"Alka, we need to talk."
Seusai kelas, Alka memutuskan untuk pulang sendiri ke kosnya, mengindahkan ajakan makan siang dari teman-temannya dengan alasan ingin istirahat saja, tanpa tau kalau Agni justru menyusulnya.
"Agni-" katanya tak percaya, Alka bahkan sempat terkesiap sesaat—tak menyangka Agni ada di depan pintu kamar kosnya.
"ayo masuk!" ajaknya sembari membukakakn pintu. Raut Agni yang tampak serius membuat Alka sedikit bingung dengan apa yang ingin gadis itu bicarakan.
"Alka gue minta maap." kata Agni manja berpura-pura mewek.
"Gue gak pernah lupain janji kita, gue janji setelah sandiwara ini berakhir, gue bakal terusin list yang udah kita buat."
Oh...
Ternyata masalah bucket list mereka. Alka bahkan merasa tak punya hak untuk melarang Agni dengan segala hal yang ingin gadis itu lalukan. Meskipun tak bisa dipungkiri dia merasa sedikit kecewa dengan Agni.
Pasalnya di saat Alka mati-matian berusaha mengusir Hara, Agni justru membuat rencana untuk kembali mendekat dengan Jen. Sebuah perencanaan yang kontradiktif dengan janji yang mereka sepakati dulu.
"Al..."
Agni kembali memanggil, berharap cemas dengan respon Alka padanya. Gadis itu selalu bisa menampilkan ekspresi yang bertopak dengan apa yang dirasakannya dan itu membuat Agni takut kalau Alka kembali menyimpannya sendiri dan berbohong padanya.
"Ag sebernya jujur sama aku. Kamu bener cuma mau bales Lavinka? Atau ada maksud lain?"
Agni membeku di tempatnya ketika di tembak dengan pertanyaan yang tak pernah ia perkirakan.
"Gue jelas mau bales Lavinka!Tapi mungkin lo bener Al," ada jeda saat Agni mencoba menerangkan apa yang sebenarnya juga menjadi tujuannya dalam aksi 'childish' yang akan dia perankan nanti.
"Gue nau Jen ikut merasakan sakit seperti apa yang pernah dia lakuin ke gue. Gue mau dia tau rasa sakit gue!"
Alka cukup terkejut dengan penuturan Agni, sepertinya mencoba membuat Agni melihat dari perspektif lain tidak akan bisa melihat wajah Agni yang menampilkan kemarahan juga dendam. Alka tau rasanya, karena dia pernah ingin melakukannya juga setelah Hara menyakitinya begitu dalam. Tapi melakukan apa yang Agni niatkan sangatlah riskan, kita bisa terkena boomerang kita sendiri lah yang akan terluka pada akhirnya.
"Kamu yakin Al? Kamu tau itu terlalu beresiko sebenarnya." Alka berkata jujur, berharap Agni mau mempertimbangkan kembali.
Kendati kemarin dia tampak tidak keberatan, hari ini—pengakuan Agni membuat Alka berpikir bahwa tidak akan membawa hasil baik ketika kita melakukan sesuatu dengan tujuan tidak baik.
"Gue gak peduli, apapun resikonya gue ambil. Kalau pun gue harus hancur sekali lagi demi menghancurkan mereka berdua, gue ambil reskionya."
Kalau Agni sudah ngotot seprti ini, Alka sudah tidak bisa berbuat banyak. Dia hanya bisa mendoakan dan berharap sahabatnya tidak akan terluka nantinya.
"Al, please lo harus dukung gue!" melihat muka memohon Agni, Alka menjawab dengan senyum pendek dengan anggukan singkat yang jelas.
"Ag aku boleh tanya?" Alka duduk menghadap Agni dengab serius. Matanya kini lebih tajam dari biasanya, Alka sudah memikirkan matang-matang dia bisa makan hati kalau terus memendam rasa penasarannya jadi lebih baik kalau dia bicara.
"Kamu kemarin sama Hara?" meski tidak menanyakan secara gamblang, anggukan Agni membuat Alka yakin kalau gadis itu paham dengan pertanyaanya.
Sesaat Agni membuka mukut sebelum menutupnya kembali. Yang membuat Alka kesal Agni justru melempar tatapan jahil padanya.
"Oh... lo jealous Al?" tutur Agni menyebalkan.
"Ih apaan. Eng--enggak gitu, maksudnya." cicit Alka salah tingkah. Bahkan dia berani bertatuh wajahnya kini pasti terlalihat memalukan sekali.
"Santai aja Al hahaha..." untuk sesaat Alka menyesal sudah bertanya. Tapi Alka juga penasaran dengan semua hal yang tak bisa dia jabarkan seorang diri.
"Kemarin si sialan Jen ninggalin gue, karena kekasih tercintanya ada di Bandung." Alka dapat menagkap raut kesal dan nada sinis saat Agni mengungkit tentang Jen dan Lavinka. Atau singkatnya ada kecemburuan yang sebenarnya Agni berusaha tidak perlihatkan.
