Selama beberapa saat Lena masih menangis tapi dia cepat-cepat menghapus air matanya karena satu jam lagi Rika akan datang ke rumah menjemput Lena.
Lena tidak ingin orangtuanya tahu bahwa dia mencintai Evan. Mereka pasti tidak akan menyetujui dia berhubungan dengan Evan, karena Evan cuma pria biasa.
Lena perlahan-lahan beranjak dari tempat tidurnya, dengan langkah gontai dia pun keluar dari kamar.
Pagi itu Lena seperti orang linglung, yang ada dipikirannya cuma Evan seorang. Biasanya dia tidak sampai seperti ini, meskipun putus dengan mantan pun Lena tidak pernah segalau itu.
Lena membasuh wajahnya di wastafel kamar mandi lalu mandi dengan air hangat. Sehabis mandi tubuh dan pikirannya terasa lebih segar serta jernih.
Tidak ada gunanya saya memikirkan Evan seperti ini, lebih baik saya memikirkan yang lain. Sejak ketemu dia kemarin, saya jadi galau begini. Batin Lena.
Lena bergegas keluar dari kamar mandi, kemudian kembali ke kamarnya. Dia duduk sejenak di tempat tidur untuk menenangkan pikiran dan hatinya yang galau.
Tiba-tiba Lena teringat rencananya semalam jika pagi ini hendak pergi ke dokter spesialis tulang untuk memeriksakan memarnya.
Lena pun segera berganti pakaian, menyisir rambutnya, dan berdandan. Dia berharap sebelum ke Orchid Plaza nanti, Rika bisa mengantarkan Lena ke dokter. Lena tidak mau meminta tolong pada Ivana atau papi maminya, karena bagi dia mereka hanya keluarga bayangan saja.
Sebuah keluarga yang selalu tidak ada saat dibutuhkan, sebaliknya selalu ada saat mereka ingin menyudutkan Lena tentang kehidupan pribadinya.
Sepuluh menit kemudian, selesai berdandan dan berganti pakaian, ponsel Lena berdering. Dia pun mengambil hpnya di atas meja dan dibukanya kunci layar ponsel tersebut.
*Len, saya sudah di depan rumah kamu. Kamu cepat keluar, ya.*
*Baiklah. Tunggu sebentar, saya masih di kamar.*
*Saya tunggu.*
Sehabis sms-an dengan Rika, Lena bergegas turun untuk menemui Rika di depan rumah. Ketika melewati ruang tengah, ia terpaksa menyapa sekaligus berpamitan pada keluarganya untuk pergi bersama Rika.
"Good morning, Pa, Ma, Kak."
"Mau pergi ke mana, Len?" tanya Ivana.
"Aku mau ke mall sama Rika. Dia sedang menunggu di depan rumah."
"Kamu gak ajak Rika masuk ke sini? Kenapa dibiarkan menunggu di depan," ujar papinya.
"Gak, Pa," tolak Lena.
"Kamu gak sarapan dulu?" tanya maminya.
"Gak, Ma. Aku sarapan di mall saja. Ya sudah, aku pergi dulu." Lena berpamitan kepada orangtua dan kakaknya." Daag semuanya."
Setelah Lena berpamitan dengan keluarganya, Ivana merasa bahwa ada sesuatu yang disembunyikan adiknya. Dia juga melihat wajah Lena yang nampak sedih walaupun hanya sekilas.
Ivana bertanya-tanya dalam hati, sebenarnya apa yang sedang disembunyikan Lena? Kenapa dari semalam hingga pagi ini sikap dan tingkah laku Lena begitu aneh?
******
Lena berusaha menutupi kesedihan dan kegalauannya dengan senyuman manis di hadapan Rika, namun Rika tahu suasana hati Lena sesungguhnya.
"Hei, Ka. Sorry, kamu nunggu lama." Lena menyapa sahabatnya.
"Gak apa-apa. Saya sedang sms-an sama Albert, kok," balas Rika dari balik kaca mobil MPVnya yang terbuka lebar.
"Oh, begitu. Ka, saya lupa kalau hari ini saya mau ke dokter dulu, bisa tolong antar saya?"
"Ke dokter? Dokter mana? Memangnya kamu sakit apa?" Wajah Rika terlihat cemas mendengar Lena minta diantar pergi ke dokter barusan.
"Dokter tulang ... saya gak sakit cuma habis jatuh di kamar mandi semalam." Lena meringis kesakitan.
