I'll keep you, my dirty little secret
Don't tell anyone or you'll be just another regret
Hope that you can keep it, my dirty little secret
Who has to know
Malam itu, setelah anak-anak pergi tidur dan dia punya sedikit waktu untuk berpikir, jana mengulang percakapan dengan Papi tadi pagi. Terutama tentang menemukan figuran laki- laki untuk Erga dan Raka. Akhir-akhir ini dia memang sudah memiliki percakapan ini dengan dirinya sendiri. Apakah dia telah melakukan hal yang benar dengan menyembunyikan Raka dan Erga dari Ben? Goooddd!!! Dia masih tidak percaya bahwa dia bilang sudah menggugurkan bayi mereka di e-mail terakhir kepada Ben. Entah apa yang Ben akan lakukan kalau dia sampai tahu Jana sudah membohonginya? Bayangan Ben menggelutinya sebelum membakarnya hidu-hidup terlintas di kepalanya.
Mungkin memang tiba saatnya untuk mulai dating lagi, meskipun prospek itu membuatnya panas-dingin nggak karuan. Ben adalah pacar pertama dan terakhirnya. Selanjutnya, dia bahkan tidak tahu cara dating yang benar. Apa yang dia alami dengan Ben bukanlah dating, lebih seperti: mereka ketemu, makan siang, besoknya Ben menemaninya ke mana-mana, begitu juga dengan hari-hari berikutnya, dan sebelum dia menyadari apa yang sedang terjadi, mereka sudah pacaran. Tanpa Jana sadari, dia mengusap dadanya yang masih terasa sakit hingga sekarang mengingat apa yang telah Ben lakukan padanya.
Kalau memang mau mencari figure ayah untuk anak-anak dengan menikah lagi, dia harus melakukannya secepat mungkin. Karena Raka sudah pernah menanyakan keberadaan ayahnya ketika dia berumur empat tahun. Saking paniknya, bukannya menjawab pertanyaan itu, dia justru berkata, "Raka, habiskan makanan kamu."
Keesokan harinya tentunya dia langsung menelepon Mami dengan penuh kepanikan. Dan Mami membantunya memformulasikan jawaban yang mudah dimengerti oleh balita.
Awalnya dia tidak setuju dengan jawaban itu, tapi ketika mendengar Mami mengomel, "Apa kamu lebih memilih bilang ke mereka kalo ayah mereka itu bajingan cap kodok ngorek yang udh menghamili kamu dan tidak bertanggung jawab?", dia tidak punya pilihan. Untungnya dia tidak perlu menggunakan respons itu hingga beberapa bulan kemudian, ketika Erga mencegatnya dengan pertanyaan yang sama.
Jana mendudukkan Erga di pangkuannya dan berbisik, "Erga dan Raka punya ayah kok. Tapi dia udah nggak sama kita lagi. Dia ada di surga, sama Tuhan dan malaikat-malaikatnya." "Ayah Erga orang baik dong ya, karena kalo nggak kan nggak masuk surga?"
Kalau dibandingin sama serial killer mungkin, omel Jana dalam hati, tapi dia berkata dengan penuh senyum, "Paling baik di seluruh dunia ini."
Jana bersyukur pertanyaan itu tidak pernah diajukan lagi oleh anak-anaknya, tapi dia tahu dia sedang duduk di atas bom waktu. Sebentar lagi mereka akan beranjak dewasa, dan penjelasan yang pernah dia berikan tidak akan cukup lagi. Dia tahu bahwa mereka berhak mengetahui yang sebenarnya. Mereka berhak mengenal Ben dan Ben mengenal mereka. Ben… terakhir kali dia bertemu dengannya adalah akhir april delapan tahun yang lalu.
