"Kita akan memeriksa ketiga TKP sebelum menentukan langkah selanjutnya. Jika benar ketiga TKP dimodifikasi seseorang, rencana kita bisa saja berubah."
****
Tristan meningkatkan laju mobilnya begitu mendapat panggilan dari rumah sakit bahwa Bella sudah siuman. Memang awalnya pria itu tengah menuju rumah sakit, namun tidak terburu-buru seperti sekarang. Ia masih khawatir kalau Bella akan pulang duluan karena kembali merasa merepotkan.
Sesampainya di rumah sakit, Tristan berlari menuju UGD, tempat tadi siang Ia berkunjung juga. Tak perlu waktu lama baginya menemukan Bella. Gadis itu tampak terduduk di brangkar rumah sakit. Tristan menhela nafas lega, syukurlah Ia menurut untuk menunggunya.
"Bella!" panggil Tristan.
Bella menoleh dari laptopnya, "Oh, Tristan, hai!"
"Gimana? Udah baikan?"
Bella mengangguk, "Sudah. Makasih ya, katanya Kamu datang tadi siang, jadi wali Saya?"
"Gak masalah. Kamu kenapa kok bisa pingsan?" tanya Tristan lagi, kini mendudukan diri di kursi samping tempat tidur.
Bella menutup laptopnya, "Mirip seperti yang Saya ceritakan malam itu di lobby apartemen. Saya pulang mengajar, dan sesampainya di apartemen, kepala Saya pusing, sakit sekali sampai akhirnya pingsan," ujarnya.
Tristan mengangguk, "Ada lagi? Apa ini efek trauma Kamu? Atau ... ada mimpi-mimpi aneh seperti waktu itu?" tanyanya, agak ragu bertanya soal mimpi.
Bella tampak sedikit berpikir, "Ya. Ada, kelebatan kecelakaan itu mendominasi kepala Saya sampai-sampai sulit bernafas. Soal mimpi Saya tadi siang, kayaknya ... Kamu gak akan percaya kalau Saya ceritakan," ujarnya.
"Apa? Saya akan dengarkan," ujarnya.
Bella menghela nafas dalam, menatap Tristan lebih intens, "Saya melihat Kamu, duduk bersama orang-orang, membicarakan sesuatu yang sangat penting ..."
Tristan terdiam, mencerna kemana arah pernyataan Bella barusan.
Bella memejamkan matanya kini, "Saya lihat Kamu berbicara dengan seseorang bernama Luki, Kamu membaca laporan, lalu tiga orang datang, dan Kamu berdiri beberapa menit kemudian ... sisanya Saya tidak bisa mendengar apa yang Kamu bicarakan ..."
Tristan terperangah kaget. Apa apaan yang baru saja Ia dengar.
"Ta-tadi siang, jam berapa Kamu siuman?"
Bella menggeleng, "Tidak tahu pasti, yang jelas masih siang," ujarnya.
Tristan kembali terdiam, apa yang dikatakan Bella itu benar-benar skenario yang terjadi, Ia alami, dan bisa jadi waktunya sebelum, ditengah, atau setelah itu terjadi.
"Ada apa? Sangat aneh ya? Kamu gak harus percaya, Saya cuma cerita," ujar Bella, merasa tidak enak.
Tristan menggeleng cepat, "Bukan, Saya heran. Itu benar-benar terjadi tadi siang. Apa yang Kamu ceritakan dari mimpi Kamu," ujarnya.
Bella kini terkejut. Ternyata bukan Ia saja yang mengalami apa yang dilihat dalam mimpinya soal Tristan berkali-kali, tapi pria itu juga.
"Saya rasa ... itu bukan sekedar mimpi, Bella."
"Lalu apa?" tanya Bella.
Tristan tampak berpikir, "Saya juga gak tau, tapi apa mungkin itu terjadi dengan sangat mirip kalau hanya mimpi? Gak mungkin juga kan itu terjadi karena Kamu ... katakanlah ... sangat memikirkan Saya sampai terbawa mimpi dan berubah jadi kenyataan seperti itu?" tanya Tristan, mulai konyol saking tidak masuk akalnya hal yang Bella alami itu.
Bella mendadak kikuk di tempat. Ya memang ada benarnya sih kalau Bella memikirkan Tristan belakangan ini. Tapi apa perlu Tristan membuka kartunya seperti ini?
"Eng-enggak sih. Tapi ..."
"Saya memang mulai punya mimpi seperti itu setelah bertemu Kamu," lanjutnya.
"Maksudnya?"
"Ya, Saya mimpi Kamu tunangan Saya setelah melihat Kamu di seminar, dan mengobrol di pesawat, kan?"
Tristan tampak berpikir. Iya juga.
"Di awal Saya kira Saya memimpikan sebuah masa depan, karena skenario skenario dalam mimpi itu terus terjadi setelah Saya sadar. Karena Kamu gak percaya, Saya mencoba menghilangkan asumsi itu. Tapi sekarang?"
Bella dan Tristan silih bertatapan.
"Sepertinya apa yang Saya lihat soal Kamu di mimpi Saya adalah benar masa depan."