Chereads / Dirty Little Secret by. JessieB2 / Chapter 4 - Chapter 4

Chapter 4 - Chapter 4

The way she feels inside

Those thoughts I can't deny

These sleeping thoughts won't lie

Entah sudah berapa lama Ben memandangi layar ponselnya yang memampangkan nomor ponsel Jana, yang dia dapatkan setelah meneror seorang laki-laki yang dia kenal waktu kuliah dan tidak sengaja ketemu lagi, yang seseorang, yang kebetulan mengenal Jana. God, laki-laki itu pasti mengira dia orang paling aneh sedunia dengan aksi terornya untuk mendapatkan nomor telepon Jana, but who cares, yang penting sekarang dia bisa menelepon Jana. Selama bertahun-tahun dia sudah mencoba banyak cara untuk mencari perempuan itu. Mulai dari mengirimkan berpuluh-puluh e-mail yang nggak pernah dibalas, menguntit suki, mantan teman sekamar Jana, selama berbulan-bulan sampai cewek itu mengancam akan ke polisi untuk minta restraining order, hingga mengaduk-aduk friendster, facebook,linkedin, dan myspace, tapi semuanya berakhir nol besar.

Dia juga mencoba meng-google nama "Jana Oetomo", tapi nama itu pun tidak keluar di mana pun. Akhirnya dia harus menyerah. Pada saat itu, dia baru menyadari betapa sedikit informasi yang dia tahu tentang Jana. Dia bahkan tidak tahu nama kedua orangtuanya atau apa pekerjaan mereka. Selama waktu yang singkat dulu, Jana hanya bercerita tentang betapa strict orangtuanya, itu saja. Dan Ben belum segitu gilanya atau kayanya sampai mau menyewa tenaga professional untuk mencari Jana. Jana memang selalu lebih tertutup daripada dirinya, dan selama mereka pacaran, dia tidak pernah bertanya terlalu banyak, takut membuat Jana merasa tidak nyaman. Suatu fakta yang membuatnya ingin menendang dirinya sendiri ketika Jana menghilang tanpa jejak. Melihat ponsel di genggamannya membuatnya kembali lagi ke delapan tahun yang lalu, seminggu setelah Jana kabur dari apartemennya. Entah berapa kali dia menelepon nomor kamar Jana di Eaton Hall sehingga membuat Suki kedengaran sudah siap membunuhnya.

"She is not here!!!"

Mendengar nada Suki yang mendekati bentakan, membuat persepsi Ben tentang cewek- cewek Jepang yang lemah lembut dan penuh senyum berubah 180 derajat. Tanpa menghiraukan nada bicara Suki, Ben bertanya, "Do you know where she is?" untuk lebih menyakinkan dia menambahkan,"I really REALLY need to talk to her."

Ben tahu dia kedengaran merengek, tapi dia tidak perlu. Selama dua hari setelah pertengkaran mereka, pikirannya campur aduk. Dia sama sekali nggak bisa mikir, padahal dia seharusnya belajar untuk ujian akhir semester minggu depan. Awalnya dia masih dalam tahap shock dan yang terlintas dalam pikirannya adalah bahwa semua ini hanya mimpi buruk, bahwa sebentar lagi dia akan bangun dan mendapati dirinya hanya sebagai anak kuliahan yang masalah terbesarnya adalah untuk me-maintain IPK-nya agar tetap dia atas 3,5. Ketika sadar bahwa ini bukanlah mimpi, tapi kenyataan, kemarahan datang.

Segala tuduhan dan sumpah serapah keluar dari mulutnya. Dia yakin Jana sengaja membuat dirinya hamil. Bahwa Jana sudah merencanakan malam itu, dan dia, sebagai cowok blo'on, tidak tahu sama sekali dirinya sedang dijebak. Mereka memang sudah berhubungan intim beberapa kali dengan mengenakan kondom, karena Jana tidak mau minum pil birth control. Tapi kemudian mereka mulai lebih berani dengan berhubungan seks tanpa mengenakan kondom kalau tubuh Jana sedang tidak fertil. Dan minggu itu adalah salah satu minggu tidak fertilnya. Shit, dia seharusnya tidak pernah percaya kata-kata yang keluar dari makhluk yang masih bisa hidup setelah mengalami pendarahan selama lima hari. Oleh karena itu, dia menolak menelepon Jana duluan. Prinsipnya mengatakan pihak yang salahlah yang harus meminta maaf duluan, dan menurutnya itu adalah Jana.

