Akhirnya Lena bisa ngobrol dan bercerita dengan santai juga lebih leluasa pada Evan hari ini, sikap Evan lebih manis dibanding waktu di mall kemarin. Lena sempat berharap suatu hari nanti dia berjodoh dengan laki-laki yang ada di depannya itu.
Kemudian Lena tersadar bahwa dia sudah berpikir terlalu jauh dan berharap terlalu banyak dengan Evan Adrian.
Mikir apa lo, Len? Jangan ge-er deh, belom tentu Evan suka sama lo. Mungkin kali ini mood dia lagi bagus makanya sikap Evan lebih manis sama lo, jangan terlalu berharap bisa berjodoh sama dia.
Kenyataannya, Lena sudah terlanjur merasa nyaman saat makan malam bersama Evan. Dia tidak dapat berhenti memikirkan hubungannya dengan Evan nanti. Lena ingin sesuatu yang lebih dari pertemuan ini.
Di luar hujan sudah benar-benar reda, saatnya dia harus pulang karena sudah hampir jam setengah delapan malam. Ketika mereka siap-siap pulang, tiba-tiba seorang laki-laki dan teman perempuannya menghampiri Evan lalu menyapanya.
"Hai, Van. Apa kabar? Dia siapa? Cewek kamu, ya?"
"Hai, kabar gua baik, Vid. Kenalin nih namanya Lena, dia temen gua kok bukan cewek gua."
Evan kemudian memperkenalkan temannya itu pada Lena.
"Halo, kenalin nama saya David. Temen kuliah Evan, salam kenal ya," sapa David ramah lalu dia juga memperkenalkan temannya pada Lena juga Evan.
"Halo juga, David dan Priskilla. Salam kenal," balas Lena ramah.
"Temen lo manis ya, Van. Kapan nih jadiannya? Kalo udah jadian kasihtau gua ya, gua tunggu traktirannya," ujar David blak-blakan pada Evan sambil menggodanya.
"Gampang itu, sih. Doain aja biar kita cepet jadian ya. Gua lagi pendekatan sama Lena," ungkap Evan jujur dan membuat Lena terkejut dengan pernyataannya barusan.
"Oke, gua doain. Semoga kalian cocok dan cepet jadian terus married deh, lo kan udah kelamaan ngejomblo," jelas David sangat berterus terang.
"Apaan sih, lo. Pake buka rahasia gua segala di sini, but thank you buat doanya," bisik Evan, dia terlihat salah tingkah dengan kata-kata David.
Lena tidak tahu harus bagaimana, dia hanya menyimak percakapan Evan dan David. Begitu pula dengan teman perempuan David yang diam saja sejak berkenalan tadi.
Sehabis berkenalan dan ngobrol sebentar dengan temannya, Evan mengajak Lena pulang.
"Len, ayo balik. Udah jam delapan kurang seperempat nih."
"Kalian mau balik, ya? Ya udah gua sama Priskilla balik juga deh, tadinya masih mau ngobrol sama lo. Ok, see you, Van," timpal David.
"See you too, Vid," balas Evan.
Kemudian David dan temannya beranjak pulang meninggalkan Evan serta Lena di rumah makan itu.
"Van, makasih udah ngajakin aku makan di sini," ujar Lena sebelum pulang.
"Sama-sama, Len. Kita pulang, ya."
"Iya."
Lena dan Evan bergegas pulang sesudah membayar makanan dan minuman yang dipesan mereka ke kasir.
Saat akan keluar ke tempat parkir, Lena melihat jas hujan dan helm Evan yang terletak di kursi dekat pintu masuk rumah makan.
"Van, itu jas hujan sama helm kamu ketinggalan."
"Oh iya, ampir aja kelupaan jas hujan sama helmnya," sahut Evan.
Evan pun mengambil helm dan jas hujannya dari kursi lalu mereka pergi dari rumah makan itu tersebut lalu mengantarkan Lena ke rumahnya.