Seperti apa dia sekarang? Apa dia masih memiliki senyumnya yang mematikan? Senyuman yang tidak bisa dia hindari, terutama karena Erga dan Raka memiliki senyuman yang sama, berikut lesung pipi di pipi kiri mereka. Suatu persamaan yang langsung membuatnya menangis tersedu-sedu ketika pertama kali melihatnya. Seakan itu belum cukup parah untuk dihadapi oleh ibu tunggal yang masih patah hati, semakin lama dia menghabiskan waktu dengan anak-anaknya, semakin dia sadar bahwa mereka lebih mirip Ben daripada dirinya. Mulai dari rambut ikal, mata dalam, dan alis tebal. Seakan kemiripan wajah belum cukup, aroma mereka juga mengingatkannya pada Ben.
Memori akan hari pertamanya berkenalan dengan Ben memenuhi ingatannya. Hari itu adalah orientasi pelajar asing lowa state. Dia bukanlah jenis orang yang bisa langsung membuka pembicaraan dengan orang lain, belum lagi karena dia harus menggunakan bahasa inggis kerika melakukannya. Pada dasarnya hari itu adalah hari paling menakutkan sepanjang hidupnya. Dia merindukan sobat-sobatnya yang terpaksa dia tinggalkan karena Papi bersikeras adar dia mendapatkan pendidikan di Amerika. Dia sebetulnya sudah diterima di jurusan arsitektur di universitas local yang menurutnya cukup bonafide, tetapi Papi bersikeras agar dia berangkat ke lowa. Dia menangis selama seminggu karenanya.
Akhirnya Mami yang tidak tega melihatnya, menghampirinya dan menjelaskan semuanya. "Otome," ucap Mami sepelan mungkin dan Jana tahu bahwa dia harus mendengarkan apa pun yang akan dikatakan beliau, karena Mami hamper tidak pernah menggunakan bahasa Jepang, bahasanya Sobo, yaitu ibu Mami yang memang orang Jepang.
"Mami minta kamu turuti kemauan Papi, ya. Mami janji bahwa inilah yang terbaik untuk kamu," lanjut Mami pelan.
"Tapi, Mam… kenapa harus Amerika? Aku nggak kenal siapa-siapa di sana, Mam," balas Jana diantara tangisnya.
"Kamu kan bisa cari teman baru di sana. Bukannya Adriana ada di Amerika?" Mami menyebutkan salah satu sobatnya.
"Tapi Adri di DC, Mam. Itu jauh dari Lowa." Jana mencoba mengontrol tangisnya. Dia sudah mencabik-cabik tisu yang ada di genggamannya sampai tidak berbentuk lagi.
Mami menarik napas dalam, kemudian berkata, "Papi kamu ngotot mau kamu pergi ke Amerika karena anak Oom Sofyan kuliah disana." Dan pada saat itu Jana mengerti apa yang dimaksud Mami. Papi yang superkompetitif, ingin menunjukkan kepada Oom Sofyan, saingan beratnya, bahwa anaknya pun bisa kuliah di Amerika. Ya ampuuuunnn… dia tidak menyangka bahwa ego Papi sebegitu besarnya sehingga tidak menghiraukan keinginan anaknya.
"Apa aku akan pernah bisa ngambil keputusan sendiri, Mam?" Tanya Jana pada Mami yang menatapnya terkejut.
"Kamu nih ngomong apa sih? Papi dan Mami selalu ngebolehin kamu ngambil keputusan sendiri," bantah Mami.
"Oh ya? Coba Mami pikir… apa pernah Papi dengerin apa yang aku mau?" tantang Jana.
Untuk beberapa detik Mami hanya bisa terdiam, tapi beliau dibesarkan dengan budaya Jepang yang keras, di mana seorang perempuan tidak bisa menentang kata-kata kepala keluarga. Mami bangkit dari sisi Jana dan berjalan menuju pintu. "Kamu sekarang mungkin nggak ngerti kenapa Papi mau kamu pergi ke Amerika, tapi nanti waktu kamu lulus dan kerja untuk Papi, kamu akan ngerti." Dan hanya dengan kata-kata itu Mami meninggalkan Jana sendiri di kamarnya, menangisi nasibnya.
