Rani tidak mau misinya terendus oleh siapapun. Termasuk si murid baru yang kepo itu. Dia mendengus kesal, lalu bangkit dan segera mengajar alul.
"Sapu! Tunggu!" Teriak Rani sambil berlari kencang. Alul langsung berhenti dan menoleh.
"Hei, hati-hati Jangan lari!" teriak Alul yang sepertinya hawatir melihat Rani berlari kencang mengejarnya.
"Namanya juga mengejar, ya pasti lari lah," ucap Rani dengan nafas tersengal.
"Kali ini aja, jangan suka lari-lari lagi. Tubuh kamu sudah kerempeng, kurus kering kerontang. Nanti kamu tumbang kalau suka lari-lari."
Memang sih, Rani memang tidak boleh melakukan hal yang terlalu berat. Karena kondisinya yang hanya hidup dengan satu ginjal. Ya, dia memang hidup dengan satu ginjal. Soal kenapa dan bagaimana bisa, nanti akan aku ceritakan secara gamblang. Namun,yang menjadi tanda tanya besar saat ini, siapa sebenarnya Alul? Seolah dia tahu banyak hal tentang Rani
"Sapu! Jangan bocorkan ini ke siapapun!" ucap Rani to the point. Malu tidak malu Rani harus mengatakan ini kepada alul. dia harus mengesampingkan gengsinya sejenak. Sebenarnya dia bukannya takut, tapi misinya baru saja dimulai. Dia tidak mau gagal sebelum berperang.
"Kamu panggil aku apa?" Alul melebarkan matanya mendengar nama panggilan yang disematkan padanya.
"Sapu."
"Siapa sapu?"
"Nama lengkapmu siapa?"
"Alul Saputra?"
"Alul siapa?"
"Alul Saputra."
"Ada Sapu nya apa enggak?"
"Iya sih, ada."
"Nah, terus salahku di mana?"
"Nggak begitu juga konsepnya markonah. Kalau ada panggilan yang lebih bagus Kenapa harus pakai panggilan sapu."
"Kenapa sih kamu malah membahas yang gak penting. Aku bilang, jangan bocorkan ini ke siapapun."
"Apa sih, Nini. Nggak jelas banget."
"Kamu manggil aku apa?"
"Nini."
"Jangan ngawur. Jangan ngubah nama orang seenaknya."
"Nama kamu siapa?"
"Rani."
"Ada Ni nya apa enggak?"
"Ya Ada."
"Terus salahku di mana? Biasa kan orang namanya Marischa dipanggil Caca. Jonatahan di panggil Jojo. Rani boleh kan di panggil Nini? Nini towok? Hahaha" Alul berkelekar.
"Apa sih kamu. Nggak jelas banget. Aku ulangi sekali lagi. Jangan sampai mulutmu ember. Kalau sampai ada yang bocor, kamu yang aku bejek-bejek."
"Oke. Apa untungnya buat aku kalau aku membantumu untuk tutup mulut?"
Rani tersenyum kecut. Tentu saja, segala sesuatu pasti ada harganya. Jadi dia tidak kaget kalau Alul akan meminta hal seperti itu.
"Kamu mau apa?"
"Kamu akan menuruti semua mauku?"
"Sebenarnya tidak. Tapi aku bisa apa?" Sebutin sekarang!"
Alul mendekati Rani. Ia dekatkan wajahnya ke wajah Rani hingga jarak wajah mereka terpaut beberapa sentimeter saja.
"Kamu apa-apaan sih?" ucap Rani, lalu Dia segera mundur beberapa langkah.
"Aku akan tutup mulut. Asal kamu mau jadi pacarku!"
Rani memiringkan bibir, tersenyum culas.
"Jadi kamu naksir aku? Hah? Bukannya kau bilang bahwa kamu sama sekali tidak tertarik padaku. Munafik."
"Apa aku bilang bahwa aku menyayangimu? Tidak kan? Aku hanya ingin kau menjadi pacarku. Itu saja. Bukan berarti aku menyukaimu. Gadis sepertimu sama sekali tidak masuk dalam kriteria gadis idaman."
"Lalu untuk apa kau ingin jadi pacarku? Kalau bukan karena suka."
"Lumayan kan punya pacar incaran cowok satu sekolah. Ya meskipun kamu sombong, kadang dingin dan kadang cerewet, tapi it's O.k lah, lumayan untuk menaikkan pamorku yang mahasiswa baru ini."