Suasana malam di Kota Bandung saat itu sangat ramai. Lena berharap Evan akan membawanya pergi ke suatu tempat yang romantis untuk kencan, karena dia tidak ingin pulang ke rumahnya malam ini.
Lima belas menit kemudian, sampailah mereka di depan rumah Lena. Dia pun turun dari motor Evan, sebelum masuk ke dalam rumah Lena mengucapkan terimakasih pada Evan.
"Van, makasih banyak buat hari ini. Kamu udah mau jemput, ngajakin makan malem sama nganterin aku pulang ke rumah."
"Aku juga makasih kamu udah nemenin aku makan malem di tempat favoritku," balas Evan dengan senyuman termanisnya, membuat Lena merasa teduh.
"Iya, aku seneng bisa makan bareng sama kamu malem ini. Kapan-kapan kita makan di sana lagi, ya?" Lena berharap dapat makan berdua lagi dengan Evan.
"Oke, kapan-kapan kita ke sana lagi. Aku pulang, ya. Bye," sahut Evan.
"Bye juga," Lena tersenyum lebar dan melambaikan tangannya.
Sesudah berpamitan dengan Lena, Evan pulang ke rumahnya. Dia tidak menunggu Lena untuk masuk dulu ke rumahnya.
Lena segera mengambil kunci rumah dari dalam tasnya dan membuka pintu depan dengan perlahan, dia tidak mau sampai keluarganya tahu bahwa Lena pulang ke rumah diantar Evan.
Sebenarnya Lena belum ijin pada kedua orangtuanya kalau hari ini akan pulang terlambat, karena dia berpikir Evan hanya menjemput Lena dan tidak berencana untuk makan malam.
Pintu rumahnya pun terbuka, dia melihat lampu di ruang tamu dan ruang keluarga masih menyala juga terdengar suara tv dari dalam ruang keluarga.
Lena lalu masuk, menutup dan mengunci pintu di belakangnya. Dia cepat-cepat berjalan ke ruang keluarga. Ternyata keluarganya sedang berkumpul bersama di ruang tersebut.
Dengan ragu-ragu Lena terpaksa menyapa orangtuanya di ruang keluarga.
"Hai, Pa, Ma, maaf aku baru pulang jam segini."
"Len, tumben baru pulang? Habis dari mana? Kenapa pulangnya malem banget?" tanya Eric, papa Lena.
"Iya tadi aku abis lembur di kantor, Pa."
"Pulang naik apa ke sini? Motornya kok ditinggal di rumah?" Giliran Ivana bertanya.
"Pulang naik angkot, motornya emang sengaja ditinggal di sini. Aku lagi males bawa motor ke kantor," jawabnya berbohong.
"Kamu udah makan belum? Mama masak ayam katsu banyak, lho," terang mami Lena.
"Maaf, Ma. Tadi aku udah makan di luar sama Rika, makan deket kantor."
"Ya udah, gak apa-apa. Tapi nanti lagi kalo mau pulang malem dan makan di luar kasihtau Mama atau Papa, ya," balas Yeni, mama Lena.
"Iya, Ma. Aku tadi dadakan lemburnya jadi lupa ngasitau Mama sama Papa."
"Kamu mandi dulu, gih. Mukanya lusuh gitu, rambut kamu juga acak-acakan," timpal Ivana.
"Masa, sih? Oke aku mandi dulu, daag semuanya," sahut Lena sambil buru-buru naik ke lantai 2.
"Ih, anak itu kebiasaan banget ngomong sambil pergi," gerutu Ivana.
"Biarin aja, mungkin Lena kecapean habis lembur," pungkas papa Lena.
Lena tidak habis pikir mengapa hari ini semua orang bersikap manis dan perhatian padanya, baik Evan juga kakak serta orangtua Lena.
Namun Lena sangat bahagia karena akhirnya dia bisa berteman dengan Evan, dia adalah teman yang nyaman untuk Lena.
