Rapat rutin hari Rabu untuk jajaran dosen baru saja selesai dilakukan. Selama tiga jam, beberapa kebijakan strategis kampus menyangkut akademik, sumberdaya manusia, hingga mahasiswa dibahas. Tak terkecuali masalah penelitian. Tahun ini, Departemen Kriminologi tempat Bella mengajar itu sedang gencar-gencarnya mengadakan kolaborasi penelitian dengan kampus di luar negeri. Tentu tujuannya untuk meningkatkan reputasi mereka melalui penelitian.
Bella sebagai salah satu pemegang proyek bernilai ratusan ribu poundsterling hasil MoU dengan salah satu universitas kenamaan Inggris itu turut menjadi sorotan. Pimpinan Departemen memintanya untuk menjelaskan sejauh mana progress proyek berjalan, dan apa yang akan dosen muda itu lakukan. Toleransi keterlambatan diberikan padanya yang baru saja mengalami musibah kecelakaan beberapa waktu lalu. Namun tentu saja Bella tak mau berlama-lama, siang ini penelitian itu harus kembali menapaki targetnya.
Selesai melaksanakan ibadah dzuhurnya, Bella keluar ruangan menuju kafetaria kampus untuk makan siang. Sandal jepit, rambut diikat satu, dan kemeja digulung sampai siku tanpa blazer adalah penampilan ternyaman di waktu-waktu seperti ini.
Akhirnya Bella memutuskan untuk makan ditempat, sendiri, setelah memesan beberapa makanan untuk makan siangnya. Perutnya itu sudah lapar karena banyak berbicara dan berpikir dalam rapat. Selagi menunggu makanan jadi, dosen itu hanya berkutat pada ponselnya. Melihat ke depan, kanan, dan kiri dihindarinya. Otaknya itu akan merekam permanen segala apa yang Ia lihat, dan bisa membuatnya pusing kapan saja.
Alhasil, Ia hanya tersenyum-senyum sendiri begitu membuka ruang percakapan virtualnya dengan Tristan beberapa waktu lalu. Seharian ini pria yang sudah melamarnya secara 'belum resmi' itu belum mengiriminya pesan.
"Chat gak ya?" gumamnya, menimbang-nimbang. Bagaikan anak ABG yang baru saja resmi berpacaran.
"Gak usah deh, takut ganggu." Bella mengurungkan niatnya, khawatir Tristan sedang sibuk dengan pekerjaannya.
Bella lantas menutup ruang percakapan itu, namun belum saja Ia membuka aplikasi media sosialnya yang lain, layar ponselnya itu sudah berubah, membuatnya tersenyum sumringah.
Tristan Emilio Fariq is calling ...
"Ekhm ..." Bella membersihkam tenggorokannya sebelum menjawab panggilan dari Tristan.
"Ha-halo, Assalamualaikum?"
"Waalaikumsalam, Bella. Masih di kampus?" tanya Tristan.
Bella mengangguk, "Iya nih, masih."
"Udah makan siang belum? Jangan sampai lupa, belum sehat banget Kamu tuh," ujarnya, kembali dengan setengah mengomel.
"Iyaaa ini lagi nunggu makanannya dateng, kok. Kamu dimana?"
"Ini Saya lagi break dari kerjaan, masih di depan masjid," jawabnya.
Bella tersenyum simpul, "Segera makan loh, setengah jam lagi jam satu, ntar gak keburu," ujarnya. Menyamaratakam jam istirahatnya dengan Tristan, padahal jam kerja pria itu jauh lebih fleksibel karena Ia sedang bekerja di lapangan.
"Saya tuh gak biasa makan siang sebenernya, cuma ... karena sekarang ada yang ngingetin jadi bisa kayaknya," ujarnya.
Bella lantas tersipu malu di tempat, berusaha tidak salah tingkah dengan menutupi wajahnya.
"Salah tingkah pasti. Yahh, baru segitu aja udah kalah," lanjut Tristan memanas-manasi.
"Udah deh, mending makan sana. Hati-hati ya, pokoknya hati-hati!" kilah Bella.
"Iyaaa. Masih khawatir soal itu ya?" tanya Tristan. Kini terdengar langkah kakinya, sepertinya pria itu sedang berpindah posisi.
Bella menghela nafasnya dalam, "Masih. Gak mudah buat mengabaikan itu. Saya bahkan gak bisa tau apa yang lagi Kamu lakukan hari ini karena itu kode etik kepolisian," ujarnya. Paham kalau tidak bisa sembarangan Tristan berbicara soal progress investigasi yang ditanganinya.
"Saya paham. Tapi jangan khawatir, doakan saja Saya selalu baik."
"Tentu."