Sebulan kemudian, Jana menemukan dirinya di sebuah ruang pertemuan besar di kampus lowa state. Dia berpapasan dengan beberapa bule yang sepertinya sedang berbicara dalam bahasa Jerman. Kemudian ada seorang cewek yang sedang berbicara dalam bahasa Inggristetapi dengan aksen Rusia yang sangat kental sehingga tidak pasti apakah cewek itu memang sedang berbicara dalam bahasa Inggris.
"Hey, you look lost. Can I help you whit anything?"
Jana menoleh kepada cewek yang baru berbicara padanya dan harus menunduk karena cewek itu ternyata jauh lebih pendek darinya. Jana yakin tinggi cewek itu bahkan tidak mencapai 150 sentimenter. Cewek itu mengenakan kacamata minus cukup tebal sambil menggenggam suatu papan dengan beberapa kertas yang di jepit di atasnya. Jana melirik stiker yang ditempelkan pada dada kirinya, yang bertuliskan "Sabrina".
"I'm Sabrina, by the way," ucap cewek itu sambil menunjuk stikernya. "What's your name?" "Saya… I mean I'm Jana Oetomo," ucap Jana dengan gugup.
"Jane?" Tanya Sabrina dengan nada tidak pasti. "No no… not Jane. It's Jana."
Dia baru tiba di Amerika beberapa hari yang lalu dan dia sudah harus membetulkan kesalahan penyebutan namanya sekitar seratus kali. Dia betul-betul merindukan negeranya, teman-temannya, dan orang-orang yang akan langsung mengerti jika dia mengatakan bahwa namanya Jana dengan huruf "J" yang dibaca seperti "J" pada kata "Japan", bukan "H" pada kata "Hello". Dia mulai merasa jengkel pada orang-orang yang memanggilnya "Jane" atau "Hana". Sabrina melirik papan yang ada di hadapannya. Mulutnya komat-kamit "Oh, here you are. You're the Indonesia girl," ucapnya setelah beberapa menit. "Welcome to lowa State," lanjutnya dengan ceria, Jana hanya bisa mengangguk.
"We have an Indonesian guy who volunteers to help. Let me see… he was here a second ago," Sabrina memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, lalu tanpa Jana sangka-sangka gadis itu mulai loncat-loncat di hadapannya. Jana hanya menatap Sabrina sambil mencoba menahan senyum. Jelas-jelas pendapat orang Asia bahwa semua orang bule bertubuh tinggi dan langsing sudah kaprah.
Dia berusaha untuk tidak menutup telingannya ketika Sabrina berteriak keras, "Ben, Beee… nnn. Come here, I need you."
Beberapa detik kemudian dia mendengar suara laki-laki di belakangnya berkata, "God, stop waving at me like a crazy person, Sabs. We're in civilization for chrissake."
Jana memutar seluruh tubuhnya untuk bisa melihat cowok yang berdiri di belakannya dan matanya jatuh pada dadanya. Dia harus mundur selangkah untuk bisa melihat wajahnya karena cowok itu tinggi sekali. Dan ketika matanya akhirnya bisa menatap wajah cowok itu, Jana hanya bisa menganga. Holy mother of Jesus!!! Ini adalah cowok Indonesia paling ganteng yang pernah dia lihat dengan mata kepala sendiri sepanjang hidupnya. Koreksi, ini adalah cowok paling ganteng yang pernah dia lihat sepanjang hidupnya, TITIK! Cowok itu sedang tersenyum, dan Jana bisa melihat lesung pipi pada pipi kirinya. Anehnya, lesung pipi itu tidak membuatnya kelihatan seperti banci, justru membuatnya lebih maskulin.
"Ben, meet Jana, she's from Indonesia too," ucap Sabrina tanpa menghiraukan nada sinis Ben beberapa saat lalu dan dengan bangganya memperkenalkan Jana.
Ben mengalihkan perhatiannya ke Jana dan berkata, "Halo," dengan ramah. Dia lalu menyodorkan tangannya.
"Halo," balas Jana yang otomatis meraih tangan itu.
