"Aku akan mati."
Kalimat itu bagai puluhan jarum menusuk tepat ke dada Ravi, hingga dia rasanya tidak bisa memandang Raymond lagi untuk sekarang. Ravi membuat suara tersedak di belakang tenggorokannya, dia tidak akan mengira kalimat itu yang akan keluar dari Raymond. Namun dirinya yang belum genap satu hari mengenal Raymond, merasakan sakit dan sesak mendengar kata-kata yang keluar dari celah bibir pria ini dengan cara yang berbeda.
Ravi hanya diam mengunci mulutnya rapat-rapat. Menelan setiap kalimat yang akan dia lontarkan pada Raymond. Mereka diam hingga heningnya dipecahkan oleh suara Raymond yang serak. "Tetapi Ravi, itu adalah pilihan terbaik. Aku adalah elf yang buruk, jika Ravi ingin menolak lakukan saja sekarang, Ravi. Aku tidak ingin kembali ke sana."
"Di mana tempatmu tinggal?" tanya Ravi hati-hati yang sama sekali tidak ingin menyinggung kalau-kalau pertanyannya justru akan mengungkit kembali kenangan yang dialami oleh Raymond.
Raymond menjawab lemah. "Rumahku cukup luas, banyak kuda di dalamnya, tapi terkadang bau."
Dada Ravi berdenyut, matanya menjadi panas mendengar hal itu karena Raymond telah menyentuh sisi sensitif dirinya kali ini. Orang macam apa yang hidup bersama Raymond? Bagaimana Raymond diperlakukan sebelumnya? "Di mana itu?"
"Dunia tengah. Aku tidak ingin kembali ke sana lagi, apapun keputusan Ravi. Maka, itulah yang terbaik," katanya hampir seperti bisikan. Dunia tengah? Ravi ingin menanyakan lebih jauh tetapi melihat apa yang terjadi pada Raymond yang sedih, dia menyimpan pertanyaannya lebih dahulu.
"Raymond ini tidak mudah untuk dipercayai olehku dan juga keluargaku," kata Ravi ingin membuat Raymond setidaknya mengerti. "Semua ini begitu tiba-tiba bagi kami. Hidupku selalu berjalan normal sebelumnya."
Raymond melihat Ravi dengan rasa ingin tahunya, tetapi Ravi bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi sendih yang terlukis di wajah itu. Kemudian Raymond berkata, "Bagaimana aku membuktikan bahwa aku berkata yang sebenarnya, aku tidak berbohong, Ravi. Aku tidak pernah berbohong padamu."
Mata Raymond sayu ketika menatap Ravi, sebelah matanya yang awalnya bersinar kini masih redup seperti kesedihan yang terpancar di sana. Raymond kemudian berkata kembali padanya. "Aku bersumpah Ravi, bahwa aku tidak berbohong. Aku tidak memiliki niat jahat apapun untuk menyakiti keluargamu atau bahkan kamu. Kamu memiliki aku sepenuhnya dan kamu bisa menghentikan serta melakukan apapun padaku."
Ravi menghela napasnya kasar, pada akhirnya dia harus membuat keputusan, dia tidak ingin Raymond tiada dan kemungkinan hukuman yang akan dia terima jika Raymond kembali, Ravi mengambil risiko yang tidak tahu apa yang akan terjadi pada masa depan nantinya. Dia mempercayai Raymond atau mungkin seperti kata Raymond barusan bahwa dirinya memiliki Raymond sepenuhnya menciptakan gelombang kepercayaan yang melekat pada Ravi. "Dengar Raymond, aku mungkin tidak akan mengatakannya dua kali."
Raymond menatap Ravi dengan bingung, lantas hal itu membuat jantung Ravi bergemuruh.
"Aku tidak akan pernah menolakmu. Tidak akan pernah," kata Ravi mantap, tetapi sebenarnya dirinya sedikit malu dengan kata-katanya sendiri. Dia berharap bahwa keputusannya adalah benar, walupun Ravi sendiri belum membicarakan hal ini kepada orangtuanya.
"Ayo kita keluar, aku dan kamu belum makan siang," ucap Ravi sambil berdiri. Ravi tidak ingin melihat dan mendengar tanggapan Raymond dengan pernyataan sebelumnya, tetapi dengan aroma cokelat leleh itu yang kembali muncul sudah cukup bagi Ravi sebagai jawabannya.
"Terima kasih, Ravi," katanya pelan hampir terdengar seperti deru angin yang halus, kemudian Raymond mengikuti Ravi berjalan di belakangnya.
"Ingin makan?" Ravi terperanjat hingga ia mundur ke belakang menabrak bagian depan tubuh Raymond. Pipi Ravi berubah merah muda menyebar ke seluruh permukaan wajahnya, hingga ia melangkah maju kembali dengan cepat. Dia berharap Daniel tidak mendengar apa yang baru saja Ravi dan Raymond bicarakan di dalam.
"Daniel, aku terkejut. Sejak kapan kamu di sini?" tanya Ravi mengangkat alisnya menatap Daniel yang masih berdiri menghalangi pintu.
"Sejak tadi. Aku tidak bisa meninggalkan adikku berdua saja dengan orang asing." Mata Daniel berkilat ke arah Raymond yang balas menatap Daniel dengan bingung.
"Daniel, itulah fungsi aku mengikuti beladiri, kan? Raymond juga tidak melakukan apapun. Kami hanya berbicara, lagi pula kami ingin ke dapur dan makan sesuatu." Ravi menggeser Daniel ke pinggir pintu yang menghalangi jalannya.
"Ravi, dia bukan manusia. Tidak tahu asal usulnya bagaimana, dan tujuan dia sebenarnya."
Ravi melihat kepala Raymond yang langsung menunduk dari sudut matanya. "Daniel, jangan berbicara seakan-akan Raymond tidak ada di sini."
Daniel memutar matanya, dia sekali lagi menatap tajam pada Raymond yang tak menangkap tatapan itu karena dia menunduk mengamati lantai di ujung kakinya. "Aku hanya tidak ingin sesuatu terjadi pada, kamu, ayah atau pun ibu."
Ravi menghembuskan napasnya. "Aku tahu," desahnya dan melangkah pergi diikuti Raymond di sampingnya.
"Hasil dari dosa datang ke hadapanku." lirih Daniel yang masih bisa terdengar oleh telinga Ravi. Dia langsung berbalik menghadap Daniel.
"Daniel, berbicara tentang apa barusan?" tanya Ravi mendongak untuk melihat kakaknya.
"Apa? Bicara apa?" Daniel malah menjawab dengan tanya serupa, wajahnya menampilkan raut tidak mengetahui apapun. Ravi yakin Daniel tadi sedang berbicara tentang dosa yang datang. Tetapi apa maksudnya itu?
***