*****
Lena membuka pintu dan bergegas masuk ke dalam kamarnya sesudah mengunci pintu depan. Saat itu sudah pukul 21.25 wib, suasana rumah Lena begitu sepi.
Di dalam kamar, Lena mengganti pakaiannya dengan baju tidur kemudian pergi ke kamar mandi utama di lantai 1, dekat kamar Ivana dan dapur.
Di kamar mandi, Lena terbayang-bayang akan wajah Evan pada waktu makan malam kemarin dengannya. Sebenarnya dia mau membasuh wajah juga tubuhnya sebelum tidur namun dia malah memikirkan laki-laki itu.
Lena mengambil shower dan membuka keran di bawahnya kemudian membasuh wajah serta tubuhnya dengan air hangat.
Van, aku mencintaimu. Kapan aku bisa bertemu denganmu lagi?
Apa aku harus mengatakan padamu kalau aku benar-benar suka dan cinta sama kamu?
Lena membayangkan Evan sambil tangannya masih memegang shower. Ketika hendak mengambil handuk, tanpa sengaja handuknya jatuh dan terinjak oleh Lena, lalu dia pun terpeleset sampai jatuh.
Bukkkk!
Lena benar-benar sedang jatuh cinta pada Evan, sampai-sampai terpeleset di kamar mandi, showernya pun terlempar ke lantai.
Seluruh tubuh Lena basah kuyup terkena semprotan air, dia merasa tulang ekornya sangat nyeri.
Setelah terpeleset dan jatuh di kamar mandi, Lena tiba-tiba tersadar dari lamunannya.
Lho?? Kenapa gua bisa sampai jatuh? Awww!! ... tulang ekor gua sakit banget, badan gua juga basah kuyup gini.
Lena berusaha untuk berdiri sambil berpegangan pada handle pintu. Setelah berhasil berdiri, dia melihat handuk dan showernya tergeletak di lantai.
Kemudian dengan perlahan sambil menahan sakit, Lena mengambil handuknya, menutup keran dan mengembalikan shower ke tempat semula.
Lena membuka pintu kamar mandi dan keluar dari sana, kemudian dimasukkannya handuk yang basah itu ke dalam mesin cuci.
Ketika berjalan menuju kamarnya, tiba-tiba Lena mendengar ada suara yang memanggilnya dari dapur. Lena menolehkan kepalanya ke suara tersebut dan terkejut, ternyata dia Ivana!
"Ka--Kakak?! Kamu lagi ngapain di sana? Ngagetin aku aja."
"Aku tadi habis ambil minum di dapur terus kayak denger ada suara yang jatuh gitu dari kamar mandi, kirain hantu taunya bukan," balas Ivana.
"Hantu? Kakak yang hantu kali, aku kaget banget barusan. Lagian malam-malam gini maskeran, warna hijau lagi maskernya. Nyeremin ih."
"Mana ada masker wajah bermerek warnanya pink, ada-ada aja. Kamu kok pulangnya malam banget? Habis kencan sama Evan, ya?" tanya kakaknya menyelidik.
"Aku gak kencan sama Evan tuh, tapi sama Rika di Dago," jawab Lena sambil melengos pergi.
"Len, tunggu!"
"Ada apa lagi, sih?" tanya Lena kesal.
"Sini, aku kompres tulang ekor kamu. Pasti sakit banget, kan?" Ivana balik bertanya, dalam hati ia tidak tega melihat adiknya kesakitan.
"Kenapa bisa jatuh di kamar mandi tadi? Pasti lagi ngelamunin dia, ya? Ck, ck, ck, yang lagi jatuh cinta sampe jatuh segala." Ivana menebak hati dan pikiran Lena.
"Gak tuh, siapa juga yang lagi ngelamunin Evan?" Lena mengelak, padahal memang benar ia sedang membayangkan da jatuh cinta pada laki-laki itu.
Ivana kemudian menghampiri Lena yang berdiri di dekat tangga, dia menuntun adiknya pelan-pelan masuk ke kamar Ivana.
