Agni terkikik puas melihat raut wajah tegang milik ketiga sahabatnya. Haruskah dia meneruskan sandiwaranya atau sudah cukup mempermainkan kekhawatiran Alka, Fey dan Tia.
"Lo seriusan gak sih?" Tia mengerang tak puas, sejak tadi meskipun mereka mendesak, Agni masih belum menjawab. Gadis itu justru terlihat menahan senyumnya membuat mereka curiga.
"Hahahaha...bodoh banget tampang lo betiga asli." Agni tertawa lepas pada akhirnya, rupanya dia belum seprofesional artis ibukota untuk terus memainkan peran dihadapan sohib-sohibnya ini.
"Sialan..!!" telinganya juga masih mampu menangkap berbagai kata makian keluar dari mulut Fey dan Tia, sedang Alka hanya bisa mendesah kesal, gadis itu memang tak pernah tau cari memaki tapi tampangnya yang terlihat masam, juga bibirnya yang mengerucut sebal jelas sekali Alka juga kesal setengah mati.
"Sorry-sorry..." Kata Agni lagi terbata karena tawanya masih belum usai, mengerjai orang lain sudah seperti bakat yang dimilikinya, juga kesenangan yang selalu bisa membuatnya bahagia meski orang lain harus menderita.
"Ya elo pada pikirin aja sih, siapa yang mau gue pdktin? Aslan? Gak mungkin banget sih dia itu udah kayak apa ya adek gue banget..Inget kan cerita dulu waktu dia di buli, gue jadi kek pengen lindungin dia gitu pokoknya gak bisa lah kalau Aslan.!"tutur Agni menjelaskan panjang lebar sembari menerawang masa-masa saat Aslan masih satu sekolah dengannya dulu. Aslan adalah sosok baik yang sayangnya harus mendapatkan perlakuan buruk dari orang-orang sekitar hanya karena dianggap berbeda, karena hal itulah Agni setiap kali Agni melihat Aslan yang sekarang jauh lebih ceria dari dirinya dulu, agaknya Agni merasa terharu karena dia bangga pada perubahan yang Aslan miliki.
"But Aslan you know? Gue emang cuma liat bentaran aja, tapi he's so fucking handsome." Wajah Fey tampak sumringah setengah menggelikan karena terlihat 'mupeng' sekali seperti perempuan-perempuan ganjen yang kurang belaian.
"Setuju sih, mana keliatan gimana ya sexy banget sama pakaian kokinya, puberty hit him so hard.." Tia ikut menimpali tak kalah menggelikan, Agni yang mendengar kedua temannya itu mendadak merinding mendadak rasanya dia harus mempertimbangkan mengundang Fey dan Tia ke kafe milik Aslan, semua demi keselamatan Aslan.
"Lo berdua cuci otak dulu sana, muka lo kek tampang-tampang tante-tante yang mau nerkam brondongnya." seloroh Agni geli.
"Gue mau deketin Jen!" Agni berkata lugas seolah hal itu bukanlah masalah besar.
Fey yang mendengarnya mengerutkan keningnya samar. "Kalo lo becanda lagi, gue seriusan bakal marah."
"Gue serius!" tak ada sedikitpun wajah bercanda saat Agni mengatakannya, matanya berusaha mengunci mata Fey, seolah menegaskan bahwa yang dia katakan bukanlah bualan semata.
"Lo udah sinting ya?" Fey tak lagi bisa menahan kesalnya, gadis itu sudah berdiri dari duduknya karena tak biasa menahan emosi yang menggelung di dadanya saat ini. Dan Agni tak bisa protes, menurutnya reaksi Fey saat ini bahkan tidak separah dengan apa yang dia pikirkan.
Tia dan Alka belum memberikan reaksi apapun, meskipun dilihat dari gestur dan ekspresi, keduanya tampak tidak menyetujui usulan Agni yang dirasa sangat aneh. Agni yang selama ini tamapak antipati dengan Jen justru menyatakan ingin mendekati pria itu.
Sungguh tidak masuk akal.
"Kalau gue mau hancurin Lavinka, kuncinya ada di Jen." Agni kembali membuka suara, mencoba menjelaskan dengan singkat tujuin mendekati Jen sama sekali bukan karena romansa, tapi ada maksud dan tujuan yang ingin dirinya capai. Dan meskipun itu menjadikannya brengsek Agni tetap harus melakukannya.
"Lo mau ikutan jadi brengsek?" kali ini Tia yang bereaksi, "itu terlalu beresiko Ag, gue yakin hatinya belum sepenuhnya 'let him go' terus sekarang lo mau berurusan sama dia dia? Gue rasa bukan cuma Lavinka yang hancur, elo juga!"
