"Aqilla dimana?" Tanya seseorang yang sedang berbaring tak berdaya di atas kasur.
"Dari tadi malam si udah gua kabarin, tapi di ga datang."
"Oh gitu, mungkin emang di ga peduli sama gua."
*****
Pada pagi hari ini rasanya ada janggal di diri Aqilla. Entah itu datang dari mana, tapi rasanya ada sesuatu yang membuat dirinya merasa tidak nyaman.
"Kamu kenapa de?" Tanya kak Anindira.
"Ga apa-apa kak."
Aqilla langshng mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat kepada temannya, Keisya.
"Key, ke rumah sakit yang semalam kita ga jadi pergi yu."
"Yaudah deh iya, ayo. Gua ke rumah lu aja ya, mumpung gua lagi ada motor nganggur."
"Oh yaudah, gua tunggu ya."
"Oke. Wait."
Sembari menunggu Keisya yang datang ke rumahnya, Aqilla bersiap-siap untuk ganti pakaian dan menyiapkan segala kebutuhannya di dalam tas. Seperti minyak wangi, charger, dan yang lainnya.
"Assalamualaikum." Terdengar suara seseorang di balik pintu.
"Ah pasti itu Keisya. Waalaikumsallam."
"Berangkat sekarang nih?"
"Iya, gua ngerasa ga enak perasaan gua."
"Widih, ada yang mulai peduli nih sama kak Rian."
"Ih buka gitu maksud gua. Yaudah ah, yu berangkat."
"Iya iya. Pamit dulu sama kakak lu."
"Oh iya. Kak, aku pergi dulu ya sebentar. Nanti kalo udah selesai aku langsung ke rumah sakit buat jenguk Ayah. Assalamualaikum."
"Iya, waalaikumsallam. Hati-hati de, jangan ngebut-ngebut bawa motornya." Pesan Kakak Aqilla kepada Keisya.
Rumah sakit yang tidak begitu jauh dari rumah Aqilla, sehingga hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja Aqilla dan Keisya untuk sampai menuju ke rumah sakit tersebut.
Sesampainya di rumah sakit, Aqilla dan Keisya langsung menanyakan ruang kamar yang di tunggu oleh kak Rian.
"Permisi Sus, kamar atas nama Rian Muhammad di sebelah mana ya?"
"Oh sebentar ya, saya cari dulu."
"Iya sus." Tidak lama suster tersebut mencari data atas nama Rian akhirnya ketemu.
"Ruangannya ada di ruang mawar. Mba bisa lurus aja dari sini, nanti ketika ada belokan pertama Mba belok kanan aja, nomor 212."
"Oh gitu, baik sus. Makasih ya sus."
"Iya sama sama."
Aqilla dan Keisya pun langsung segera pergi ke ruangan yang katanya di dalamnya beisi kak Rian yang sedang di rawat. Dengan arahan petunjuk sesuai dari suster tadi mereka berdua mengikuti arahan tersebut.
"Tadi katanya belok kanan kan Kei?"
"Iya. Itu tuh Qil ruang mawar nomor 212."
"Oh iya. Yaudah yu."
Ketemu. Ruang mawar kamar nomor 212. Aqilla segera menghampiri dan membuka kamar tersebut. Ternyata benar, di sana terdapat kak Rian yang terbaring lemah dengan berbagai macam alat di tubuhnya.
"Astaghfirullah, kak Rian?" Lirik Aqilla dengan terkejut yang melihat keadaan kak Rian saat ini yang sedang terbaling lemah tidak berdaya.
"Aqilla." Suara yang begitu lemah terdengar dari mulut kak Rian.
"Kakak sakit apa? Maaf ya semalam aku ga datang, ada urusan lain."
"Iya, ga apa-apa kok. Hapus air matanya. Jangan nangis. Jelek tau, haha. Gua ga apa-apa kok."
Langsung Aqilla menghapus air matanya dengan kedua tangannya dan bertanya kepada kak Rian, "Kenapa kakak bisa kaya gini?"
"Dia kecelakaan motor," jawab seseorang lelaki yang menemani kak Rian saat ini. Katanya dia adalah kakak dari Rian.
"Ya Allah, makanya jangan ngebut-ngebut kak kalo bawa motor." Aqilla justru memarahi kak Rian yang selalu membawa sepeda motornya dengan kecepatan yang tinggi.
"Maaf, mau tanya." Lagi-lagi kakak dari kak Rian bertanya kepada Aqilla.