Di kamarnya, Ivana mengambil baju tidur serta handuk dari lemari lalu diberikannya handuk itu pada Lena.
"Ini dipake dulu, Len. Ganti bajunya yang basah sama ini."
"Makasih, Kak."
"Iya, Len. Lain kali jangan ngelamun di kamar mandi lagi, ya."
Lena mengangguk lesu, dia masih kaget dengan kejadian di kamar mandi tadi, pikirannya pun kacau.
Lena segera membuka bajunya yang basah, dia mengelap seluruh tubuhnya dengan handuk sampai kering kemudian mengenakan baju tidur yang dipinjamkan Ivana.
Baju sama handuknya yang basah masukin ke dalem situ, ya. Besok pagi aku cuci," Ivana menunjuk ke keranjang yang berisi baju-baju kotor.
"Iya."
Setelah mengganti pakaiannya, Lena berjalan perlahan ke arah keranjang baju kotor dibelakang pintu kamar Ivana lalu dimasukkannya handuk serta baju yang basah ke dalam keranjang itu.
"Tunggu bentar, aku mau ngambil kotak es dulu," ujar Ivana. "Kamu tiduran aja tapi telungkup, ya."
Saat kakaknya keluar untuk mengambil es batu, dia membaringkan tubuhnya di atas kasur. Lena pun melamun lagi.
Evan, kamu sedang apa? Kenapa hari ini tidak meneleponku? Aku merindukanmu, apa aku sudah jatuh cinta sama kamu?
Kamu tahu? Aku tidak betah tinggal di sini, orangtuaku tidak peduli kepadaku. Kakakku memang baik tapi dia tidak sebaik dirimu, sepertinya cuma kamu yang baik dan peduli denganku.
Sebetulnya Lena sudah mencintai Evan sejak dinner kemarin, namun dia menyembunyikan perasaannya pada Rika. Dia bilang hanya memiliki sedikit rasa, tapi Lena merasakan ada getar-getar asmara untuk Evan.
Sikap Evan yang lembut, manis dan perhatian membuat Lena langsung jatuh hati padanya, dia tidak peduli jika Evan aneh, unik, kaku, cuek dan agak aneh atau misterius seperti yang diucapkan Rika di kafe tadi.
Padahal mereka baru bertemu sebanyak dua kali, tapi dia sudah merasakan jatuh cinta seperti ini. Apakah ini suatu hal yang konyol? Benarkah dia memang jatuh cinta pada Evan atau hanya sekadar ingin segera mengisi kekosongan di hatinya?
*****
Lena tidak dapat menghilangkan Evan dari pikirannya. Entah mengapa dia ingin sekali bertemu dengan laki-laki itu lagi, sebuah rasa, cinta dan rindu menjadi satu di dalam hatinya.
Beberapa menit kemudian Ivana masuk ke dalam kamar sambil membawa sekotak es batu dan sehelai kain di tangannya. Dia menyimpan kotak itu di meja dan mengeluarkan beberapa buah es batu dari kotak.
Ivana membungkus es itu dengan kain kemudian dia mendekati Lena yang sedang melamun di tempat tidurnya.
Melihat Lena keadaan Lena seperti itu, Ivana hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela nafas dalam-dalam. Sebetulnya dia menyayangi Lena tapi Ivana merasa ada jarak di antara mereka.
"Len, kamu telungkup, ya. Aku mau kompres tulang ekormu yang memar. Besok senin gak usah masuk kerja dulu kalau memarnya belum sembuh."
Lena tidak menggubris ucapan Ivana, dia masih saja terus melamun seperti orang linglung. Ivana pun menepuk bahu Lena untuk menyadarkannya dari lamunan.
"Lena, kenapa bengong terus dari tadi? Mau dikompres gak memarnya itu?"
Tiba-tiba Lena tersadar dari lamunannya, dia menoleh pada Ivana yang sedang memegang bungkusan es batu.
"Kamu ngomong apa barusan? Aku gak denger, maaf," balas Lena.
