Chereads / Akhir Cinta Avissa / Chapter 11 - Sebuah Konsekuensi

Chapter 11 - Sebuah Konsekuensi

Menjelang berakhirnya kelas, Rani gelisah. Dia berkali-kali menatap jam tangannya. Dia ingin kelas segera berakhir. Tentu saja karena Rani sudah tidak sabar mendengar kabar tentang Novita. Apakah dia masih terjebak di kamar mandi? Bagaimana keadaannya sekarang? Pasti dia sudah nangis nangis ketakutan. Membayangkan Novita yang tersiksa, perlahan Rani tersenyum.

Akhirnya, kelas pun berakhir. Senyum Rani semakin lebar. Dia semakin tidak sabar ingin mendengar kabar tentang Novita.

Setelah guru keluar kelas, Rani segera memakai tas punggungnya.

"Ke mana sih, buru-buru amat?"

Ya, Bukan alul namanya kalau nggak kepo.

"Bukan urusan kamu."

"Hari ini aku anterin. Masa sudah jadi pacar nggak pernah keluar bareng, nggak pernah pulang bareng. Pacaran macam apa itu?"

"Aku kan nggak niat. Cuma menjalankan apa yang kamu paksakan. Aku pulang dulu!" Rani bersiap untuk berdiri namun tangannya ditahan oleh alul.

"Aku antar pulang!"

"Lepasin!"

"Nggak akan. Hari ini kau hanya boleh pulang bersamaku.

Rani kembali duduk, menatap tajam kearah alul.

"Kamu tidak berhak mengatur aku sedikitpun, sedikitpun. Ngerti! Lagipula aku ada sopir. Jadi tidak perlu bantuan kamu."

"Dia sudah aku suruh pulang!"

"Kamu menyuruh pak Udin pulang? Kamu ini apa-apaan, Sapu!" Rani langsung berbicara dengan suara yang semakin keras. dia Menatap tajam kearah alul dengan marah. Rina merasa Alul sudah terlalu dalam ikut campur ke dalam urusannya. Padahal sebenarnya Alul bukan siapa-siapa. Bagi Rani, dia hanya orang asing yang kebetulan menggenggam secuil dari seluruh rahasianya.

Rani kembali mengepalkan tangannya. Sebenarnya, banyak hal yang ingin dilakukan. Baru saja dia ingin pulang bersama dengan Ardian, ingin mengambil hati lelaki tukang bully itu sedalam-dalamnya. Namun, sepertinya rencana itu harus berantakan karena adanya alul yang selalu membuat rencana Rani gagal.

"Pulang sama aku!" Ali memandang Rani dengan tatapan teduh. Meskipun emosi Rani sedang memuncak, ia berusaha untuk tetap adem dan bisa menenangkan Rani.

"Eh, Tau Novita nggak? Anak sastra Indonesia, Dia pingsan di kamar mandi. Sepertinya ada yang sengaja menguncinya." Terdengar suara Amel yang baru saja masuk ke kelas. Dia baru saja dari kamar mandi. Makanya dia berlagak sebagai informan penting ke teman-teman satu kelasnya.

Rani langsung membulatkan matanya dan mematung. Pingsan? Bagaimana mungkin Novita bisa pingsan? Dia hanya menguncinya di kamar mandi dan tidak meletakkan apapun di sana.

"Hah? Kok bisa?"

"Novita pingsan? Ya Tuhan, kasihan sekali?"

"Ada yang menguncinya di kamar mandi? Iseng banget sih dia. Apa coba maksudnya?"

"Novita kan padahal orang baik yang selalu tersenyum ramah ke semua orang, siapa yang tega menguncinya di kamar mandi?"

Beberapa reaksi dan tanggapan keluar dari mulut teman-teman sekelas Rani membuat gadis itu geram. Bagaimana bisa mereka memuja dan memuji Novita seperti itu. Mereka belum tahu saja seperti apa Novita sebenarnya. Mereka sama sekali tidak tahu apa yang sudah dilakukan oleh Novita pada seorang gadis dekil dan miskin 2 tahun yang lalu. Kalau saja mereka tahu semuanya, mungkin tidak ada lagi yang kasihan atau bahkan memujinya.

Alul menangkap perubahan muka Rani. Muka yang tadinya penuh rasa kesal, tiba-tiba berubah menjadi muka panik. Alul menatap Rani dengan muka serius dan penuh kecurigaan.

Rani yang menyadari itu langsung memalingkan muka.

"Kenapa kamu memandangku seperti itu?"

'Rani? Apakah kau pelakunya? apakah kamu orang yang sudah mengunci Novita di kamar mandi? Aku harap bukan kamu orangnya.. Aku tidak ingin kamu menjadi orang yang berbeda. Tolong, jangan sampai kamu pelakunya.'