Tapi setelah semua kemarahannya resa, rasa bersalah datang. Dia seharusnya tidak blow-up seperti itu di hadapan Jana. Dia lebih tua dari Jana dan lebih berpengalaman, tapi yang lebih penting lagi, dia seorang laki-laki, jadi seharusnya lebih analitis dan berkepala dingin dalam menhadapi krisis. Setelah dia pikir-pikir lagi, ada banyak solusi lain yang bisa mereka pertimbangkan selain aborsi. Ya tuhan, dia sudah meminta Jana membunuh anak mereka. Dan dengan rasa bersalah, kekhawatiran pun muncul. Apakah Jana sudah menggugurkan kandungannya? Apa Jana betul-betul serius ketika dia berkata mereka putus? Apa dia baik- baik saja?

"Just like the last time I told you, I don't know where she is. I'm not the boyfriend who she has been spending so much time with."

Kata-kata Suki kali ini membuat Ben bertanya-tanya apa jangan-jangan Jana meminta Suki untuk tidak memberitahukan keberadaannya kepada Ben. Bahwa Jana ada di dalam kamar ketika dia menelepon, atau bahkan duduk di samping Suki, mendengarkan percakapan mereka. Tapi itu tidak mungkin, karena meskipun Suki teman sekamar Jana selama tahun pertamanya di lowa state, Suki bukanlah teman baik yang bisa diajak bersengkongkol untuk melakukan hal seperti ini. Mereka bahkan nggak pernah hangout bareng. Mereka hanya teman sekamar, titik.

Tapi, apa ada kemungkinan dia salah menilai situasi ini? Mungkin karena desperate dan tidak memiliki orang lain lagi yang bisa diajak bicara, Jana menceritakan kejadian di antara mereka kepada Suki. Dan sebagai cewek, Suki merasa tersinggung juga atas kelakuan Ben dan setuju menjauhkannya dari Jana.

"Just tell me the truth. Is she with you right now?"

"I already told you. She's not here!!!" teriak Suki, sebelum mulai ngedumel dalam bahasa Jepang yang Ben yakin berisi makian tentangnya.

Dia tidak punya waktu untuk mendengar Suki ngedumel dan memotong, "Did she tell you where she's going?"

"No!!! and even if she did, I won't tell you," kata Suki dan langsung menutup telepon. "Hello… Hello… Goddamn it!!!" teriak Ben frustasi. Buru-buru dia mengambil kunci dan lari keluar menuju mobil. Dia harus segera ke Eaton Hell, dia yakin Jana sekarang ada di kamarnya. Sepanjang perjalanan dia mengomeli dirinya sendiri. Bagaimana dia bisa sebegini butanya selama beberapa hari ini? Kenapa dia bahkan tidak menyangka sampai beberapa detik yang lalu bahwa Suki sudah berbohong padanya?

Kenapa dia tidak punya inisiatif untuk mencegat Jana di kelas-kelasnya, toh, dia tahu jadwalnya? Atau lebih baik lagi, tongkrongin Eaton Hall sampai Jana muncul, toh cepat atau lambat dia harus pulang juga.

Sepuluh menit kemudian dia sampai di Eaton Hall. Di parkir di tempat pertama dilihatnya, yang ternyata tempat parker penyandang cacat, tapi dia tidak peduli. Ketika sampai di depan pintu gedung dan sedang memikirkan cara masuk padahal tidak memiliki kartu residensi, dia melihat serombongan cewek baru akan keluar. Tanpa peringatan, dia langsung menerobos rombongan itu dengan paksa dan berlari menuju kamar Jana. Dia mendengar beberapa dari mereka meneriakkan sumpah serapah padanya, yang dia biarkan tidak terjawab.

Dia baru saja memasuki lorong tempat kamar Jana terletak ketika dia melihat Suki dan… no fucking way, Jana, sedang berjalan ke arahnya. Dua cewek itu membawa ransel yang kelihatan cukup berat, kemungkinan dalam perjalanan menuju perpustakaan untuk belajar. Tentu saja Jana, cewek paling pintar yang pernah dia pacari, siap menghadapi ujian akhir semester, tidak peduli bencana apa yang sedang dia hadapi dalam kehidupannya.