"Aku mau ngompres, kamu telungkup dulu," sahut Ivana.
Lena menuruti ucapan kakaknya, ia pun membalikkan tubuhnya dengan perlahan meskipun harus menahan sakit di bagian tulang ekornya.
"Kamu tuh kenapa sampe jatuh di kamar mandi tadi?" tanya Ivana heran.
"Kepeleset, Kak. Aku gak sadar kalau keran shower belum ditutup terus langsung ngambil handuk, handuknya jatuh keinjak sama aku."
"Makanya jangan kebanyakan bengong kalau lagi di kamar mandi. Ngelamunin apa, sih?" Ivana penasaran.
"Gak ngelamunin apa-apa, kok. Aku cuma lagi gak fokus dan agak ngantuk tadi, makanya jatuh." Lena tidak ingin Ivana tahu bahwa ia sedang memikirkan Evan saat di kamar mandi tadi.
"Serius? Gak lagi mikirin Evan, kan?" selidik Ivana.
"Enggak, tuh. Lagipula baru dua kali ketemu dia, ngapain juga mikirin orang itu." Lena keceplosan di depan Ivana, tanpa sadar ia mengatakan jika dirinya sudah dua kali bertemu Evan.
"Hah? Dua kali? Bukannya baru sekali ketemunya?" selidik Ivana lagi sambil mengompres memar di bagian tulang ekor Lena.
"I--iya, maksudnya baru sekali bukan dua kali." Lena cepat-cepat meralat ucapannya barusan.
Meski Lena sudah meralat perkataannya tentang pertemuannya dengan Evan barusan, Ivana tetap curiga pada Lena. Ia berpikir kalau Lena merahasiakan sesuatu mengenai Evan.
Gua gak habis pikir kenapa Lena kayak gini, gak biasanya dia ngelamun dan ngelamun melulu. Pake jatuh di kamar mandi lagi, aneh.
"Gimana rasanya habis dikompres? Mendingan, gak?" Ivana mengompres Lena dengan lembut dan penuh perhatian.
"Lumayan, sih. Udah gak terlalu sakit, tapi aku tetep harus ke dokter besok pagi atau beli obat untuk memarku ini," balas Lena.
"Besok kan hari Sabtu, kayaknya dokter spesialis tulang libur, deh. Senin aja pergi ke dokternya, besok biar aku yang beliin obat untuk kamu." Ivana ingin sekali menolong adiknya.
"Gak usah, aku bisa beli sendiri. Makasih buat perhatiannya, Kak."
"Iya, adikku sayang. Malem ini kamu tidur sama aku, ya."
"Lho, kenapa kamu minta aku tidur di sini? Kamarku kan di atas? Tumben." Lena tidak percaya Ivana mengajaknya tidur bersama di kamar itu.
"Kamu itu baru jatuh dan memar, makanya tidur di sini aja dulu. Jangan naik-naik ke lantai dua kalau masih sakit tulang ekornya." Ivana mencemaskan keadaan Lena.
"Aku udah mendingan, kok." Lena tidak mau berlama-lama berada di dalam kamar bersama Ivana, ia ingin menghindar secepatnya.
"Kalo kamu gak mau tidur di sini, ya sudah aku gak maksa. Terserah kamu!" Hati Ivana terluka karena Lena selalu saja menghindar darinya jika sedang ada masalah, sedih atau galau.
"Oke, aku tidur di sini sekarang! Sorry Kak, aku ngantuk, aku tidur dulu, ya."
Lena segera membalikkan tubuhnya ke posisi telentang, tapi ia memalingkan wajahnya ke dinding karena tidak berani menatap Ivana.
Lena menghapus air matanya yang keluar begitu saja karena menahan sakit dan rindu. Hati Lena lebih sakit daripada memarnya itu, dia menahan rindu yang sangat untuk Evan.