"Apanya yang sakit?! Kenapa bisa jatuh? Aduh, kamu membuat saya khawatir saja." Rika benar-benar mencemaskan Lena.
"Cepat masuk ke mobil, saya antar ke dokter," lanjut Rika sambil membukakan pintu mobilnya untuk Lena.
"Terimakasih. Kamu memang sahabat yang paling baik, saya gak tahu mesti cerita sama siapa selain sama kamu," balas Lena yang masih berdiri di luar mobil Rika.
"Ayo cepat masuk, jangan berdiri seperti itu. Nanti kalau dokternya gak praktek, kita ke apotek beli obat buat kamu, lalu kamu ceritakan semuanya di mall, jangan cerita di sini," tandas Rika.
Lena segera masuk ke dalam mobil menuruti ucapan Rika. Saat itu dia merasa jika memarnya sangat nyeri sekali, padahal semalam sudah dikompres oleh Ivana.
Untungnya Rika selalu peduli pada Lena dan mau mendengarkan semua keluh kesahnya. Rika memang sahabat terbaik Lena selain Anna, dia juga lebih nyaman menceritakan seluruh rahasianya kepada Rika daripada dengan Ivana.
Setelah Lena berada di dalam mobil, Rika bergegas mengantarkan Lena ke dokter spesialis tulang di Jalan Kenari. Setengah jam kemudian, mereka sampai di depan tempat praktek dokter tersebut, tapi tempat itu tertutup rapat dan tidak ada orang yang datang sama sekali.
Rika kemudian mencari-cari sesuatu yang menunjukkan kalau tempat praktek itu memang benar tutup. Tak lama, matanya tertuju ke selembar kertas berukuran sedang yang menempel di depan pintu.
"Hari Sabtu & Minggu tutup"
"Len, dokternya gak praktek hari ini. Gimana? Mau langsung ke mall atau ke apotek dulu?" tanya Rika.
"Tutup? Ya sudah ke apotek dulu beli obat, lalu pergi ke mall, ya," jawab Lena sambil memegangi tulang ekornya.
"Iya tutup, sekarang Hari Sabtu, Len. Tulang ekor kamu terasa nyeri sekali?" Rika melihat Lena memegangi tulang ekornya dengan wajah kesakitan.
"Sakit ... padahal semalam sudah dikompres, tapi masih sakit, apa kurang banyak es batunya?" Lena bertanya pada Rika.
"Saya gak tahu. Harusnya, kalau sudah dikompres sakitnya reda, tapi memang harus minum obat supaya sakitnya benar-benar hilang," terang Rika.
"Kamu benar, tapi semalam saya terjatuh begitu kencang waktu mau menyeka badan saya."
"Makanya jangan memikirkan Evan terus. Saya sudah menasihatimu, tapi masih saja memikirkannya, ck, ck, ck." Rika tidak habis pikir Lena sampai jatuh di kamar mandi hanya karena Evan.
"Saya jatuh bukan gara-gara dia, tapi karena kepeleset." Lena mengelak.
"Jangan bohong, nyatanya kamu sudah terjebak sama kebaikan dia dan sekarang jatuh cinta, benar tidak?" tanya Rika.
"Baiklah, saya mengaku kalau saya sudah kejebak sama sikapnya yang manis banget waktu itu. Rasa rindu, cinta, semua rasa jadi satu di hati saya." Akhirnya dia mengakui perasaannya di hadapan Rika.
"Benar kan dugaan saya? Tadi, kamu menangis di telepon, semalam jatuh di kamar mandi, sekarang wajahmu galau dan sedih begitu. Lesu, gak semangat, mana Lena yang saya kenal dulu?!"
"Saya sudah berusaha bersikap ceria di depan kamu, tapi kamu bisa melihat wajah saya yang seperti ini. Kamu memang pintar membaca pikiran saya." Lena tersenyum tawar.
"Karena wajah kamu murung, lagipula kamu sendiri yang bilang kangen sama Evan tadi. Kamu itu mudah terayu cowok dan mudah luluh." Rika menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Hmm ... cinta itu buta. Jujur, perasaan saya ke dia gak bisa dibendung lagi, saya pengen banget mengungkapkannya ke Evan." Lena tidak mampu lagi menahan cintanya kepada Evan, cintanya sudah tidak terbendung lagi.