Sedangkan Ben sudah kalang kabut nggak karuan. Dan sebelum menyadari apa yang dia lakukan, dia sudah menyeruakan nama Jana. Ben mendengar Jana terkesiap. Satu detik Jana menatapnya dengan mata melebar, terkejut melihatnya, dan detik selanjutnya dia sudah lari seakan bokongnya kebakaran menuju kamarnya di ujung lorong. Ben membutuhkan beberapa detik untuk menyadari bahwa Jana lari darinya, kemungkinan akan mengunci diri di dalam kamar dan menolak berbicara dengannya. Buru-buru dia lari mengejarnya, tapi terlambat, karena Jana sudah menghilang ke dalam kamar dan buru-buru menutup pintu dengan bantingan yang cukup keras. Ketika ben sampai di depan pintu, dia langsung mencoba memutar gagang, tapi tidak berhasil.

Seperti dugaannya, Jana sudah mengunci pintu itu.

"Jana, tolong buka pintunya. Aku perlu ngomong sama kamu," ucap Ben sambil mengetuk pintu itu dengan cukup keras.

Sunyi. "Jan, please… just talk to me, okay," pintanya lagi.

"Dude, she doesn't want to talk to you. Just leave her alone," ucap Suki yang tanpa disangka-sangka sudah berdiri sambil bertolak pinggang di samping Ben.

Cewek satu ini kemungkinan keturunan Ninja karena bisa bergerak tanpa sepengetahuannya. Well, keturunan Ninja atau bukan, dia akan mencekiknya kalau cewek ini mencoba mencampuri urusannya.

"This is between her and me. Just stay the hell out of this, okay" bentak Ben. Suki kelihatan tersinggung karena dibentak, tapi dia tidak berkata-kata lagi. "Jana, open the door," pinta Ben.

"Go away, Ben."

Mendengar suara Jana untuk pertama kali setelah seminggu ini, membuat lutut Ben lemas dan untuk beberapa detik dia lupa tujuannya datang ke sini, tapi kemudian dia dapat mengontrol reaksi tubuhnya dan berkata, "Nggak, aku nggak akan pergi sampe kamu ngomong sama aku, goddamnit." Setelah lima detik dan pintu masih tertutup, Ben menggedor pintu itu sekencang-kencangnya sambil berteriak, "Open the damn door!" "No!" balas Jana tegas.

Pintu-pintu kamar di sepanjang lorong mulai terbuka satu per satu dan beberapa kepala melongok ke luar untuk melihat keributan apa yang terjadi pada selasa malam begini. "Buka pintunya, Jana. Sumpah mati aku akan dobrak pintu ini kalo kamu nggak buka pintu. Keluar sini dan ngomong sama aku."

Kesunyian membalasnya, dan Ben betul-betul tidak tahu apalagi yang harus dia lakukan sekarang. God, dia tahu dia menjadi laki-laki brengsek, tapi apa dia sebegitu tidak berharga sampai Jana bahkan tidak mau bertatap muka dengannya?

Dengan penuh kesal dan sesal, dia meninju pintu kamar Jana dua kali hingga retak. "OPEN THE DOOR," teriaknya.

Dia mendengar beberapa tetangga Jana yang memang cewek semua, berteriak kaget melihat keganasannya. Sejujurnya, dia sendiri kaget. Lalu salah satu dari mereka berteriak, "Somebody call campus security!"

SHIT!!! Dia hanya memiliki beberapa menit sebelum polisi kampus muncul dan mendendanya karena masuk ke property orang tanpa diundang atau lebih parah lagi, melemparkannya ke penjara karena merusak property kampus.

"Fine. Kamu nggak mau ngomong sama aku, fine. Kamu mau putus sama aku, itu juga nggak pa-pa. aku Cuma mau tahu apa yang udah kamu lakukan dengan bayi kita."

Tidak ada respons sama sekali dari balik pintu, dan Ben mendesah panjang. Dia baru saja akan mengucapkan kalimat selanjutnya ketika dari sudut mata dia melihat polisi kampus muncul di ujung lorong. SHIT, SHIT, SHIT!!! Dia buru-buru ngacir menuju pintu darurat di sebelah kanan dan lari secepatnya menuju mobil, tidak menghiraukan teriakan orang-orang yang memmintanya berhenti.

