Chereads / The Retro: Art and Death / Chapter 13 - Lebih Akrab

Chapter 13 - Lebih Akrab

Akhir pekan ini dihabiskan Tristan di rumah sakit. Bella sudah memintanya untuk kembali saja ke Jakarta, namun pria itu bersikeras untuk menginap sampai Bella benar-benar dipekenankan pulang. Tristan beralasan bahwa pekerjaannya saat ini bisa dikerjakan dari jarak jauh. Ya, Ia repot-repot membawa laptop dan beberapa berkas tercetak penting ke rumah sakit kemarin.

Sama seperti Tristan, Bella juga sibuk bekerja. Keduanya tampak tenggelam dalam pekerjaan masing-masing, hingga yang terdengar hanya suara ketikan laptop masing-masing. Sierra datang menjenguk, dan Bella memintanya membelikan laptop baru karena laptop yang lama sudah tidak tahu kemana, raib dalam pesawat nahas itu. Untung saja seluruh data pekerjaannya memiliki backup di penyimpanan online.

Tugas mengajar, serta penelitian terbengkalai cukup membuat Bella gusar sedari tadi. Dia adalah tipikal orang yang terencana. Peristiwa tak terduga seperti ini memaksanya berimprovisasi dan menyesuaikan dengan cepat, membuatnya agak kesulitan.

Di sofa dekat jendela, Tristan jauh lebih tenang, Ia sudah berhenti dengan laptopnya, ganti mencorat coret satu bundel A4 di tangannya. Pria itu semakin terlihat serius akibat kacamata minus yang Ia kenakan. Laporan-laporan yang ditulis Kian soal The Retro membuatnya penasaran alih-alih pusing. Sedari kemarin Tristan belum menemukan pola dari kasus pembunuhan berantai itu. Kian juga demikian. Kasus ini sudah diserahkan ke tiga detektif berbeda tiap tahunnya, tapi pola sesuai dan petunjuk jelas soal siapa pelaku pembunuhan itu belum diketahui.

Satu-satunya yang berhasil diungkap Kian adalah pola dari kondisi keduabelas korban yang ditemukan. Mereka selalu didandani dengan gaya pakaian retro, hingga akhirnya Kian menamai kasus ini dengan 'The Retro'.

Sementara petunjuk siapa pembunuhnya? Tidak ada petunjuk sama sekali.

Tristan kembali menghembuskan nafasnya hingga itu terdengar oleh Bella. Pria itu bahkan mencondongkan tubuhnya ke depan dari sebelumnya bersandar. Tangan yang menumpu dagu itu, menandakan Tristan sedang berpikir keras. Setidaknya itu yang dinilai Bella.

Sedari tadi gadis itu curi-curi pandang pada Tristan. Ingin bertanya, Ia urungkan karena takut mengganggu. Hingga akhirnya Tristan menaruh kasar kertas itu, balik bersandar dan melepas kacamatanya.

"Kenapa, Tan?"

"Hah? Enggak, ini biasa, ada kasus. Misterius banget," jawab Tristan.

Bella hanya mengangguk-ngangguk, enggak bertanya lebih jauh karena Ia masih canggung sebenarnya. Lah, gantian. Tristan bahkan sudah mulai bersahabat dan membuka diri dengan garis itu.

"Kamu belum selesai kerjanya? Jangan berat-berat, mikir butuh energi. Kamu masih harus istirahat," ujar Tristan, sudah seperti mengomel.

Bella tersenyum tipis, "Iya, nanggung kok. Bentar lagi selesai, hehe."

Tristan balas terkekeh geli, menggemaskan, pikirnya.

"Kenapa ketawa?"

Tristan menggeleng, "Enggak. Tutup laptop Kamu, Saya mau ajak jalan-jalan. Taman rumah sakit ini lumayan bagus," titahnya. Tanpa menunggu persetujuan Bella, Ia sudah berjalan keluar, sepertinya mencari kursi roda.