"No comment, kalau sudah begini, saya cuma bisa bilang hati-hati saja sama perasaanmu terhadap Evan. By the way, saya dan Albert akan pergi ke Lembang minggu depan, kamu ajak Evan ke Lembang bareng kita. Apa dia mau atau tidak pergi ke sana?" usul Rika.
"Nanti di mall saya tanyakan padanya. Sekarang ke apotek dulu, saya gak tahan ... sakit banget, nih," keluh Lena.
Rika tidak bisa melihat Lena menahan sakit seperti itu, dia sungguh mencemaskan keadaan sahabatnya.
Kenapa dia harus mengalamin hal ini? Kenapa hanya karena Evan, kamu jadi seperti ini? Aku tahu kamu kesepian, tapi masih ada aku, Anna, dan seseorang yang memang benar-benar mencintaimu sejak dulu. Rika membatin.
~~~~~
Rika bergegas mengantar Lena ke apotek karena Lena tidak dapat menahan rasa sakitnya. Kurang lebih sepuluh menit kemudian mereka sampai di depan sebuah apotek yang berada di dekat SMU swasta.
"Len, gua beli obat dulu, ya. Lo tunggu di sini."
"Iya, Ka."
Rika segera keluar dari mobilnya lalu masuk ke dalam apotek tersebut dan segera mencari obat pereda nyeri untuk sahabatnya.
Sementara Lena menunggu di dalam mobil sambil menahan rasa nyeri, hatinya juga semakin galau. Dia tidak tahu harus berbuat apa, jika dia tetap memaksakan keinginan untuk mengungkapkan perasaan pada Evan saat itu mungkin saatnya belum tepat.
Bagaimanapun Lena harus menunggu waktu yang tepat sampai minggu depan. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa hatinya bisa selemah ini.
Lena melamun dan terus melamun hingga tidak menyadari kemunculan Rika di dekatnya.
"Len! Hei, lo kok ngelamun gitu, sih?" Rika menegurnya.
"Eh ... elo? Udah dapet obatnya? Gua bayar sekarang, ya," balas Lena.
"Nanti aja di mall lo traktir gua makan, by the way obatnya harus diminum sesudah makan." Rika memberikan bungkusan berisi obat kepada Lena.
"Thanks, Ka. Sorry ngerepotin melulu."
"Gua gak ngerasa direpotin, kok. Lagipula kita kan temen lama, temen dari jaman sekolah dulu." Rika tersenyum kemudian memeluk Lena.
"Lo itu emang ya gak pernah berubah dari dulu. Masih aja baik dan cerewetnya gak ilang-ilang. Kalo gitu kita langsung ke Orchid Plaza aja, ya?" ajak Lena.
"Ayo, gua juga udah lapar, nih," sahut Rika.
"Sama, lapar."
Setelah ngobrol-ngobrol sebentar, Rika kemudian mengemudikan MPVnya dengan lincah menuju Orchid Plaza. Nanti sesudah sampai di sana, Rika berniat mengorek isi hati Lena lebih dalam lagi.
Sebetulnya Rika tidak ingin mencampuri urusan pribadi Lena, tetapi sebagai sahabat ia juga tidak rela jika Lena sampai jatuh dan tertipu lagi oleh rayuan seorang laki-laki yang belum jelas asal-usulnya.
Dulu Lena sudah pernah jatuh ke dalam rayuan Rendy yang juga tidak memiliki asal-usul yang jelas seperti Evan. Tidak ada satu orang pun peduli padanya kecuali Rika Elisabeth, dia sudah dianggap seperti saudara bahkan konselor pribadi untuk Lena.
******
Sekitar dua puluh lima menit kemudian, Rika dan Lena sudah sampai di Orchid Plaza yang berada di Jalan Jupiter. Kawasan Bandung Timur yang selalu ramai, bising dan macet menyebabkan kepala Lena berputar-putar.
Rika dengan cepat memarkirkan MPV hitamnya ke dalam basement mall terbesar se-Kota Bandung itu. Mall yang megah, besar dan sangat ramai.
Sesudah memarkirkan mobilnya di area parkiran B2, Rika dan Lena segera keluar dari mobil. Untungnya saat itu Lena merasa lebih baik, kepalanya juga sudah tidak pusing lagi.
Suasana hati Lena yang sebelumnya galau sekarang berubah menjadi sedikit tenang karena perhatian dari Rika.