Semua memori itu tiba-tiba membuat Ben kehabisan napas setiap kali Jana terlintas di kepalanya, inilah reaksi yang dia dapatkan. Tidak peduli sudah berapa banyak wanita yang berseliweran di dalam hidupnya, sebelum dan setelah itu, hanya Jana yang mampu mengacak-acak emosinya seperti ini. Ben meletakkan ponselnya di atas meja dan mengusap wajahnya. Dia akan menelepon Jana, tapi tidak sekarang. Dia belum siap melakukannya.

Ben sedang berkonsentrasi penuh membalas e-mail yang dikirim oleh salah satu anggota timnya di Chicago ketika ponselnya bordering. Nama Eva berkedip-kedip di layar. Eva tidak pernah meneleponnya selama dia di Jakarta, biasanya kakaknya ini langsung nongol saja. Dengan sedikit waswas, Ben buru-buru menjawab panggilan itu.

"Hey, Ev, everything okay?"

"Yeah, everything's good," balas Eva ceria dan Ben mengembuskan napas lega. "Kamu lagi ngapain?" lanjut Eva.

"Ini baru kelar bales e-mail dari kantor," jawab Ben sambil menekan tombol send lalu mulai membaca e-mailnya yang lain.

Ben mendengar Eva mendengus sebelum berkata, "Ben, kamu itu lagi cuti, yang berarti nggak boleh kerja. Kalo kamu kerja juga itu sih sama aja bohong."

"Well, nggak semua orang kan punya suami kaya yang bisa ngebiayain kita seumur hidup," ledek Ben.

"Are you making fun of me?" teriak Eva pura-pura tersinggung.

Ben hanya terkekeh mendengar nada Eva. Inilah candaan mereka semenjak Eva menikah dengan Martin. Sampai sekarang Ben tidak tahu apa yang dilihat oleh kakaknya pada kakak iparnya itu, sudah sok bangsawang dengan aksen Inggris dibuat-buat, padahal dia lulusan Amerika dan sekalinya ke Inggris Cuma ke London selama tiga hari untuk bisnis, that douchebag juga senang sekali memamerkan orang-orang yang dikenalnya, mulai dari anggota DPR sampai artis. Satu-satunya hal yang membuat Ben bisa menoleransi Martin adalah karena laki-laki itu jelas-jelas tergila-gila pada Eva dan begitu juga sebaliknya.

"So kenapa kamu telepon aku siang-siang bolong begini?" Tanya Ben.

"Emang nya aku nggak boleh telepon kamu? Kakak kan boleh kangen sama adiknya." "Cut the bullshit. What do you want, Ev?"

Kini giliran Eva yang terkekeh. Dia dan Eva memang selalu dekat meskipun umur mereka berbeda empat tahun. ,menurut Mama, kata pertama yang diucapkan Ben bukanlah Mama atau Papa, tapi Wawa. Membutuhkan waktu cukup lama bagi mereka untuk memahami bahwa yang dia maksud adalah Eva. Nama panggilan itu bertahan sampai dia berumur empat tahun, ketika dia bisa mengucapkan "Eva" dengan sempurna. Tapi saat itu sudah terlambat untuk menambahkan kata"Kak" atau "Mbak" di depannya. Alhasil dia selalu memanggil kakaknya dengan nama saja.

"Aku ada undangan untuk acara penggalangan dana yayasan yang sering nerima sumbangan dari kantornya Martin."

"Oke…," ucap Ben, hanya setengah mendengarkan karena sambil membaca e-mail dari salah satu klien.

"Biasanya aku pergi sama dia untuk acara ini, tapi kali ini Martin nggak bisa karena ada di luar kota."

"Riiight." Ben mengaktifkan speaker pada ponselnya dan meletakkannya di samping laptop sebelum menekan reply pada layar laptop dan mulai mengetik e-mail balasan.

"Aku tadinya nggak mau pergi karena nggak ada yang nganter. Tapi terus aku mikir, karena kamu juga nggak ngapa-ngapain, gimana kalo kamu aja yang anter aku ke acara ini?" "Mmmhh."

"Ben, kamu dengerin aku nggak sih?"

"Denger kok." Bukan suatu kebohongan, dia memang mendengar apa yang Eva katakana padanya, dia hanya tidak mencoba memahaminya.