Salahkah perasaannya itu? Lena sendiri bingung mengapa dirinya bisa seperti ini. Sementara Ivana tidak dapat berbuat apapun untuk Lena, semakin di dekati Lena semakin menjauh dan menutup diri dari Ivana.
Ivana berharap jika suatu saat nanti hubungannya dengan Lena bisa lebih dekat dan tidak ada lagi jarak di antara kedua kakak beradik tersebut.
🌸🌸🌸
Pagi ini Lena bangun siang karena selain kantornya libur, tulang ekornya yang memar pun masih terasa sedikit nyeri, namun dia tidak peduli.
Lena berniat menelepon Evan dan mengajaknya bertemu lagi karena begitu rindu kepada laki-laki itu.
Lena keluar dari kamar Ivana dan berjalan perlahan melewati kedua orangtuanya juga kakaknya yang sedang asyik menonton Drama Korea di ruang keluarga.
Lena iri terhadap Ivana karena orangtua mereka lebih sayang dan perhatian kepada kakaknya, sedangkan dia merasa tidak dipedulikan sama sekali oleh mereka.
Akhirnya Lena berhasil naik ke lantai dua menuju kamarnya sendiri walau harus menahan sakit dan berjalan pelan-pelan. Di kamar, Lena duduk di tempat tidur lalu menelepon Evan.
Tuut ... tuut ... tuut ....
Sesaat kemudian, teleponnya masih tidak dijawab Evan. Lena pun memutuskan untuk tidak menghubunginya lagi, kemudian Lena menelepon Rika.
Tuut ... tuut ... tuut ... klik.
"Halo ...." Suara Rika terdengar berat seperti baru bangun tidur.
"Halo, Ka. Maaf ganggu."
"Iya ... ada apa?"
"Kamu baru bangun tidur, ya? Suaramu terdengar berat, ha, ha," balas Lena.
"Iya, nih. Apa yang mau kamu bicarakan dengan saya?" tanya Rika.
"Ka, sata mau membicarakan Evan sama kamu. Apa sata bisa ketemu kamu?"
"Bisa, mau ketemu di mana?" tanya Rika lirih.
"Kamu jemput ke rumah saya saa. Nanti kita ngobrol di Orchid Plaza sekalian sarapan, gimana?"
"Oke, jam 10 saya rumah kamu, Len."
"Saya tunggu."
"Siap, Bu. By the way, kamu kenapa? Suaramu kedengarannya seperti mau menangis."
Tiba-tiba Lena menangis sekencang-kencangnya di telepon hingga Rika terkejut mendengarnya.
"Eh?! Ada apa, Len? Kenapa tiba-tiba menangis?"
"Saya kangen sama dia, tapi saya gak bisa mengungkapkan perasaan saya ke Evan." Lena berusaha mengendalikan tangisannya.
"Ya ampun ... saya kira ada apa, ternyata kamu kangen sama Evan. Sudah, jangan menangis lagi, nanti di mall ceritakan semuanya ke saya, ok."
"Iya. Saya siap-siap dulu, Ka. See you."
See you too."
Klik ... Lena menutup teleponnya dengan Rika.
Setelah telepon, Lena bergegas mandi di kamar mandi atas. Dia menyimpan semua perasaannya sendiri dan tidak ingin memberitahukan kepada siapapun kecuali kepada Rika, her best friend.
Lena menangis tersedu-sedu di kamar mandi, dia tidak mengerti kenapa seperti ini. Apa kelebihan Evan sampai dia sangat merindukan laki-laki tersebut?
Van, kenapa saya sangat merindukanmu? Batin Lena.
Sepertinya Lena sudah mulai terjebak dengan sikap Evan yang manis, baik, dan penuh perhatian ketika malam makan di restoran vegetarian dua hari yang lalu.
Evan sudah memenuhi hati dan pikirannya hingga Lena tidak dapat berpikir jernih, meskipun sebelumnya sudah diperingatkan Rika untuk tidak mudah percaya dengan sikap serta ucapan Evan waktu itu.
Van, Naneun Bogoshipeo ( I miss you ).
*****