Tristan menggeleng setelah mendengar kalimat Bella barusan, tetap Ia tipikal orang yang tak mudah percaya hal hal seperti itu. Padahal tadi, Ia sendiri yang mengatakan tidak percaya kalau itu mimpi.
"Saya belum bisa percaya sampai sana," ujar Tristan.
"Ya, terserah Kamu. Tapi Saya sepertinya akan percaya itu. Memang salah mempercayai masa depan yang belum terjadi, tapi itu benar apa yang Saya lihat," kekeuh Bella, tetap pada argumennya.
Tristan menghela nafasnya dalam, lantas mengangguk, menghargai Bella dan argumennya.
"Kamu boleh mengabari Saya, atau sekedar bercerita tentang itu jika Kamu ingin," ujarnya tersenyum.
"Baik, karena hanya Kamu dan Mbak Gia yang tau soal ini."
"Tapi ... tolong jangan jadikan itu patokan Kamu untuk bertindak, sebagai pencegahan atau apapun. Jika suatu saat ... muncul bayangan yang merujuk kesana."
"Maksudnya gimana?" tanya Bella, tak paham dengan kalimat Tristan yang terdengar berbelat belit penuh siratan.
Tristan menegakkan duduknya, menatap Bella lebih tajam, "Gini Bella, kalau Kamu terus melihat bayangan-bayangan yang Kamu sebut masa depan itu ... tentang Saya ..." ujarnya menggantung.
Tristan mulai tak yakin dengan apa yang Ia ucapkan. Ia harus tak percaya, tapi ingin percaya juga. Dilematik.
"Kamu tau kan, profesi Saya seorang aparat hukum, dan Saya sedang menangani kasus besar dan berbahaya sekarang. Apa yang Kamu ceritakan tadi, itu bagian dari proses investigasi yang sedang Saya lakukan. Saya hanya berharap agar Kamu tidak lagi melihat bayangan-bayangan ... yang lebih berbahaya dalam proses investigasi yang Saya lakukan," ujarnya panjang lebar.
Bella memalingkan wajahnya, menghelan nafas dalam, "Itu yang Saya khawatirkan sedari tadi. Saya takut ... bisa melihat hal-hal berbahaya yang mungkin akan terjadi sama Kamu," ujarnya.
"Semoga Kamu selalu baik-baik saja, Tristan," lanjutnya, kini menatap pria itu.
Tristan lantas tersenyum, "Ya, Saya akan berusaha. Kalau begitu, apa Kamu mau pulang sekarang?" tanyanya, mengganti topik pembicaraan.
Bella mengangguk, "Iya. Saya udah mau pulang dari tadi, tapi dilarang sama suster karena nunggu Kamu dateng buat tanda tangan surat pulang," ujarnya setengah tertawa.
"Yaudah ya, tunggu sebentar. Saya antar," ujar Tristan kemudian, berjalan cepat ke administrasi untuk mengurus kepulangan gadis itu.
Bella hanya memandangi punggung Tristan yang menjauh, kekhawatiran masih menjalari pikirannya. Kenapa harus seperti ini? Efek mimpinya tadi siang itu semakin menjelaskan bagaimana perasaannya pada Tristan.
****
Jam sembilan, Tristan baru sampai di apartemennya setelah mengantar Bella pulang. Pria itu langsung merebahkan dirinya diatas sofa. Lelah bukan karena beraktivitas fisik, melainkan berpikir. Tidak dipungkiri, porsi berpikir dalam pekerjaannya sedari dulu selalu lebih banyak.
Fakta-fakta baru soal TKP yang ganjil, petunjuk dari Kian, Kian yang berusaha menghubungi markas kepolisian, dan apa yang Bella lihat dalam mimpinya.
Masalah pekerjaan setidaknya bisa Ia taruh kebelakang karena Ia akan bekerja bersama timnya kembali besok pagi, mereka juga sudah menyusun strategi selanjutnya. Namun tidak soal Bella. Itu terlalu misterius, aneh, dan tidak masuk akal.
Sekali lagi, Tristan harus tidak percaya soal 'bayangan masa depan' karena itu bertentangan dengan ajaran agamanya, tapi apa mungkin Bella berbohong? Rasanya tidak mungkin, dan karena itu Ia ingin percaya.
"Udah Tristan, pikirkan apa yang Lo lihat, dan alami di kehidupan nyata," ujarnya kemudian, mengusap wajahnya kasar. Final, Tristan memutuskan untuk tidak mempedulikan soal itu, hanya akan menjalani hidup seperti biasa.
Ia lantas beranjak menuju kamarnya untuk membersihkan diri dan tidur. Guyuran air hangat dibutuhkan pria itu untuk merelaksasi jaringan-jaringan tubuhnya yang kusut dipakai seharian.
Keluar dari kamar mandi, Tristan mendapati ponselnya berdering, seseorang melakukan panggilan semalam ini. Jarang-jarang sekali.
Arabella is calling ...