Dan sumpah mati, dia merasakan aliran listrik ketika telapak tangan mereka bersentuhan. Rasa aman dan nyaman langsung menyelimutinya. Sesuatu yang sangat jarang terjadi mengingat dia tidak pernah merasa cukup nyaman dengan kaum cowok sampai bisa menjalin hubungan dengan mereka. Jangankan menjalin hubungan, berteman dengan mereka saja dia tidak berani. Oleh karena itu, dia langsung tahu bahwa Ben adalah boyfriend material. Menurut Dara, salah satu sobatnya yang jauh lebih berpengalaman dengan hal-hal yang berhubungan dengan cowok, hanya ada 3 jenis cowok di muka bumi ini. Pertama, cowok yang hanya bisa jadi temen karena meskipun mereka bisa membuat kita merasa nyaman, bayangan mencium mereka membuat kita menggelengkan kepala kuat- kuat; kedua, cowok yang Cuma bagus untuk dilihatin karena selain tubuh dan wajah, tidak ada lagi yang menarik tentang mereka; ketika, cowok yang merupakan boyfriend material.
Mereka bukan saja ganteng nggak ketolongan, tapi juga membuat kita merasa nyaman dengan mereka. Dan Ben is definitely boyfriend material. Kesadaran ini membuat Jana terkesiap dan buru- buru menarik tangannya. Ben kelihatan terkejut dengan reaksinya dan kini menatapnya dalam, seakan sedang mencoba membaca pikirannya. Takut bahwa Ben betul-betul akan bisa membaca pikirannya, Jana langsung menunduk.
"Okaaa…yyy, I'll let you guys get acquainted while I'll go greet other students."
Kata-kata Sabrina membuat Jana mendongak siap protes, tapi Sabrina sudah menghilang dari peredaran, meninggalkannya sendiri dengan Ben.
"Kamu dari mana? Tanya Ben sambil tersenyum.
Lesung pipi Ben membuatnya sulit memikirkan jawaban pertanyaan itu. Jana menelan ludah sebelum berkata, "Aku tadi dari Eaton Hall. Aku tinggal di sana."
Ben langsung menyeringai ketika mendengar jawaban itu, membuat Jana sadar bahwa dia sudah salah mengartikan pertanyaannya. Buru-buru dia menutup mata saking malunya. "Itu bukan maksud pertanyaan kamu, ya?" tanyanya dengan hati-hati sambil membuka satu matanya dan melihat Ben sedang menggelengkan kepalanya.
Tapi setidak-tidaknya Ben masih tersenyum, yang berarti dia tidak menganggapnya cewek idiot. "Aku dari Jakarta," ucap Jana secepat mungkin.
Ben mengangguk dan bertanya lagi. "Di sini rencananya mau ambil jurusan apa?" "Arsitektur."
"Oh ya?"
Jana tahu bahwa dia seharusnya menanyakan hal yang sama kepada Ben, karena itulah sopan santun, tapi otaknya seperti sedang kena brain freeze. Untuk pertama kalinya Jana mengerti ungkapan "Love at first sight", karena dia sedang mengalaminya dengan Ben.
LOVE AT FIRST SIGHT, nenek moyang lo!!! Kalau saja dia tahu hubungannya dengan Ben akan berakhir seperti itu, dia tidak akan sudi mengenalnya. Tapi itulah masalahnya dengan cinta. Cinta membuat kita buta dan rela melakukan hal-hal yang biasanya tidak akan kita lakukan. Kalau dipikir-pikir lagi orang yang sedang jatuh cinta sudah seperti orang mabuk, tapi efek samping mabuk masih lebih mendingan. Setidak-tidaknya mereka hanya perlu berurusan dengan kepala pusing besok gara-gara hangover, tapi kalau putus cinta? Bah!
Efek sampingnya bukan hanya kepala pusing, tapi hati remuk dan masalah mental yang bahkan nggak bisa dibantu oleh terapi seumur hidup.