"Kamu kenal nomor plat motor ini ga?" Tanyanya sembari dia memperlihatkan sebuah foto kepada Aqilla. Plat dengan nomor B 1245 DKA.
"Itu... Bukannya motor Dika ya?"
"Mana, mana. Coba liat." Keisya yang penasaran pun langsung segera ingin melihatnya.
"Oh iya. Itu bukannya plat nomor motornya Dika?"
"Oh jadi benar, Dika adalah pelakunya?"
"Maksudnya gimana kak?" Tanya Aqilla yang masih sangat penasaran sebenarnya apa yang terjadi di antara kak Rian dan Dika.
"Ada seseorang yang sempat memfoto kejadian kecelakaan motor Rian. Dan yang tertangkap kamera adalah motor itu sudah menabrak Rian." Jelas kakaknya kak Rian.
"Masa si kak?"
"Iya, seperti itu. Kamu juga kenal dekat dengan pemilik motor itu?"
"Dia teman sekelas aku kak."
"Oh bagus. Jadi penangkapan dia berarti lumayan mudah. Kamu tau rumahnya dia dimana?"
"Tau kak."
"Yaudah sekarang kamu bisa anterin saya ke rumahnya?"
"Bi... Bisa. Tapi apa benar semua itu yang ngelakuin Dika?" Aqilla masih terus bertanya-tanya. Apa benar semuanya ini terjadi karena ulah Dika. Jika benar, jahat sekali perlakuan Dika tersebut.
"Saya juga belum tau pasti si. Polisi juga masih menyelidikinya. Saya hanya ingin mencari tau saja dengan datang ke rumahnya langsung. Bisa antarkan saya?"
"Iya bisa si kak."
"Yaudah, ayo kita berangkat sekarang juga."
"Sekarang? Nanti kak Rian sama siapa?"
"Kan ada Dokter dan suster. Ini juga buat keadilan Rian. Ayo kita berangkat." Tanpa menjawab apa-apa, Aqilla hanya bisa mengikuti langkah kakak dari kak Rian.
Dengan langkah yang sangat berat, Aqilla berjalan di belakang kakaknya kak Rian. Tidak percaya jika Dika adalah pelakunya. Jika memang iya dia yang melakukannya, kenapa dia melakukan semu itu? Sungguh sangat jahat sekali perbuatannya. Kalau memang semua terungkap jika itu Dika lah pelakunya, Aqilla berjanji pada dirinya sendiri untuk menjauhi Dika, bahkan tidak akan menganggap dia ada lagi di kehidupannya.
*****
Di jalan kakak Rian mengendarai mobilnya dan menelpon seseorang.
"Hallo pak, saya sedang menuju rumah tersangka. Bapak bisa ke rumah tersebut juga? Nanti saya share location lokasinya. Oke Pak, baik, saya tunggu Pak."
"Kakak telpon siapa?"
"Polisi. Biar semuanya segera cepat selesai."
Aqilla hanya menganggukan kepalanya, tidak menyangka bahwa kecelakaan yang di alami oleh kak Rian ini sangat rumit, hingga dirinya terlibat di dalamnya.
Sesampainya di rumah Dika, Aqilla dan kakak Rian tidak langsung masuk ke rumahnya, tetapi mereka menunggu kehadiran polisi yang sedang di jalan menuju ke lokasi yang sama.
"Siang Pak. Menurut temannya, ini Aqilla namanya. Rumah tersangka di seberang sana Pak. Yang berwarna cokelat muda."
"Baik kalau begitu kita langsung kesana saja."
"Iya, baik Pak."
"Permisi. Permisi." Polisi itu mengetuk rumah Dika dengan nada yang tegas dan cukup keras.
"Iya, ada apa ya?" Yang membukakan pintunya adalah Ibu dari Dika.
"Benar kah ini rumah kediaman saudara Galih Mahardika?"
"Iya saya Ibunya, ada apa ya?"
"Apa anak Ibu sekarang ada di rumah?"
"Ada."
"Bisa di panggil sebentar untuk menemui kami?"
"Maaf, tapi sebelumnya ada apa ya Pak?"
"Anak Ibu di duga sebagai pelaku penabrakan saudara Rian dengan cara kesengajaan."
"Apa?" Belum sempat Dika di panggil, Ibu Dika sudah pingsan karena mendengar penjelasan dari polisi tersebut. Tidak menyangka dan tidak percaya jika anaknya menjadi tersangka penabrakan motor secara sengaja.
-TBC-