"Sumpah mati kalo kamu ngejawab telepon aku sambil balas e-mail, aku bakar laptop kamu kalo aku ke situ lagi."

"Wait, dari mana kamu tahu kalo aku lagi bales e-mail?" Tanya Ben, buru-buru berhenti mengetik dan melirik ke kanan dan ke kiri untuk memastikan Eva tidak sedang mengintainya dari dalam rumah.

Terkadang Ben suka bertanya-tanya apa Eva bisa membaca pikiran, karena Eva terkadang bisa membaca tindkan selanjutnya sebelum Ben melakukannya. Atau tahu persis apa yang sedang dia lakukan padahal mereka tidak sedang bertatap muka, contahnya seperti sekarang.

"Oh, please… aku ini yang ngeganti popok kamu waktu kecil. Aku tahu segala sesuatu tentang kamu. Termasuk ukuran pe.."

"Arrgghh, stop it. Aku bisa brain damage dengerin omongan kamu," omel Ben sambil menghantam keningnya tiga kali dengan telapak tangan.

Eva tertawa terbahak-bahak. Man, kakaknya ini memang senang sekali meledeknya tentang ukuran penisnya waktu bayi, yang menurut laporan Eva," Kecil banget, udah kayak baby carrot." Parahnya, Eva senang sekali menceritakan hal ini kepada siapa saja yang mau mendengarkan.

"So, kamu bisa nggak temenin aku?" Tanya Eva setelah tawanya reda. "Bisa pake jins nggak ke acara ini ?"

"Ya nggak bisalah. Ini acara formal, Ben."

"Mesti pake jas dan dasi segala, gitu? Nggak deh, makasih. Aku bisa keringatan kayak ayam panggang dengan suhu seperti ini.

"Dude, apa kamu pikir kita hidup di zaman purba? Acaranya di dalam gedung pake AC. Kalo kamu nggak mau pake jas dan dasi, kamu selalu bisa pinjem kemeja batik Papa."

"Gila amat aku pake kemejanya Papa. Ev, kamu tahu kan Papa itu dua ukuran lebih kecil dari pada aku?"

"Masa sih?"

"Papa pake ukuran M, aku XL," teriak Ben tidak sabaran. "Ya udah, kalo gitu pinjem kemeja Martin," balas Eva santai.

Dan sumpah mati Ben ingin mentransfer dirinya ke ujung saluran telepon untuk mencekik Eva. Dia tidak percaya Eva baru saja menawarkan itu. Eva tahu betul perasaannya tentang gaya berpakaian Martin, yang menurutnya banci nggak ketolongan.dia pernah melihat laki- laki itu pakai celana pendek warna pink. PINK!!! Dia lebih baik pergi ke acara ini hanya mengenakan celana dalam daripada harus meminjam kemeja Martin.

"Ev, kamu mau aku pergi ke acara ini apa nggak sih?" "Tentu aja mau."

"Kalo gitu jangan ngusulin yang nggak-nggak kayak begini dong." "Ya udah, kalo gitu kamu maunya gimana?"

"Apa celana panjang hitam dan kemeja putih bisa di terima?"

"Bisa sih bisa, kalo kamu mau disangka-sangka pelayan di acara ini. Sekalian aja tambahin dasi kupu-kupu, Ben."

"That's it, I'm hanging up. Minta tolong kok malah ngeledekin melulu."

"Eh, Ben, Ben… tunggu, tunggu. Sori, sori. Sumpah, aku nggak akan ngeledek kamu lagi. Sekarang kita serius. Kalo kamu bantuin aku kali ini, aku bakal utang sama kamu. Kamu bisa minta apa aja dari aku, kapan aja…."

Ben tidak berkata-kata selama semenit, membiarkan Eva menyogoknya dengan segala macam hal. Bukannya dia perlu disogok untuk membantu keluarga, tapi dia tidak akan menolak kesempatan menjaili Eva.

"Oke, fine, I'll go. Aku akan pake kemeja warna lain, tapi aku nggak akan pake jas atau dasi.

Setuju?" "Setuju."

"Dan satu hari nanti kalo aku nelepon untuk minta tolong, nggak peduli itu untuk ngapain atau jam berapa, kamu harus siap."

"Whatever you want, little brother," janji Eva.