Diam-diam, jantung Bella berdebar tak karuan. Bukan karena Ia yang masih terbawa perasaan akan mimpinya, tapi adegan ini ... adegan Tristan yang bekerja bersamanya, memintanya untuk menutup laptop, hingga mengajaknya jalan ini sudah pernah Ia lihat. Sekali lagi, adegan ini ada dalam mimpinya. Bella tak berani bercerita pada Tristan, karena sepertinya pria itu menolak keras kepercayaan soal time travel atau hal-hal berbau ramalan.

Bella terus melamun hingga Tristan sudah kembali dengan kursi roda. Pria itu tersenyum manis, "Ayo, Saya bantu. Dipakai sandalnya," ujarnya, berlutut menaruh sandal rumah sakit di bawah tempat tidur, lanjut memapah Bella yang masih lemas untuk berjalan sampai duduk di kursi roda.

"Apa ini gak merepotkan?" tanya Bella begitu mereka keluar dari ruangan.

Tristan menggeleng, "Enggak. Saya juga mau makan siang."

"O-oh, gitu."

Hening kemudian, sampai akhirnya mereka sampai di taman indoor yang dimaksud Tristan tadi. Memang benar, taman itu bagus, cukup untuk membunuh rasa bosan Bella yang terus berada di ruangan rumah sakit.

Tristan berhenti di samping kolam air mancur buatan, lantas Ia duduk di bangku taman. Keduanya hanya diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Suara gemericik air itu sangat menenangkan.

"Tristan ..." panggil Bella.

"Ya?"

"Kenapa Kamu menolong Saya?" tanyanya kemudian, membuat Tristan semakin menatap matanya dalam-dalam.

"Bahkan Saya tahu Kamu yang menolong Saya sejak masih dalam pesawat, saat Saya setengah sadar, saat Saya kedinginan diatas dek kapal penyelamat, hingga ... Kamu yang menenangkan Saya setiap Saya mengalami mimpi buruk?" tanya Bella panjang lebar.

Tristan menghela nafas dalam, ganti matanya teralih kembali pada air mancur, "Apa menolong orang lain punya alasan? Selain memang kita ingin membantu?"

"Tapi kenapa Kamu berbeda?" batin Bella.

Satu senyum terulas di bibir Tristan, Bella dapat melihatnya, "Mungkin karena Saya tertarik sama Kamu," ujarnya.

"Jangan bercanda."

"Kenapa itu bercanda? Seumur hidup Saya gak pernah dekat dengan wanita, karena tidak tertarik. Tapi perasaan Saya sendiri yang membuat Saya ingin selalu menjaga Kamu," ujar Tristan tulus.

Bella terdiam. Apa benar ... mimpi itu sebagian adalah peristiwa nyata? Karena lagi-lagi, Bella ingat bahwa adegan ini ada dalam mimpinya sekali lagi.

"Saya tidak pandai bicara, tapi Saya berusaha mencari kalimat yang pas sebagai alasan membantu Kamu melalui serangkaian tindakan Saya beberapa hari terakhir," ujarnya, menatap Bella kembali.

Tidak dipungkiri, ada semilir aneh berdesir di hati Bella. Tristan, pria yang baru baru ini dikenalnya seperti sudah mendapat tempat di hati luas miliknya. Mulai dari insiden seatbelt, dan perhatiannya, Bella tahu bahwa Ia adalah pria yang baik.

"Kamu ..."

"Tidak perlu dipikirkan ucapan Saya. Kamu mungkin terkejut, dan mungkin Saya hanya terbawa perasaan sesaat. Lupakan saja, kecuali kalau memang takdirnya perasaan Saya bersambut dengan milik Kamu," ujarnya lanjut tersenyum.

Sekali lagi Bella terenyuh, hanya mampu membalas perkataan Tristan dengan senyum tulus yang jarang Ia berikan pada sembarang orang.

"Apa Kamu masih mau disini? Saya akan antar Kamu berkeliling sebelum makan siang," tawarnya.

Bella menggeleng, "Enggak. Mari Saya temani Kamu makan siang."

