"Ayah bilang pada tetangga bahwa Raymond adalah sepupu kita yang datang untuk tinggal, jadi mereka tidak perlu bertanya lagi saat melihat Raymond," kata Ayah setelah meneguk secangkir air.
Ravi melirik Raymond yang memakan pasta di hadapannya dengan lahap, seolah dia tidak makan untuk waktu yang lama. Seperti tidak peduli bahwa orang sedang membicarakannya di tengah meja makan ini.
Ravi mengalihkan pandangan pada sepiring scotch egg di hadapannya yang tinggal sepotong dengan lelehan saus tomat di atasnya. Dia mengiris dan memasukkan ke dalam mulut, merasakan daging giling dan telur rebus menyatu di mulutnya. Ravi menyeka saus yang mengotori bibirnya dengan saputangan. "Ayah, aku akan membersihkan kamar kosong di atas nanti."
Ayah mengangguk, tetapi ibunya menanggapi setelah menyusun piring di rak. "Daniel bisa membantu Ravi, kan?"
"Bisa, Ibu," jawab Daniel duduk bersebelah dengan Ravi yang baru saja menyelesaikan makannya.
"Tidak perlu, Daniel. Tadi pagi kamu mengatakan ingin memeriksa restoran sore ini," tolak Ravi karena dia sendiri mampu melakukannya. Itu hanyalah membersihkan kamar di sana-sini.
Daniel mengangguk-anggukan kepalanya. "Iya, benar. Tapi aku tidak bisa meninggalkan Ravi dengan-,"
"Pergi saja Daniel," potong Ayahnya tegas tanpa menoleh ke arah Daniel.
"Iya, Ayah," pasrah Daniel dan melanjutkan makannya. Ravi bangkit mengangkat piringnya ke bak cuci piring, dan mencucinya.
"Raymond ingin menambah pasta?" tanya ayahnya menatap Raymond yang baru saja mendorong piring kosongnya ke depan.
Raymond mengangkat wajah dengan mulut dipenuhi saus pasta. Ravi ingin melesat ke sana memberikan tisu tetapi Daniel sudah melakukannya dan bergumam, "Seperti anak kecil."
"Tidak, Paman. Aku sudah kenyang. Terima kasih," jawab Raymond pada ayah.
"Ayah, Ibu, Daniel. Aku ke atas, jika Ibu butuh sesuatu, Ibu hanya perlu berteriak seperti biasa."
Ibu tertawa mendengar apa yang baru saja Ravi katkan. "Biasanya sampai lebih dari lima kali, Ravi baru bisa turun membantu Ibu."
Ravi hanya tersenyum dan mulai menaiki tangga kayu. Dia merasakan aroma hujan segar dan bau samar cokelat berjalan di belakangnya. Ravi mengetahui bahwa Raymond sedang mengikuti dan dia tidak mempermasalahkannya, mungkin ini akan terasa canggung bagi Ravi untuk berada di sekitar orang asing di rumahnya sendiri, akan tetapi Ravi akan membuat dirinya terbiasa.
Setelah membuka pintu pada kamar kosong di depan kamarnya, Ravi langsung menggeser jendela hingga terbuka agar udara segar mengisi kamar yang telah lama tidak digunakan. Ravi berbalik dan melihat Raymond masih berada di ambang pintu. "Kenapa?"
"Aku tidak tidur di kamar Ravi?" tanya Raymond langsung.
Ravi terbatuk kecil mendengar pertanyaan Raymond yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya mengusap pelan punggung Ravi, membuat Ravi cepat-cepat menggeser menjauh. Ini sungguh aneh, Ravi seharusnya tidak bertingkah seperti ini. "Jangan menyentuhku, lagi pula aku tidak pernah tidur dengan orang lain di ruang yang sama dan aku tidak terbiasa untuk itu."
"Kenapa Ravi? Raymond ingin melindungi Ravi," katanya memutar-mutar ujung kaus hitamnya sambil menatap Arghi dengan pandangannya yang memohon.
"Iya, tetapi aku sekarang tidak dalam kondisi bahaya. Apa yang harus dilindungi? Aku baik-baik saja, jangan bersikap berlebihan." Ravi berkata pada Raymond sambil mendongak untuk melihatnya kembali.
Raymond menggeleng kecil, rambut hitamnya yang berantakan menari pelan tertiup angin yang datang dari jendela. "Aku ingin bersama Ravi."
"Kamarmu di sini, Raymond," putus Ravi mengabaikan kalimat yang Raymond lontarkan barusa pada dirinya.
"Iya, Ravi," katanya berdiri kak seperti masih belum menerima dengan keputusan Ravi.
"Aku ingin bertanya sesuatu?" tanya Ravi mengambil beberapa bantal di dalam lemari dan meletakkannya di atas kasur yang telah rapi.
"Tanya saja Ravi."
"Kenapa bulu sayapmu tajam?"
