Chereads / Akhir Cinta Avissa / Chapter 4 - Pengorbanan Seorang Ayah

Chapter 4 - Pengorbanan Seorang Ayah

Malam itu, Pak Naryo merebahkan tubuhnya di atas dipan reot di kamar yang hanya berukuran 3 * 4 m. Matanya menatap langit-langit kamar yang dulu berwarna putih, sekarang sudah tak terlihat lagi warna aslinya karena tertutup debu dan badang. Matanya susah terpejam.

Laki-laki 45 tahun itu terus berpikir. Bagaimana caranya dia bisa membahagiakan anak semata wayangnya? Bagaimana bisa ia menuruti keinginan terdalam Sang Putri kalau pekerjaannya hanya sebagai seorang tukang kebun. Hati pak Naryo rasanya seperti diiris-iris ketika dia mendapati anaknya selalu pulang dalam keadaan menangis. Hati orang tua mana yang tidak berontak melihat keadaan anaknya seperti itu.

Malam itu, sudah 1 minggu sejak kejadian Avissa pulang dengan rambut acak-acakan. Selama itu pula, avissa tidak mau pergi ke sekolah dan hanya mengurung diri di kamar. Dia mengatakan kepada ayahnya, bahwa dia tidak akan pergi ke sekolah kalau keadaannya masih sama. Dia tidak mau pergi ke sekolah kalau dia masih menjadi avissa yang dekil dan miskin.

Lelaki Tegar itu, akhirnya meneteskan air mata. Dia terus berpikir bagaimana cara agar anaknya bisa hidup normal seperti anak-anak lain. Disaat kalut, tiba-tiba pak Naryo ingat tentang anak majikannya yang terkena kanker darah.

Siang tadi dia mendengar, kalau anak tuan Azhari collapse lagi. Semangat hidupnya sangat tinggi. Namun, dokter memperkirakan kalau hidupnya tidak akan lama lagi kalau dia tidak mendapatkan donor ginjal. selama ini mereka sudah mencari pendonor ginjal itu, tetapi belum juga mendapatkannya.

Mengingat itu, pak Naryo langsung duduk. Matanya terbelalak lebar. Dia seakan mendapatkan pencerahan. Ya, mungkin, ini bisa jadi jalan. Siapa tau dia bisa mendonorkan ginjalnya untuk anak Tuan Azhari. Malam itu Pak Naryo tersenyum, lalu segera mengambil handphonenya yang ada di atas meja dengan cepat.

Dia mencari nomor kontak seseorang, setelah ketemu yang dicari, Dia segera menyentuh call. Baru beberapa detik langsung diangkat.

"Tuan, Saya ingin bicara."

***

Pagi itu, pak Naryo membuka kamar Avissa. Mata Gadis itu masih terpejam sambil memeluk boneka yang sudah kumal. Entah terpejam karena memang sudah tidur, atau karena dia memang enggan membuka matanya.

Sudah 1 minggu Avissa mendekam di kamar ini. Dia hanya keluar kalau ingin ke kamar mandi, dan kalau perutnya sudah terasa sangat lapar. Kedua bantalnya sudah karena terkena air mata terus menerus. Dia tidak mau berbicara kepada ayahnya. Yang dia inginkan, hanya kehidupan yang lebih baik, dan dia tidak mau tahu bagaimanapun caranya.

Mata pak Naryo kembali mamerah. Setiap melihat Avissa, lelaki itu merasakan sesak yang luar biasa di dadanya. dia merasa gagal menjadi orang tua karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk anaknya.

Pak Naryo melangkahkan kakinya pelan mendekati Avissa. Lalu dia duduk di tepi tempat tidur, dan mengelus rambut putrinya lembut.

"Vissa, doakan ayah. Doakan Ayah semoga ayah bisa berhasil dan bisa memberikan Apapun yang kamu mau. Doakan hari ini ayah bisa berkumpul lagi dengan kamu dalam keadaan sehat dan bisa membawa pulang banyak uang seperti apa yang kamu inginkan. Ayah menyayangimu lebih dari apapun. Bahkan nyawa Ayah sendiri."