Alul membuang nafas kasar, lalu menunduk.

"Nggak apa-apa," jawab Alul lirih.

"Kamu mencurigaiku?" Dari tatapan Alul, sepertinya Rani tahu kalau pacar 2 bulannya itu menaruh curiga padanya.

"Ayo aku antar pulang sekarang," ucap Alul yang saat itu hilang celometannya. Wajahnya terlihat sedikit muram, dan tak nampak lagi wajah tengilnya.

"Sudah kubilang, ada hal yang ingin aku kerjakan terlebih dahulu."

Alul kembali meraih lengan Rani yang tadi sudah mengibaskan nya. Dia mencengkeramnya kuat.

"Aku antar pulang sekarang. Jangan melawan. Tolong kamu ikuti apa kataku saat ini saja. Tolong, kali ini saja." Alul menatap Rani dengan tatapan yang dalam. Matanya berkaca-kaca. Siapapun yang menatapnya, pasti tahu kalau itu adalah sebuah tatapan tulus. Laki-laki itu benar-benar tidak ingin terjadi apa-apa pada Rani.

Entah kenapa, Maharani seperti tidak ada kekuatan untuk melawan. Akhirnya dia membiarkan alul membawanya keluar kelas. Menggandeng tangannya, dan akan membawanya menuju ke parkiran dimana alul memarkirkan motornya.

Rani memang kesal. Sangat kesal dan juga marah karena dia ingin menyaksikan sendiri wajah ketakutan Novita. Dia ingin melihat Novita menangis dan menderita meskipun apa yang dilakukan ini belum seberapa sama sekali.

Namun, baru saja beberapa langkah mereka keluar dari kelas, ada seorang mahasiswi yang menghentikan langkah mereka.

"Kak Rani, tunggu kak!" Sani, seorang adik tingkat memanggilnya. Mereka berdua langsung menoleh.

"Iya, ada apa?"

"Kak Rani dipanggil oleh Bu Sapta di ruangannya."

Deg. jantung Rani langsung berdetak dengan begitu kencang. Dia langsung merasa gemetar. Rani langsung merasa lemas. Rani tahu, ini pasti ada hubungannya dengan terkuncinya Novita di kamar mandi. Rani langsung diselimuti oleh ketakutan.

Ya, meskipun dia mencoba untuk menjadi orang yang berbeda. Namun, dia tetaplah Avissa, Avissa Maharani yang masih mempunyai rasa takut didalam dirinya. Tidak, dia belum ingin ketahuan. Dia belum siap jika harus terbongkar kebusukannya saat ini.

Seperti biasanya, alul langsung bisa melihat perubahan raut muka Rani. Ali segera menggenggam tangan Rani erat.

"Oke, terimakasih ya? Nanti Rani segera ke sana."

"Iya Kak, Saya permisi dulu," ucap Sani, lalu dia segera berbalik dan lari kecil meninggalkan mereka.

Rani masih terdiam dan menunduk. Terlihat sekali raut muka ketakutan. Ya, Ternyata dia tidak seberani yang dia pikirkan. Baru mau dipanggil saja dia sudah gemetaran seperti itu.

"Kamu nggak apa-apa?"

Rani masih terdiam.

"Ayo Aku antar ke ruang Bu Sapta."

"Aku nggak mau," ucap Rani yang masih menunduk.

"Rani, tidak akan ada apa-apa. Aku akan menemani kamu, dan aku tidak akan membiarkan kamu sendirian. Kamu jangan takut."

Mendengar ucapan alul, Rani mendongakkan kepala dan menatap alul.

"Aku tidak mau. Jangan paksa Aku. Kenapa kamu suka memaksa? Aku tidak suka dipaksa."

"Ran, Kamu dipanggil oleh Dosen PA. Kalau kamu tidak mau memenuhi panggilan dari beliau, dia akan berpikir macam-macam. Aku memang tidak tahu kenapa kamu dipanggil, tapi paling tidak sebagai mahasiswi yang baik kamu harus mematuhi apa yang diperintahkan oleh Dosen. Lagipula Kalau hari ini kamu tidak datang, besok pasti akan dipanggil."

Rani kembali menundukkan pandangan. Benar apa yang diucapkan oleh alul. Kalau Rani tidak memenuhi panggilan, pasti mereka akan semakin yakin kalau dia lah pelakunya. Dia terus menunduk, dan tiba-tiba mengeluarkan air mata. Saat itu, dia ingin teriak sekencang-kencangnya. Karena dia terlalu takut untuk menghadapi konsekuensi dari apa yang telah diperbuatnya.