Rani meneteskan air matanya. Hanya dia yang tahu, sekeras apa dia mencoba untuk menjadi sempurna dimata orang lain agar tidak direndahkan dan diinjak-injak lagi. Hanya dia yang tahu, sekeras apa dia berusaha agar mendapatkan pengakuan dari orang lain.
Melihat Rani yang meneteskan air mata, alul langsung melepaskan tangannya pelan-pelan. Dia menelan ludah, karena menyadari mungkin kali ini dia sudah keterlaluan meskipun sebenarnya niatnya baik.
Alul tertegun, melihat Rani yang menunduk dengan air mata yang membasahi pipinya. Sebenarnya ia ingin mengulurkan tangan, menghapus butir bening di pipi wanita yang selalu ingin dilindungi itu. Namun, dia tahu kalau Rani tidak akan nyaman.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud untuk melukai perasaanmu. Sekarang ayo kita masuk lagi. Kamu boleh makan Apapun yang kamu mau. Aku tahu kamu dari pagi belum makan. Ayo kita masuk," ucap Alul. Dia kembali menggenggam tangan Rani, dan membawanya kembali ke dalam rumah makan. Sementara Rani, hanya pasrah. Dia mengikuti alul meskipun pandangan matanya masih kebawah.
***
Kebahagiaan itu kita sendiri yang ciptakan. Kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan pada orang lain. Kadang kala, kita terfokus terhadap pandangan orang lain pada diri kita, sehingga kita lupa menanyai diri kita sendiri. Apakah kita sendiri bahagia? Itu yang sering dilakukan orang. Termasuk Avissa Maharani. Dia yang pernah menjadi seorang gadis korban bullying, selalu menganggap bahwa penilaian orang lain itulah yang paling penting. Pengakuan orang lain terhadap dirinya itulah yang paling diharapkan. Terlepas dirinya menikmati itu atau tidak, terlepas dirinya terpaksa atau tidak.
Rani tidak mau lagi menjadi makhluk kerdil yang menjadi bulan-bulanan orang lain. Setiap mengingatnya, dadanya selalu bergemuruh. Itulah mengapa, sampai saat ini dia tidak pernah lupa dengan Ardian dan Novita. Orang yang paling sering membully dan menghina dia.
Malam itu, Rani duduk diatas tempat tidurnya. Tempat tidur yang 5 kali lebih besar dibanding tempat tidurnya dua tahun lalu. Tempat tidur itu bernuansa pink, mulai dari sprei, sarung bantal, sarung guling, dan semuanya berwarna pink. Di samping kanan dan kiri sejajar berapa boneka yang selalu menjadi teman Rani.
Drrrtt ... Drrrtt ...
Ponsel Rani bergetar. Dia mengambilnya, tertulis 'Target Utama' calling. Itu berarti Ardian. Rani tersenyum licik lalu segera mengangkat telepon itu.
"Rani, kamu baik-baik saja?" mungkin pertanyaan itu akan terdengar menyenangkan di telinga wanita lain. Namun, bagi Rani suara itu tidak lebih merdu dari suara buaya. Terdengar sekali dari nada bicaranya, Ardian khawatir.
"Kenapa kak? Aku baik-baik saja kok." Rani berusaha menjawab selembut dan semanis mungkin. Dia harus tidak punya cela di hadapan Ardian.
"Apa benar kamu dipanggil oleh Bu Sapta?"
"Iya. Ini memang salahku, karena aku menerima tantangan yang nggak logis. Tapi nggak apa-apa."
"Aku boleh ke rumahmu?" Buaya mulai beraksi. Mungkin inilah cara Ardian untuk menunjukkan perhatiannya.
Rani melihat jam dinding. Pukul 8 malam. Jam segitu dia tidak mau menerima tamu. Namun, mungkin berbeda jika tamunya Ardian.
"Ini sudah malam. Kak Dian mau apa ke sini?"
"Aku tahu kamu pasti sedang terpuruk kan? Aku mau nenangin kamu. Kamu pasti juga tidak bisa tidur karena masalah di kampus. Boleh aku menemanimu malam ini?"
"Boleh. Tapi jangan lama-lama ya Kak. Ayahku pasti tidak akan mengizinkan jika ada tamu sampai larut malam."