Pak Naryo kali ini tidak bisa menahan air matanya. Pertahanannya runtuh. Butir bening itu terjun bebas ke pipinya. Dia segera menghapus air matanya. Pak Naryo tidak mau Avissa  sampai melihat air mata Satu tetes saja keluar dari matanya.

Laki-laki yang saat itu susah berpakaian rapi itu, segera menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan pelan. Lalu, dia mengecup kening Sang Putri selama beberapa detik sambil memejamkan mata. Sambil berharap, bahwa dia bisa kembali mengecup kening putrinya dengan keadaan yang sudah berubah.

Setelah itu, pak Naryo pelan-pelan melangkahkan kakinya  keluar dari kamar Avissa. Avissa yang saat itu pura-pura tidur, meneteskan air matanya ketika mendengar langkah kaki ayahnya sudah menjauh.

Saat itu hatinya terasa tidak tenang. Sejak ayahnya berbicara saat itu, pikirannya sudah kemana-mana. Dia sudah bertanya-tanya apa sebenarnya yang akan dilakukan oleh sang ayah. Namun, Avissa memilih untuk pura-pura tidur, karena dia pasti tidak akan kuat menatap ayahnya saat itu.

Semakin dia memikirkan ayahnya, Avissa semakin khawatir. Akhirnya dia segera melompat dari tempat tidurnya, mengambil ciet kepala, dan berjalan mengendap-endap keluar kamar, takut kalau Ayahnya masih berada di rumah. Setelah celingak-celinguk dan tidak mendapati ayahnya, Dia segera keluar rumah berharap masih bisa mengikuti jejak ayahnya dan mengikuti kemana ayahnya pergi.

Avissa segera berlari sekencang mungkin keluar gang, berharap masih bisa mendapati ayahnya. Benar saja, Avissa masih mendapati ayahnya yang menghentikan angkot. Saat itu kebetulan ada tukang ojek yang mangkal, Avissa segera meminta tukang ojek itu mengikuti angkot berwarna biru muda yang dinaiki oleh ayahnya.

Setelah kira-kira 20 menit, angkot itu berhenti di depan rumah sakit, dan ayah Avissa pun turun.

"Bang, berhenti bang," ucap Avissa sambil menepuk-nepuk punggung tukang ojek itu. Matanya tetap mengikuti pada sang ayah yang jalan perlahan-lahan menuju ke bangunan rumah sakit swasta yang mewah dan besar itu.

Tukang ojek itu menghentikan motornya, lalu aku bisa segera turun dan segera bersiap untuk mengikuti ayahnya.

"Eh neng, belum bayar!" Teriak Abang ojek berambut keriting dan gondrong itu.

Avissa tersadar bahwa dia tidak memiliki uang. Dia hanya menunduk dan menggigit jarinya. Bingung harus berbuat apa. Lalu dia menatap Abang ojek dengan muka memelasnya.

"Bang, maaf aku lupa nggak bawa uang. Aku bayar pakai doa aja ya, semoga abang sehat selalu dan dilimpahkan rezeki yang banyak hari ini. Maaf bang, aku harus berburu menyusul Ayah. Tolong iklasin ya bang," ucap avisa sambil menelungkupkan kedua tangannya di depan dada.

"Nggak ada. Enak aja bayar pakai doa. Sini bayar," ucap Abang ojek sambil mengulurkan tangannya.

"Bang, beneran nggak ada. Ini kepepet banget. Tolong bang, nanti kalau aku sudah sukses aku akan membayar ini 10 kali lipat bang. Terima kasih ya bang, aku pergi dulu," ucap Avissa masih dalam keadaan menunduk, lalu dia segera berlari menuju ke dalam rumah sakit menyusul ayahnya. Dia tidak mempedulikan tukang ojek yang terus teriak merutuki dirinya. Fikirannya sudah kacau ketika melihat ayahnya memasuki rumah sakit. Fikiran buruk menguasai dirinya.

Sedangkan tukang ojek yang kurang beruntung itu, memandang Avissa yang perlahan menjauh dengan perasaan kesal.

"Ah, emang nasib. Udahlah, di aamiinin saja doanya. Daripada nggak dapat apa-apa. Dikejar pun juga percuma kalau dia nggak punya uang," ucap tukang ojek itu kesal, lalu dia segera putar balik motornya menuju ke tempat mangkal dengan hati gondok.