Rani membuang nafas kasar. Tidak mungkin dia pacaran sama orang yang tidak dia sayang. Apalagi orang yang baru beberapa menit dia kenal hari ini. Lagipula, bagaimana nasib pendekatannya dengan Ardian dan tentang balas dendamnya kalau dia malah menjalin hubungan dengan orang lain? Semuanya pasti akan berantakan, tetapi kalau Rani tidak memenuhi keinginan alul, si cowok sok cool itu pasti akan buka mulut dan semua usahanya akan sia-sia.
Rani menggigit ujung jari telunjuknya sambil mondar-mandir ke kanan dan ke kiri. Gadis itu masih bingung harus mengambil keputusan apa.
"Oe, apa susahnya sih punya pacar ganteng keren dan lucu seperti aku. Mikirnya kelamaan banget."
Rani langsung berhenti, lalu melotot ke arah alul.
"Sapu! Kamu bisa diam nggak? Aku nggak bisa konsentrasi mikirnya."
"Aku mau keputusan sekarang, Nini. Kalau nggak ada jawaban aku langsung lapor rektor kalau ada mahasiswinya yang melakukan tindak kriminal." Alul memandang Rani sejenak, lalu dia bersiap untuk pergi.
"Iya, iya. Oke. Aku turuti kemauan mu."
"Kemauan apa?"
"Jadi pacar kamu. Tapi aku mau cuma satu minggu."
"Idih, mana ada pacaran dibatasi gitu."
"Sudah bagus aku mau ya? Jangan ngelunjak."
"Ya sudah, 2 bulan. Fix no debat. Kalau kamu masih protes, aku langsung ke ruang rektor sekarang."
"Iiih, oke. Terserah kamu!" Rani merasa geram. dia mengarahkan kepalan tangannya ke dekat kepala Alul. Laki-laki itu hanya tertawa penuh kemenangan, sementara Rani segera pergi meninggalkan tempat parkir dan melempar satu paku yang masih tersisa.
"Pacar! Tunggu dong! Masa aku ditinggalin."
***
Beberapa menit setelah Rani kembali ke kelas, kelas pun berakhir. Rani segera bergegas mengemasi buku-bukunya dan bersiap pergi.
"Pacar, tunggu dong! Masa pacarnya ditinggalin?"
Miranti dan Miranda yang duduk di belakang mereka langsung berteriak histeris berbarengan.
"PACAR?"
Mendengar teriakan kedua dayangnya, Rani langsung menoleh sambil menutup mulut mereka.
"Kalian kenapa histeris begitu? Jangan kenceng-kenceng. Lihat! Kalian jadi pusat perhatian," ucap Rani sambil melotot. Rani segera menghadap ke depan dan mengenakan tas punggungnya.
"Oke. Nggak kenceng-kenceng. Maksudnya, kalian jadian?" Miranti melebarkan matanya yang memang sudah bulat itu. Dia benar-benar tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka dengar.
"Iya, si Nini Towok ini sekarang pacarku," ucap alul. Tangan kirinya merangkul pundak Rani. Rani segera melotot dan menghempaskan tangan pacar tidak resminya itu.
Rani kembali beraksi. Dia menghentakkan kakinya mengenai kaki alul.
"Awww ... Sakit. Bar-bar banget sih jadi cewek."
"Sapu, bukan berarti kamu bisa seenaknya mengumumkan sama orang lain. Diem aja."
"Kenapa harus diam. Semua anak satu kelas harus tahu."
"Kamu gila ya, bahkan kita baru kenal berapa menit. Apa nanti orang bilang tentang aku."
"Aku pikir kamu tidak peduli lagi tentang apa yang orang pikirkan. Kamu kelihatan cuek."
"Apa yang sebenarnya terjadi, tidak selalu sama dengan prasangka seseorang. Aku pergi dulu. Awas sampai ngikutin."
Rani bersiap pergi, meninggalkan si cowok kepo yang baru saja ia kenal berapa menit yang lalu tetapi sudah berhasil membuat dia jengkel.
"Ran, eh tunggu ... Kok di tinggal sih," teriak Miranda, lalu si kembar segera mengikuti Rani ke luar kelas.
Alul hanya tersenyum ke arah Rani yang yang punggungnya sudah mulai tidak kelihatan.
'Kamu orang baik, Vissa. Aku tidak akan membiarkanmu menjadi kamu yang berbeda dan menjadi kamu yang jahat' ucapan Alul dalam hati.