Nggak, tidak peduli apa yang terjadi, Ben tidak akan pernah tahu tentang keberadaan anak- anaknya. Dia akan mencari laki-laki yang jauh lebih layak untuk menjadi seorang suami dan ayah bagi anak-anaknya. Untung saja tidak ada yang tahu identitas Ben, dan dengan paras kebule-bulean kedua anaknya, Papi dan Mami berkesimpulan bahwa ayah mereka adalah seorang bule bejat yang sudah menghamilinya. Dan Jana tidak pernah membetulkan kesalahkaprahan itu. Entah apa yang akan mereka pikirkan kalau sampai tahu bahwa bukan bule bejat yang sudah menghamilinya, tapi laki-laki Indonesia bejat. Ya, Ben adalah dirty little secret-nya yang akan dia simpan sampai mati.
Keesokan paginya Jana terbangun dan memori tentang Ben kembali melandanya, kini tentang apa yang terjadi setelah mereka berkenalan. Sepanjang orientsi Ben tidak habis- habisnya menatapnya sampai dia salah tingkah. Tatapan itu begitu intense, sampai cewek Malaysia bernama Nurul yang duduk di sebelahnya mengomentari, "Dia pakwa you ke?" Jana betul-betul tidak tahu apa yang dimaksud oleh Nurul. Banyak orang bilang Bahasa Indonesia dan Melayu itu mirip, tapi Jana bisa yakinkan bahwa itu tidak benar sama sekali. Melihat kebingungan pada wajahnya, Nurul berbisik, "Dia boyfriend you?"
"Oh, bukan. Saya baru kenal dia."
"Mmmmhhh, kalau baru kenal, dia macam stalker je kan? Asyik je dia tengok you." Membutuhkan waktu beberapa menit bagi Jana untuk mencerna kata-kata Nurul, dan ketika dia memahaminya, buru-buru dia menutup mulutnya sebelum ada orang mendengar cekikikannya. Untungnya pada detik itu orientasi berakhir. Jana baru saja say goodbay pada Nurul yang akan kembali ke asramanya ketika sadar bahwa Ben sudah berdiri di ujung barus kursinya, menunggunya. Dengan sedikit tidak pasti Jana berjalan mendekatinya.
"Kamu ada rencana apa setelah ini?" Tanya Ben. "Cari makan siang, terus balik ke Eaton," jawab Jana.
"Oh, good. Aku juga mau makan siang. Aku tahu tempat makan enak deket Eaton, kita bisa makan siang sama-sama. Abis itu aku bisa anter kamu pulang."
Yang terlintas di kepala Jana ketika mendengar ajakan ini adalah: "Hah??" yang diikuti dengan, "Maksud lo??!!"
"A-aku…" Jana tergagap.
Pikirannya blank. Dia betul-betul tidak tahu bagaimana menangani situasi ini. Oh, andaikan dia Dara, dia pasti tahu respons terbaik untuk situasi seperti ini. Santai, Jana, santai. Cowok ini ramah aja sama elo karena sama-sama orang Indonesia. Ini bukan date or anything like that, ucap Jana dalam hati.
"C'mon it's just lunch. Kamu toh harus makan juga. Kenapa nggak makan sama aku aja?" ucap Ben dengan nada sedikit memohon.
OH… MY… GOD. It is a date. Seumur hidupnya, tidak pernah ada cowok yang berani mengajaknya nge-date. Beberapa kali dia mendengar bahwa ada segelintir cowok yang tertarik padanya, tapi tidak ada dari mereka yang berani maju. Mereka terlalu takut dengan dirinya yang dikenal sebagai cewek paling pintar satu sekolah. Dan sekarang Ben sedang mengajaknya nge-date, satu jam setelah mereka berkenalan. Hanya ada dia kemungkinan, cowok ini memang nekat atau seperti yang Nurul bilang, seorang stalker.
"Aku janji kita nggak akan lama. Paling sejam. Kita bisa makan burger. Kamu suka burger, kan?"
Jana hanya mengangguk, masih tidak bisa berkata-kata. "So, makan burger sama aku," tandas Ben.