"Iya, share loc ya.. aku akan meluncur sekarang."
"Baik, kak."
"Selamat malam, sampai jumpa nanti."
"Sampai jumpa!"
Rani mematikan sambungan teleponnya. Meletakkan ponselnya di atas meja, lalu segera meloncat dari tempat tidur dan berdandan senatural mungkin. Dia harus nampak cantik dan wangi.
"Dulu, aku kau buat mainan. Sekarang saatnya, kamu akan merasakan asyiknya dijadikan mainan, Ardian."
Avisa berbicara sendiri sambil menatap fotonya dengan rambut pendek acak-acakan. Ya, saat itu Avissa sempat memfoto dirinya dengan hp bekas yang saat itu baru diberikan oleh ayahnya. dia sengaja ingin mengabadikan hal yang paling menyakitkan hidupnya.
Foto Avissa, Si Gadis mengenaskan yang selalu di bully tetap ada di kamar Rani. Supaya dia selalu ingat dan bersemangat untuk membalas dendam. Dia memang tidak mau mengingat masa lalu, tetapi rasa sakit itu tetap ada. Membuat dendam di hati avissa Maharani makin lama makin menggelora.
Rani segera beranjak dari tempat tidurnya. Dia memakai kaos hitam lengan pendek yang nempel di badan, dengan rok warna pink polkadot sepanjang lutut.
Dia memakai bando warna pink untuk menghiasi rambut panjang hitamnya yang sengaja di gerai. Dioleskan nya lip balm di bibir tipisnya, serta disemprotkan minyak wangi dengan aroma yang memikat.
Tak lama kemudian, mbak Yayan, asisten rumah tangga di rumah Rani memberitahukan bahwa ada temannya di depan. Itu pasti Ardian. Ternyata, buaya tukang bully itu gercep juga kalau harus menghampiri seorang gadis cantik.
Setelah dirasa cukup dandannya, Rani yang dari lantai atas, turun dengan anggun menuruni tangga. Namun, Rani langsung membeku dan matanya membulat ketika yang dia dapati bukanlah Ardian tetapi alul.
Saat itu, Alul memakai celana belel warna hitam dan kaos warna biru muda lengan pendek. Memakai baju casual seperti itu membuat sapu tampak lebih manis. Namun, semanis dan sebaik apapun laki-laki itu, tidak pernah menjadi tujuan untuk Rani, sebelum misinya tercapai.
"Sapu! Kamu ngapain kesini?" Ucap Rani yang tiba-tiba nyemprot. Tentu saja dia kaget, bagaimana bisa Alul tahu rumahnya? Mereka hanya beberapa hari kenal dan belum sempat tukeran alamat rumah.
Alul yang tadi menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa, segera duduk dengan posisi tegak. Dia mengamati Rani dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Dia memang mengakui, Rani tampak cantik, berlipat-lipat cantiknya dibanding saat dia di kampus.
"Ngapain lihat aku begitu?"
"Jadi, ketika tahu kalau aku yang datang, kamu langsung dandan?"
Rani langsung salah tingkah. Jadi kelihatan ya kalau saat itu dia dandan, meskipun dandannya sebenarnya bukan untuk alul. Rani tidak menjawab apa-apa, namun dia segera berjalan dan duduk di sofa.
"Ih, jijay. Kamu kenapa kesini?"
"Pengen ngerjain tugas bareng." Alul menunjukkan tas ranselnya yang sepertinya penuh dengan buku.
"Aku sibuk dan sudah ngantuk. Sana pulang! Kita bisa mengerjakan besok."
"Ditawarin minum dulu kek, sudah langsung usir aja. Jarak rumahku dan rumahmu itu cukup jauh."
"Siapa suruh datang ke sini. Sana cepet pulang!"
"Aku enggak akan pu_" belum selesai Alul mengucap kata-katanya, kepala Ardian menyembul dari balik pintu.
"Permisi," ucap Ardian sambil tersenyum, tetapi senyumnya seketika memudar saat melihat Alul di ruang tamu bersama dengan Rani. Sedangkan Rani hanya menepuk jidatnya. Huft ... Gagal lagi kan idenya, dan lagi-lagi Sapu lah yang menggagalkannya.