****
Delapan orang mahasiswa lintas strata yang berada dibawah supervisi Bella untuk penelitian tugas akhir mereka itu tampak sudah berkumpul di ruang rapat khusus Departemen Kriminologi. Mereka tampak berbincang-bincang satu sama lain, hitung-hitung menambah relasi, terutama bagi para mahasiswa S1 yang baru saja bergabung; Hanin, Ola, dan Nafis. Pembicaraan dengan orang yang lebih berpengalaman dengan mereka tentu mendatangkan wawasan baru, meskipun pembawaannya agak kurang luwes dibanding berbicara dengan sesama jenjang mereka.
Tak lama kemudian, pintu ruangan dibuka, menampilkan Bella dan Sierra disana. Kedelapan orang itu kompak berdiri, menyambut dan menyalami dosen dan asistennya itu. Meskipun dua mahasiswa S3 disana lebih tua secara umur, mereka tetap menghormati Bella dalam konteks akademik ini.
"Saya gak terlambat kan ya?" Bella memeriksa jam di ruangan dan di tangannya.
"Enggak kok, Bu," ujar Fadila, mahasiswi magister.
Bella tersenyum ramah sembari mengeluarkan laptop dari tasnya, "Gimana kabarnya nih temen-temen? Udah lama ya gak ketemu?" tanyanya yang disahuti seadanya oleh yang lain. Maklum, kecanggungan akibat segan antara dosen dan mahasiswa tetap ada disana.
"Oh ya, selamat bergabung ya, buat yang S1. Hanin, Ola, Nafis, welcome here," lanjut Bella, menatap satu per satu mahasiswa bimbingan yang baru jadi ditemuinya siang ini. Ketiga orang itu hanya mengangguk dan tersenyum.
Tak perlu waktu lama, Sierra sudah menghubungkan laptop berisikan slides presentasi Bella dengan layar proyektor. Siang ini penjelasan tema besar penelitian akan dipaparkan setelah ditunda beberapa lama.
Bella lantas berdiri, menjelaskan satu per satu dengan detail apa yang dituliskannya di slide power point buatannya itu. Mulai dari latar belakang dan metodologi ada disana, harapan agar tidak ada lagi kebingungan diantara mahasiswanya setelah pertemuan ini.
"Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memverifikasi apakah Psychopathic Personality Traits Scale (PPTS) dapat digunakan secara reliabel di antara tahanan Indonesia. Secara khusus, Kita akan menguji validitas konstruk, struktur faktor, dan keandalan komposit PPTS dalam sampel pelanggar dari penjara Indonesia."
Semua orang tampak mengangguk paham.
"Sejalan dengan anggapan bahwa perilaku kriminal mungkin merupakan hasil dari ciri-ciri kepribadian psikopat, tujuan lain adalah untuk menguji kegunaan dimensi PPTS untuk berbagai jenis pelanggaran, seperti pembunuhan berantai, pembunuhan, kejahatan seks, kejahatan terkait senjata, kekerasan dalam rumah tangga, kejahatan kerah putih, kejahatan properti, kejahatan terkait narkoba), residivisme, waktu yang dihabiskan di penjara, dan gender." Bella menjelaskan outcome dari penelitian besar itu.
Bella kembali menekan tombol di pointer, menggeser ke layar selanjutnya.
"Data dikumpulkan di empat penjara yang berlokasi di setiap provinsi, di setiap Polda per provinsi di Indonesia, untuk banyak kategori kejahatan yang disebutkan sebelumnya," ujar Bella.
"Lalu dengan menggunakan convenience sampling, kita akan mendekati total 10000 narapidana dari 32 provinsi ini."
Kedelapan mahasiswa bimbingannya itu aktif mencatat penjelasan Bella selama hampir satu jam. Hingga akhirnya sesi tanya jawab pun dibuka. Pertanyaan lebih banyak muncul dari tiga mahasiswa S1 yang baru saja berkenalan dengan namanya penelitian itu, sementara yang lain sepertinya sudah paham.
"Izin bertanya, Bu Bella. Untuk sampling data nanti, akan disebar di 32 provinsi ya. Apakah untuk metode survey dan pengelolaan datanya akan sama?" tanya Nafis. Mahasiswa itu terlihat paling aktif memang diantara yang lain. Membaca profilnya, Bella sangat ingat bahwa Ia adalah satu satunya aktivis kampus di ruangan itu.
Bella menggeleng pelan, "Metode survey dan pengelolaan data akan dibedakan, dan Saya akan membedakannya berdasarkan perbedaan strata saja. Untuk kalian yang S1, survey akan menggunakan PPTS yang terdiri dari empat subskala, yaitu daya tanggap afektif, daya tanggap kognitif, manipulasi interpersonal, dan egosentrisitas."
"Untuk yang S2 dan S3, kita akan lebih lanjut menggunakan beberapa submodel dalam survey."
"Kemudian untuk analisis data, dimensi dan validitas PPTS tersebut akan diselidiki melalui penerapan teknik CFA tradisional, analisis bifaktor konfirmatori, atau pemodelan multitrait-multimethod (MTMM). Untuk mahasiswa S1 dipersilakan memilih satu, S2 memilih dua, dan S3 diwajibkan mengikutsertakan ketiganya."