"I don't think…"
Seperti membaca keraguannya, Ben menghaluskan nada bicaranya dan berkata sambil tersenyum, "Sumpah aku bukan stalker, aku Cuma mau makan siang sama kamu." Wow, cowok ini benar-benar jujur mengemukakan maksudnya, tanpa basa-basi. Jana mendapati dirinya tidak bisa menolak dan tanpa dia sadari sudah mengangguk.
"Awesome. Let me say goodbye to these people and we can go," ucap Ben dengan senyum lebar.
Jana hanya perlu menunggu kurang dari lima menit sebelum Ben muncul lagi di hadapannya. "Yuk," ucapnya dan menggiring Jana ke luar ruangan.
Sepanjang perjalanan menuju Union Drive yang biasanya hanya memakan waktu sepuluh menit jalan kaki, hari ini molor menjadi dua puluh menit gara-gara mereka harus berhenti beberapa kali karena Ben berpapasan dengan kenalannya. Ben tidak pernah menyapa duluan, selalu mereka. Kelihatannya dia cukup popular di kampus ini, karena orang-orang itu keliahatan betul-betul senang melihatnya. Semuanya memberikan tatapan ingin tahu ketika melihatnya bersama cewek tidak dikenal, tapi hanya beberapa dari mereka yang dikenalkan Ben padanya. Beberapa menit kemudian mereka sampai di Market place, salah satu dari banyak tempat makan dalam kampus.
"Apa kamu udah pernah makan disini?" Tanya Ben sambil berjalan menuju konter burger. "Udah, tapi belum pernah coba burgernya."
"Aku jamin kamu pasti suka. Cheeseburger di sini yang paling enak di seluruh kampus..," Omongan Ben terpotong oleh teriakan seorang wanita kulit hitam berukuran besar. "Benjiii… you're back!!!"
Wanita itu sedang tersenyum lebar dan mempertontonkan deretan giginya yang putih. Ben membalas sapaan itu dengan tidak kalah ramahnya. Tidak lama kemudian mereka bertukar cerita tentang liburan musim panas. Whoa, bukan saja Ben memiliki banyak teman, tapi mereka sepertinya datang dari berbagai kalangan. Harus Jana akui dia cukup terkesan melihatnya. Selain keluarga, Papi dan Mami hanya memperbolehkannya bergaul dengan teman-teman dari sekolah. Entah apa yang akan terjadi kalau dia berani berteman dengan orang dari kalangan yang mereka nilai dibawah mereka.
"I guess you want that cheeseburger with lost of fries then, huh?" "Yes, Miss Rita. Can we have two of those, please."
Miss Rita terkekeh. "Boy, I don't know how many times I've told you just call me Rita." "Nawww, I like calling you Miss Rita," canda Ben.
Miss Rita memberikan pesanan mereka sambil geleng-geleng kepala. "You two have a good day now."
Jana hanya mengangguk dan mengikuti Ben yang sudah berjalan menuju konter minuman. Mereka sama-sama mengambil sebotol air putih sebelum menuju sebuah meja kosong. "Aku sangka nama kamu Ben," ucap Jana setelah dia duduk "Namaku memang Ben," balas Ben dengan wajah sedikit bingung. "Jadi kenapa Miss Rita manggil kamu Benji?"
Ben terkekeh sebelum berkata, "Oh, itu nick name yang dikasih Miss Rita waktu aku kerja di sini semester lalu."
Jana langsung tersedak potongan burger yang baru saja ditelannya dan untuk beberapa menit dia terbatuk-batuk. Ben langsung berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya. "Makannya pelan-pelan, Jan."
Andaikan saja Ben tahu bahwa alasan Jana tersedak adalah bukan karena dia makan terlalu cepat, tapi karena pengakuan tanpa malu-malu Ben bahwa dia pernah bekerja di kantin sekolah. Mami dan Papi bisa pingsan kalau dia membawa Ben pulang untuk dikenalkan kepada mereka. Prospek ini membuat Jana tersenyum dalam hati.