"Tajam? Ravi menyentuhnya? Itu seharusnya tidak tajam pada Ravi," kata Raymond mulai panik dan mengawasi jemari Ravi yang menggenggam ujung bantal.
"Bukan, bukan aku, tapi Daniel. Saat aku menyentuhnya itu sangat halus dan seharusnya tidak ada yang salah dengan itu."
Raymond menghembuskan napas lega sambil mengelus dadanya. "Bulu itu tidak akan bisa melukai Ravi dan Ray sendiri. Bagi orang lain itu akan tajam ketika mengenai kulit."
Ravi mengernyitkan keningnya. "Kenapa seperti itu?"
"Hal itu sebagai bentuk pertahanan diri, Ravi. Untuk melindungi Ravi dan juga diriku sendiri."
Ravi mengangguk pelan dia melirik ke arah Raymond lebih dulu dan kemudian bertanya hati-hati keluar dari jaurnya. "Mengapa kamu menolak gadis itu?"
Ravi mengamati perubahan ekspresi Raymond setelah dia menanyakan hal ini, Raymond menggeleng dan menjawab, "Aku akan menyakitinya, karena tidak ada cukup ruang yang dapat diisi di sini untuk dirinya." Raymond menunjuk dadanya dan melanjutkan, "Karena semua penuh dengan Ravi dan Ravi memiliki Ray sepenuhnya. Bertahun-tahun tidak pernah ada dipikiranku untuk bersama dengan orang lain."
Ravi mendengus mendengar kalimat terakhir. "Kamu bukan barang. Kamu bisa melakukan apapun yang diinginkan."
"Tapi aku memang seperti itu, Ravi. Lebih dari rendah dari barang yang Ravi maksud." bisiknya sambil menunduk memperhatikan jemari kakinya yang bergerak-gerak asal.
Kali ini rasa penasaran Ravi pada Raymond sebelum dia datang kemari membuncah di dalam dada Ravi. Pertanyaan sudah berada di di ujung lidahnya, tetapi Ravi harus kembali menelannya saat dia melihat beberapa tetes air mata jatuh ke lantai datang dari Raymond. Apakah dia sedang mengingat masa lalunya?
"Kamu kenapa, Raymond? Kamu bisa bercerita padaku?" Ravi datang ke sisi Raymond.
Raymond menggeleng. "Tidak, Ravi. Aku belum."
Baiklah, Ravi tidak akan memaksa. Dia menepuk punggung Raymond pelan dan tersenyum tipis. "Kamu tunggu di sini sebentar, aku akan mengambil sesuatu di kamarku. Tidak akan lama."
Raymond mengangkat wajahnya lalu dia mengangguk, tetapi masih tidak rela dengan kepergian Ravi yang meninggalkan dirinya sendirian di sini, dengan itu Ravi langsung pergi dan kembali dengan cepat. Raut wajah RaYmond cepat sekali berubah ketika kedatangan Ravi kembali ke sisinya dan juga badan Raymond sedikit condong ke arah Ravi.
Jakun Ravi bergerak naik turun, seharusnya ini tidak berarti apa-apa, tetapi jantungnya tiba-tiba berdetak cepat. Ravi meraih pergelangan tangan Raymond yang lebih besar dari miliknya dan memberikan sebungkus cokelat pada Raymond di telapak tangannya.
"Apa ini, Ravi?" Alis Raymond berkerut penuh tanda tanya.
"Cokelat," kata Ravi ringan. Dia tahu bahwa Raymond tidak merasa baik sebelumnya dan Ravi berharap cokelat yang dia berikan akan membuatnya lebih baik.
"Untukku?" Raymond melihat dari antara cokelat di tangannya lalu ke Ravi dan kembali lagi pada cokelat.
Ravi mengangguk, tetapi saat tahu Raymond tidak melihatnya, Ravi langsung berkata. "Iya, Raymond."
Ravi memperhatikan rona merah merangkak naik dari leher Raymond menuju pipinya dengan instan, membuat Ravi berdiri gelisah. "Berikan padaku, aku akan membuka bungkusnya untukmu."
Raymond dengan ceroboh langsung memberikannya pada dirinya, Ravi segera membuka cokelat itu dan langsung memberikan pada Raymond yang Ravi sadari Raymond tengah memperhatikannya.
"Ravi juga mau?"
"Tidak, itu untukmu."
Raymond hanya berkedip sekali, matanya semakin cerah ketika tertimpa cahaya sore hari dari jendela. Mata Raymond melihat ke bawah kembali memperhatikan lantai, dia dengan perlahan menggigit ujung cokelatnya dengan ekspresi seolah dia belum pernah memakannya sebelumnya.
Ravi tahu dia tidak memakan cokelat batangan itu sekarang, tetapi dia bisa mencium aroma cokelat yang pekat menguar di hadapannya seolah membungkus Ravi erat dan melayang-layang di udara membuat Ravi mau tak mau harus menghirupnya dalam-dalam karena dia tiba-tiba sangat menyukainya.
"Ravi, coklatnya manis. Seperti Ravi."