Agni termenung sesaat setelah kata-kata Tia telak menampar logikanya. juga hatinya. Benar, benar sekali kalau jauh di dalam hatinya, rasa untuk Jen masih ada. Agni sudah berusaha, selalu berusaha untuk menghapus sepenuhnya tapi nyatanya dia belum sanggup.
Tapi dirinya saat ini masih terpropokasi ucapan Lavinka saat itu yang terang menghinanya, lalu dia harus bersikap seperti apa kalau harga dirinya sudah diinjak-injak tanpa ampun.
"Ag, pikirin lagi!" bisikn kecil Alka membuat Agni takut untuk menatap gadis itu. Agni-lah yang paling bersemangat saat mengajak Alka melalukan bucket list untuk move on, dan kini dia sendiri yang mengkhianati perjanjian mereka.
Meskipun hanya sekedar sandiwara Agni merasa meninggalkan Alka sendirian dengan jani-janji mereka, dan dia merasa buruk.
"Gue janji gak akan terluka." hanya kalimat singkat yang bisa Agni sampaikan saat ini, meskipun dia juga tak sepenuhnya yakin dengan dirinya sendiri.
Apakah dia benar mampu?
Apakah mungkin Jen bisa dia taklukan?
Tak ada cara lain, Agni memerlukan semua ini untuk ketenangan hatinya. Agni perlu ini untuk pembuktian, untuk membalas, dan untuk membela dirinya sendiri.
Meski sudah berusaha meyakinkan dengan wajah serius, ketiga sahabatnya masih menatapnya tak terbaca. Berkali-kali Agni melihat Fey mengehela napas, Tia yang enggan menatapnya, sedangkan Alka—ntahlah gadis itu seperti terluka.
"please guys, i need your support. Gue butuh kalian, tapi untuk kali ini aja, jangan halangin gue!"
"Lo yakin gak akan terluka?"
Tak menunggu lama, Agni mengangguk cepat, kembali memeberi isyarat bahawa semua kan baik-baik saja. Agni hanya perlu mereka menemaninya dalam setiap proses,maka dirinya akan baik-bail saja.
Sekali lagi Agni dapat melihat Fey mengehela napas, "Fine, gue emang belum ikhlas, tapi kalau lo udah keras kepala gini gue bisa apa? Gue cuma bisa dukung lo, dan pastiin lo gak terpuruk!"
Agni tak kuasa menahan tulang pipinya untuk menarik garis senyum lebar bahagia karena tak menyangka Fey, si paling keras adalah yang pertama memberikan restunya.
"Lo serius Fey?" kali ini Tia yang menatap tak percaya? Pasalnya, Fey adalah yang mati-matian menjauhkan Agni dan Jen, tapi kali ini dia justru yang duluan menyetujui ide gila milik Agni.
"Dia udah janji buat gak terluka," Fey menjawab lugas, "dan lagi...Lavinka, gue setuju buat hancurin tu cewek."
Tia hanya bisa menggeleng aneh, "udah sinting lo bedua!" katanya masih tak habis pikir.
"Ti...please, gue perlu ngelakuin ini ti!"
"Terserah, tapi gue gak bakal berpikir dua kali buat miasahin elo bedua kalau satu kali aja gue lihat lo nangis! Ngerti?"
Meski disetujui dengan syarat berlaku Agni tetap menghambur pelukam ke Tia—sahabatnya yang selalu mengkhawatirkan dia lebih dari apapun.
"Promise me Ag?" bisik dia disela-sela pelukan mereka.
Tak memerlukan jeda lama, Agni mengangguk yakin, "Promise!"
Setelah mengurai pelukannya Agni menoleh kembali menghadap Alka yang sedari tadi tidak banyak berkomentar. Meski tak mengatakan apapun, Alka bangkit menghampiri Agni dan ikut memeluk Agni serta Tia, di sela-sela pelukan mereka Alka mengatakan sesuatu yang membuat Agni bersyukur karena Tuhan memberikannya tiga malaikat pelindung sekaligus yang selalu ada untuknya.
"jangan terluka, kita semua cuma mau kamu baik-baik aja selalu." kata Alka tulus, mau tak mau Agni dan Tia akhirnya pecah dalam tangis.
Seharusnya tak ada yang perlu ditangisi. Tapi terkadang hal bahagia pun seringkali mendatangkan air mata yang menandakan rasa syukur atau terimakasih. Dan Agni merasakan keduanya saat ini.
"Hey gue kok gue gak diajak sih." Fey mengerang tak terima melihat ketiga sahabatnya berpelukan penuh haru tanpa mengajaknya.
"Ikutan sih..." muka memelas Fey mau tak mau merubah suasana haru kembali menjadi ceria dengan tawa lebar dari bibir mereka.
Semoga saja kedepannnya semua akan baik-baik saja.