"Len, kita ke foodcourt dulu, ya. Nanti habis dari foodcourt gua ajak lo karaokean di tempat biasa gua karaoke sama adik dan temen-temen kuliah gua, mau?"
"Mau banget, gua udah lama gak karaokean. Tempat karaokenya di mana emang?" tanya Lena.
"Di lantai 1 sebelah bioskop, ya gak sebelahan banget, sih. Tapi lo pasti bakal suka karaoke di sana, berjam-jam juga betah." Rika bisa menebak pikiran Lena.
"Masa? Ya udah, kita makan dulu sekarang nanti dari sana lanjut karaoke," pungkas Lena.
"Hayuu, atuh," balas Rika dengan logat bahasa sundanya sambil menggandeng tangan Lena.
"Yuu ...." Lena tersenyum gembira.
Dari basement mereka berjalan menuju lift lalu naik ke lantai 3, di mana terdapat foodcourt, wahana bermain dan toko buku.
Sesampainya di foodcourt, Lena segera mencari tempat duduk yang kosong untuknya dan Rika. Foodcourt itu rupanya penuh sekali hingga mereka hampir tidak mendapatkan tempat untuk makan dan mengobrol.
Sesudah beberapa lama mencari tempat duduk di sana, Lena akhirnya mendapatkan tempat di depan gerai Western Food and Drink.
"Ya ampun, kenapa ya kalo tiap weekend semua mall rame banget. Gak di sini, gak di Lavender City Mall," gerutu Lena.
"Namanya weekend, pasti banyak orang yang ke sini lah. Apalagi makanan di sini enak semua," timpal Rika.
"Iya banyak yang ke sini, biasanya orang-orang dari luar kota yang liburan ke Bandung pada ke mall kalo nggak ya ke Lembang," sahut Lena sambil menarik kursi lalu duduk di atasnya.
"Lo mau makan apa, nih?" lanjut Lena bertanya pada Rika.
"Hmm ... makan steak aja deh gua mah, yang gampang. Minumnya Lemon Squash," jawab Rika.
"Gua pesenin dulu, ya," balas Lena.
"Iya, Len."
Lena beranjak dari kursi lalu memesan makanan dan minuman di Western Food and Drink.
"Mba, saya pesan Beef Steak 2, Lemon Squash 2 sama French Friesnya 1."
"Baik, ditunggu sebentar pesanannya, Bu. Duduknya di mana?"
"Di meja no 9, Mba." Lena menunjuk ke arah meja no 9 tempat ia dan Rika duduk.
Setelah memesan makanan dan minuman, Lena membayar pesanan tersebut lalu kembali ke tempat duduknya semula.
"Lo pesen apa?" tanya Rika.
"Pesen Beef Steak, French Fries sama Lemon Squash." Lena menunjukkan nota pesanannya ke Rika.
"Oh ... gua kira lo pesen Fish and Chips," ujar Rika.
"Gak, kok."
"Gimana? Masih galau, gak?" Rika ingin tahu apa sahabatnya itu masih memikirkan Evan atau tidak.
"Gak terlalu, sih. Buat apa juga mikirin dia terus, gara-gara mikirin dia semalem gua jadi jatoh di kamar mandi," keluh Lena.
"Hah? Jadi lo jatoh di kamar mandi gara-gara mikirin si Evan? Kenapa bisa gitu?" Rika benar-benar tidak habis pikir dengan Lena.
"Sebenernya sejak ketemu dia lagi terus dia bilang lagi pdkt, gua gak bisa bohong kalo hati ini seneng banget dengernya," ungkap Lena sejujur-jujurnya.
"Bener kan gua bilang? Lo u9dah kerayu sama kata-katanya. Nanti sebelum karaokean jangan lupa telepon Evan dulu, gua pengen tau dia mau gak diajak ke Lembang." Rika kesal karena Lena ternyata sudah jatuh ke dalam rayuan Evan.
"Nanti, deh. Sekarang makan dulu, ya. Pesenannya udah dateng, tuh," tunjuk Lena kepada seorang pramusaji yang sedang berjalan menuju mereka.
Pramusaji itu mendekati mereka lalu menaruh tiga buah piring berisi steak dan french fries serta dua gelas minuman di meja.
"Makasih, Mba," ujar Rika dan Lena kepada pramusaji tersebut setelah menyajikan makanan.
"Sama-sama, Bu," balas pramusaji.