"Terus gue mager mau balik, gue juga males ketemu kalian karena emosi gue lagi gak stabil kemarin. Gue takut bikin kacau terus negrusak suasana makanya gue acuhin lo semua digrup." aku Agni penuh penyesalan. Sebenarnya Alka juga mau melayangkan protes terhadap sikap Agni yang membuatnya ikut terseret dan menjadi korban amukan Fey.
"terus gue nawarin diri buat bantuin Aslan di kafe, eh gak taunya Hara datang dengan muka babak belur."
Alka sempat tergugu di tempat. Awalnya dia Agni ada ditempat dan tau dengan siapa Hara adu tinju, tapi rupanya sahabatnya ini juga tidak tau menau mengenai hal ini.
"Gue bahkan heran, Hara dengan Jen.Elo liat sendiri kan ada tension di antara mereka? Menurut lo mungkin gak mereka yang berantem?"
Alka juga berpendapat demikian, melihat di wajah Jen juga terdapat beberapa luka seperti orang habis bertarung. Tapi kalau dipikirkan kembali kenapa juga dua sahabat itu harus terlibat perkelahian.
"Kamu gak coba tanya Hara?" Alka kembali menyuarakan isi kepalanya yang justru dibalas Agni dengan dengusan masam.
"Udah! Berkali-kali malahan. Tapi emang kurang ajar aja tu anak gak jawab gue." adu Agni masih kesal kalau ingat sikap Hara yang serupa arca.
"Gimana kalau lo yang coba cari tahu?" usul Agni girang. Menurutnya kalau orang yang menuntut penjelasan itu Alka, Hara tidak akan punya celah untuk membisu.
"Ih...Enggak ah!"
"Why?" Agni bertanya keheranan. Padahal permintaanya juga bukan sesuatu yang besar, tapi Alka bereaksi seolah-olah Agni memintanya mengajak Hara kencan.
"Nanti--nanti kalau dia geer gimana?"
Memutar bola matanya kesal Agni mengetuk dahi Alka pelan, "Ya udah gak usah gue aja yang nanya."
"Katanya dia gak mau kasih tau kamu?" protes Alka tak terima, Agni saja sampai terkejut mendengar nada bicara gadis itu yang naik satu oktaf.
"Bodo amat, gue paksa pokoknya!"
Mendengar penuturan Agni, Alka menggeleng ribut, dikibas-kibaskan tangannya cepat, "Gak usah, aku aja yang tanya nanti."
Dan benar setelahnya Agni kembali melempar senyum jahil ke arah sahabatnya.
*****
"Gue sama yang lain bakal seleksi hasil foto-foto yang kalian kumpulin hari ini." Seth berkata cepat sambil membolak-balik beberapa amplop coklat yang sudah dikumpulkan kepadanya tadi.
"Rencananya kita bakal adain pameran, tapi tetep kita harus nilai dulu beberapa yang layak tampil. Dan gue harap lo semua bisa nerima hasilnya nanti." penjelasan kemudian dilanjutkan oleh Brian sang ketua klub yang menjadi pilar dari Aurora saat ini.
"Ya udah gue rasa itu aja, pengumumannya bakal kita pajang lusa paling lambat di mading basecamp kita. Jadi sering-sering aja lo semua main ke sini buat cek." para anggota yang diberi penjelasan hasnya mangut-mangut tanda mengerti, meski ada juga beberpa yang menjawab dengan sahutan kecil.
"Okay segini dulu, ada pertanyaan?" Mata Brian berpendar keseluruh ruangan—begitu juga dengan senior yang lain—mencoba mencari seseorang yang barang kali berniat mengangkat tangannya menanyakan sesuatu.
"Okay lo!" tunjuk Brian kepada seorang gadis mungil bersweater biru dengan aksen kuning garis-garis di lengannya.
"Emm...Gue Agni kak, gue mau tanya?", benci menjadi pusat perhatian Agni sejujurnya malas mengangkat tangannya tapi mau bagaimana lagi, Agni malas menjadi seorang yang sesat di jalan hanya karena malas bertanya.
"Kita kumpul foto rawnya lebih dari satu pertim, lalu apakah mungkin akan ada lebih dari satu foto yang terpilih di setiap timnya?"
Sepertinya pertanyaan Agni juga menjadi pertanyaan beberapa orang di ruangan ini, terlihat dari beberapa orang ikut mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Emmm..." Brian mengajak beberapa temannya yang lain berdiskusi. Sambil menunggu jawaban yang di ajukan mata Agni bergerak liar melihat kesana-kemari tanpa tujuan yang jelas, sampai tatapannya terkunci pada dua bola mata indah milik Jen yang juva tengah menatapnya lekat dengan pandangan tak terbaca. Sebelum mengalihkan tatapannya Agni sempat memberikan senyum tipis kepada laki-laki itu.
Meskipun tipis, Jen terlihat membatu ditempatnya. Mungkin dia merasa bahwa dirinya tengah berhalusinasi karena setelah sekian lama Agni kembali memberikannya senyuman.
Jen hanya tidak tau saja kalau semuanya sudah dimulai, Agni dan segala tekad dendamnya sudah tidak bisa dihentikan lagi. Senyum yang dia lemparkan pada akhirnya hanyalah awal permulaan dari permainan yang dia ciptakan.