****

Satu porsi nasi padang lengkap dengan teh hangat terhidang dihadapan Tristan, membuat Bella tergoda. Hampir saja Ia ikut memesan jika Tristan tidak melarangnya dan justru membelikannya satu porsi bubur ayam tanpa sambal. Sangat tidak asik bagi Bella, karena Ia penyuka makanan pedas.

"Maaf ya, Saya takut Kamu kenapa-kenapa kalau makan makanan berat bersantan," ujar Tristan tidak enak. Sedari tadi Bella seperti tidak ikhlas menyuapkan bubur ayam itu.

"Bosen aja sih, kemarin Saya juga makannya bubur lagi, bubur lagi," ujarnya.

Tristan terkekeh geli, "Kalau Kamu sudah sehat, nanti Saya traktir Kamu makan nasi padang di Jakarta," ujarnya.

Bella masih cemberut, membuat Tristan semakin gemas di tempatnya.

"Memang yakin kita bisa ketemu? Kamu kan sibuk, mana lagi ada kasus," ujar Bella.

"Pasti bisa kalau diluangkan."

"Benar juga. Ngomong-ngomong, kasus apa yang lagi Kamu tangani?" tanya Bella, penasaran akan pekerjaan Tristan itu.

"The Retro. Kamu pasti familiar."

Bella mengangguk, "Tentu saja, itu kasus yang belum menemukan ujung. Apa kamu ditugaskan untuk itu?" tanyanya.

"Ya. Tapi ini rahasia ya, jangan beritahu siapapun."

"Iya, tentu saja."

"Sejauh mana kasus ini ditangani sebenarnya? Korbannya selalu bertambah setiap tahun, dan interval waktunya hampir sama. Dua orang setiap tengah tahun," tanya Bella. Dosen kriminologi itu tentu mengikuti benar perkembangan kasus yang menarik kalangan akademisi itu.

"Baru sampai sebatas ... pola bagaimana korban ditemukan. Mereka didandani dengan gaya berpakaian retro. Hingga detektif yang menangani menamainya 'The Retro'"

"Detektif itu Kamu?"

Tristan menggeleng, "Bukan, tapi kolega Saya yang kini menghilang dalam penyelidikan, bersama satu detektif junior lainnya."

"Benarkah? Semakin rumit kayaknya. Apa mungkin rekan Kamu itu sedang menyamar sampai menghilang?"

"Saya yakin begitu, tapi pihak kepolisian tidak mau menunggu hingga meminta Saya yang menghandle sementara. Saya sendiri masih ragu apakah mampu atau tidak untuk menangani kasus ini, dan juga ... mencari kolega Saya yang menghilang itu," cerita Tristan panjang lebar.

Bella menganguk-ngangguk paham, "Kamu sudah diskusi dengan keluargamu?"

"Belum. Malam ini sepertinya."

"Keluargamu ada di Jakarta semua?"

"Ya, tapi Ibu sesekali saja, beliau ada bisnis katering di Jogja, Kami juga sebenarnya asli sana. Datang ke Jakarta untuk merantau."

Bella kembali mengangguk, "Kalau Saya yang jadi keluargamu, mungkin Saya gak akan izinkan. Tapi balik lagi, Kamu lebih paham kapasitasmu."

Tristan tersenyum, "Persis seperti yang Ibu Saya selalu katakan sebelum Saya melakukan misi berat."

"Masa?"

"Ya, bener."

"Kalau Kamu sendiri, selain penelitian dan mengajar, apa ada kesibukan lain?" tanya Tristan.

Bella mengangguk, "Ya, Saya punya yayasan kecil, menampung anak-anak jalanan dan kurang mampu agar dapat mengemban pendidikan dasar."

"Keren, seperti first impression Saya ke Kamu."

Bella tersipu malu, Tristan benar-benar pria yang straight forward.

"Karena kamu seorang kriminolog, apa bisa kalau sewaktu-waktu Saya buntu akan pekerjaan yang Saya tangani, Saya bertanya ke Kamu?"

"Tentu saja. Saya selalu terbuka untuk diskusi dan sharing ilmu."