Tristan memicingkan matanya, memastikan Ia tak salah lihat. Pasalnya, gadis itu seharusnya beristirahat. Ini sudah malam. Namun akhirnya Tristan tetap menjawab panggilan itu.
"Halo? Assalamualaikum?" sapanya, seraya menyisir rambut.
"Waalaikumsalam. Kamu udah sampai?" tanya Bella.
Tristan tersenyum, "Udah kok. Kamu kenapa belum tidur? Istirahat loh yang benar. Tidur berkualitas bisa aja mencegah Kamu punya mimpi mimpi buruk atau aneh," ujarnya setengah mengomel.
Bella malah tertawa pelan, "Iya, ini juga mau tidur. Tapi anyway Tristan ..."
"Kenapa?" tanya Tristan karena ucapan Bella sepertinya terpotong.
"Gak jadi."
"Kenapa sih?"
"Gak jadi. Tolong Kamu baik-baik ya, kabari Saya kalau ada apa-apa."
Tristan merebahkan dirinya di kasur, mengaktifkan fitur loudspeaker, agar lebih leluasa bergerak selagi mendengarkan ucapan gadis itu.
"Yang ada Saya yang harusnya bilang gitu ke Kamu," ujarnya.
"Saya juga berhak," bantah Bella.
"Hak untuk Kamu khawatir sama Saya? Gitu?" tanya Tristan. Ia sedang memastikan sekaligus menggoda gadis itu.
Hening beberapa detik, hingga akhirnya Bella menjawab, "Iya."
"Kalau Kamu khawatir sama Saya karena mimpi-mimpi dan bayangan yang Kamu lihat, sebaiknya jangan ..." ujar Tristan menggantung. Bella terdengar tak bersuara.
Tristan tersenyum, "Lebih baik Kamu khawatirkan Saya karena memang Kamu khawatir. Lebih baik Kamu khawatir seakan Kamu gak pernah punya mimpi atau bayangan masa depan soal Saya," ujarnya.
"Apa maksud Kamu?"
Tristan mengubah posisinya, membantali kepala dengan lengannya, "Saya mau memberikan akses legal ke Kamu untuk khawatirkan Saya seluas-luasnya, di dunia nyata, bukan dunia mimpi."
"Saya gak ngerti," ujar Bella cepat.
Tristan kembali menghela nafas, tanpa rencana Ia harus menjelaskan hal seperti ini. Sudah lama Ia ingin mengatakan isi pikiran dan hatinya, namun masih banyak pertimbangan. Tapi telepon dari Bella malam ini sedikit banyak memperteguh pendiriannya.
"Ini agak serius, apa gak keberatan kalau Saya jelasin via telepon begini?" tanyanya, mengulur waktu.
"Seserius apa itu memangnya?" tanya Bella seraya tertawa pelan.
Tristan kembali mengubah posisinya menjadi lebih nyaman, "Saya gak tau apa ini terlalu cepat atau enggak ..."
"Tunangan sama Saya, apa Kamu mau?" tembak Tristan to the point.
Bella terdiam. Jelas, Ia kaget.
"Kaget ya? Kan, apa Saya bilang," ujar Tristan memecah keheningan.
"Kenapa Kamu bisa berpikiran begitu? Atau tepatnya ... merasa begitu? Kita kenal belum lama." Bella akhirnya angkat suara.
"Saya juga gak yakin dengan alasan Saya. Terkesan gak rasional, tapi Saya sadar ini urusan hati. Semenjak Kamu pingsan di seminar itu, Saya seolah punya keinginan untuk menolong dan melindungi Kamu, apalagi setelah kecelakaan itu. Kamu mungkin udah tau, melihat dengan jelas dari tindakan dan perkataan Saya ..."
"Kalau Kamu peka," final Tristan.
"Tristan ..." panggil Bella.
"Ya?"
"Saya rasa Saya juga gak perlu berpikir panjang soal ini ..."
"Saya terima ... ajakan Kamu," tandasnya.
Tristan spontan tersenyum lebar, senyum yang sudah lama tak Ia rasakan sensasi bahagianya, "Makasih. Ini belum resmi, secepatnya akan Saya resmikan," ujarnya.
"Kamu mau meresmikan sama siapa? Saya cuma tinggal sendirian," ujarnya, terdengar sedih lewat tawa pelannya.
Tristan mencelos dalam hati, namun Ia berusaha menguatkan gadis itu, "Orang tua Saya, dan Kakak Saya itu akan jadi keluarga Kamu. Jangan khawatir," ujarnya.
Terdengar Bella menghembuskan nafasnya berat, "Jadi gini ya rasanya, dilamar seseorang," ujar Bella. Tawa tipis terdengar dari sana.
Tristan sontak tertawa, "Iya, gini rasanya. Ini juga pertama kali buat Saya."
"Semoga setelah ini kenangan-kenangan buruk yang Saya punya dan tidak bisa hilang itu akan jarang muncul," ujarnya.
"Semoga, semoga ini jalan yang baik untuk kita."