"Makan, makan. Breakfast with steak and french fries, sebelum makan kita doa dulu, ya." Rika mengajak Lena berdoa
"Iya, lo aja yang doa," sahut Lena.
Kemudian mereka pun sama-sama mendoakan makanan serta minuman yang tersaji di hadapan mereka.
Selesai berdoa mereka segera menyantap hidangan tersebut sambil membahas rencana liburan minggu depan.
"Rencananya lo di Lembang mau ngapain, Ka? Mau makan-makan doang atau kemana gitu?"
"Belum tau gua juga, tapi yang pasti kita perginya hari Rabu, Len. Rabu itu tanggal merah."
"Oya? Gua gak tau kalo minggu depan ada hari libur, saking sibuknya mikirin kerjaan sama mikirin Evan," balas Lena.
"Lama-lama gua bosen dengernya, Evan lagi, Evan lagi. Kayak gak ada hal lain yang lebih penting buat dipikirin," gerutu Rika.
"Lo sebenernya ngedukung gua sama dia, gak? Gua butuh support, Ka."
"Tapi gua harus tau dulu orangnya seperti apa," terang Rika.
Lena tidak tahu lagi harus bagaimana, sepertinya Rika menghalang-halangi dirinya untuk lebih dekat dengan Evan.
Selesai makan, Lena mencoba menghubungi Evan lagi karena tadi pagi saat ditelepon Evan tidak menjawab panggilannya.
Tuut .... tuut .... tuut ... tuut ... klik.
"Van, kamu lagi sibuk?" tanya Lena.
"Halo, aku lagi nyantai di rumah, Len. Ada apa kok tiba-tiba telepon?"
"Rabu depan kamu ada acara, gak? Aku ... hmm, aku mau ajak kamu jalan-jalan ke Lembang," jawab Lena sedikit ragu.
"Berdua aja? Aku sih belum ada acara hari itu, memangnya kamu gak kerja?" tanya Evan bingung.
"Rabu depan tanggal merah, Evan. Kebetulan temenku ngajak kita ke Lembang, mau ikut gak?"
"Oh, kirain cuma berdua. He, he, he ...."
"Berempat, ya. Ngomong-ngomong ada sesuatu yang mau aku tanyain ke kamu," balas Lena.
"Oke deh kalo gitu aku ikut, aku juga mau ngomong sama kamu," sahut Evan.
"Ya udah, nanti dua hari sebelumnya aku telepon kamu lagi," tambah Lena.
"Iya, Len. Aku tunggu, oya soal omongan David waktu di rumah makan kemaren jangan ditanggapin, ya."
"Omongan yang mana? Emang dia bilang apa kemaren?"
"David bilang kamu manis, tapi jangan digubris lah. Dia memang gitu orangnya, suka gombal ke mana-mana," jelas Evan mengenai temannya yang bernama David.
"Aku juga udah lupa sama omongannya. Van, teleponnya udah dulu ya, see you next week."
"See you too, bye."
Klik. Lena cepat-cepat mengakhiri pembicaraannya dengan Evan di telepon, ia takut hatinya bertambah galau jika berbicara terlalu lama dengannya.
Lena berpikir kalau tadi semua ucapan Evan menjurus kepada suatu hal yang akan menyebabkan dirinya semakin geer alias gede rasa.
"Gimana, Len? Evan mau diajak jalan-jalan ke Lembang sama lo?" tanya Rika penasaran.
"Mau banget, barusan dia juga bikin gua tambah geer sekaligus galau," terang Lena.
"Hati-hati lho sama dia, soalnya waktu gua baru jalan sama Albert aja dia gak pernah ngomong yang aneh-aneh atau ngerayu segala." Rika memperingatkan Lena.
"Tau ah gua juga bingung sama dia, daripada ngomongin Evan terus mending kita karaokean," ajak Lena.
"Nah gitu dong, ini baru Lena yang gua kenal. Lena yang semangat dan ceria." Rika menepuk-nepuk bahu Lena dan tersenyum.
"Bentar, gua mau minum obat dulu," sahut Lena.
Lena membuka tasnya lalu mengambil obat yang tadi dibelikan Rika untuknya. Ia meminum obat tersebut agar rasa nyeri di tulang ekornya cepat mereda.
Pokoknya hari Sabtu ini Lena hanya ingin menghibur dirinya sendiri bersama Rika, bersenang-senang serta melupakan Evan untuk sementara waktu.
******