"Rani, Kamu kenapa duduk di luar, Nak?"
Suara ayah Rani menghentikan lamunannya. Gadis yang saat itu memakai sweater warna krem buru-buru menghapus air mata yang menetes di pipinya. Dia menoleh, lalu tersenyum pada satu-satunya orang yang sangat dia sayangi di dunia ini.
"Ayah," ucap Rani. Sang Ayah duduk di teras, di samping Rani dan terhalang meja.
"Kamu kenapa? Kenapa menangis?"
"Tidak apa-apa, Ayah. Rani hanya ingat kehidupan kita yang dulu."
"Sekarang bagaimana? Apakah kamu bahagia?"
Jujur saja, belum ada kebahagiaan yang Rani rasakan. Justru, dia harus menjaga makan selama hidupnya karena posisi dirinya yang memiliki 1 ginjal. Rani juga harus menjaga makan agar berat badannya tetap stabil. Dia ingat perjuangannya setelah operasi. Dia ingat juga, kalau dia harus benar-benar menjaga makan untuk mengurangi berat badannya supaya dia bisa mendapatkan berat badan ideal seperti saat ini.
Namun, ini jalan yang sudah diambil oleh Rani. Mungkin, saat ini dia memang belum bahagia karena dia belum berhasil membalaskan dendamnya pada orang-orang yang dulu berbuat buruk padanya. Avissa Maharani bersumpah dalam hati, orang-orang itu akan merasakan apa yang dulu dirasakan oleh dirinya.
"Ran, Kenapa kamu bengong lagi? Ada masalah Yang kamu hadapi?"
"Enggak, Ayah. Aku hanya merasa beruntung saja dengan keadaan kita saat ini. Kita bisa tinggal di rumah yang layak, bukan rumah petak yang atapnya bocor sana-sini. Ayah juga sudah mempunyai beberapa restoran. Hidup kita sudah makmur, Ayah. Tidak ada alasan bagi Rani untuk tidak bahagia."
Ayah Rani memandang anak gadis yang sangat ia sayangi itu. Rani memang berkali-kali mengatakan bahwa dia bahagia, tetapi ayahnya tahu, bahwa Putri satu-satunya itu tidak sebahagia apa yang diucapkan. Dia tetap kesepian, Dia tidak punya teman, karena dia tidak percaya sama siapapun. Bagi Rani, semua orang itu sama. Mereka hanya mau berteman jika ada maunya. Mereka hanya mau berteman dengan orang-orang karena ada yang di mau.
Pem-bully-an 2 tahun yang lalu benar-benar membuat Rani tidak percaya lagi dengan persahabatan. Bagi dia, hanya satu sahabat yang dia miliki untuk selamanya, yaitu Salsa. Yang sekarang dia tidak tahu lagi di mana keberadaannya. Suatu saat nanti, dia pasti akan mencari dan berusaha untuk menemukan satu-satunya sahabat yang dia percaya.
"Ran, Ayah tahu. Kamu tidak bisa melupakan kejadian 2 tahun yang lalu. Namun, sampai kapan kamu akan seperti ini. Ikhlaskan semuanya supaya hatimu bisa lebih tenang. Jangan kamu ingat-ingat lagi, dan biarkan semua itu berlalu."
Rani menunduk, sambil memainkan jarinya di atas paha yang berbalut celana jeans. Dia membuat lingkaran dengan jari telunjuknya.
Banyak orang bilang, maaf adalah obat yang paling mujarab untuk membuat hati tenang. Namun tidak bagi Rani. Dia tidak percaya akan hal itu. Dirinya akan merasa tenang kalau dendamnya terhadap orang-orang yang tidak punya hati itu terbalaskan.
"Ran," panggil Ayah Rani sekali lagi. Ya, gadis itu terlalu sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Eh, iya ayah. Ayah tenang saja. Aku tidak apa-apa, kok. Siapa bila hatiku tidak tenang, Ayah. Aku justru sangat bahagia. Berlipat-lipat lebih bahagia. Ayah, Ranii mau belajar dulu ya. Besok ada kuis, dan Rani mau mendapatkan nilai terbaik. Selamat malam," ucap Rani sambil tersenyum dan menoleh ke arah ayahnya. Lalu dia segera pergi menuju ke kamarnya.
Ayah Rani hanya mengangguk. Dia tahu, jawaban yang diberikan Rani adalah jawaban yang palsu. Namun, ia mencoba untuk mengambil hati Rani pelan-pelan. Seperti yang dia tahu, sekarang Rani berubah menjadi pribadi yang keras. Tidak mudah untuk membelokkan apa yang telah dia yakini.
***
"Pacar, Kenapa sih dari tadi diam aja?" Alul menatap Rani yang saat itu sedang menyangga kepalanya dengan kedua tangannya.
Kelas sudah berakhir beberapa menit yang lalu. Namun, Rani enggan beranjak dari tempat duduknya. Dia masih sangat dongkol sama Alul. Bagaimana mungkin dia bisa melancarkan aksinya kalau dia masih menjadi pacar paksaannya alul. Laki-laki itu, sepertinya akan selalu menggagalkan semua rencana Rani.
"Oe, Kenapa sih. Mulut kamu itu sering kena lem. Setiap diajak bicara seringnya diam tanpa kata. Kau masih percaya dengan diam itu emas ya?"
Rani menghela nafas panjang dan menghembuskannya pelan-pelan. Lalu dia menurunkan tangannya dan menghadap ke alul.
"Sapu! Kalau boleh jujur, sebenarnya aku ingin sekali menjadikanmu rempeyek, lalu aku bejek-bejek sampai halus dan aku buang ke tempat sampah. Tahu kenapa? Karena kamu terlalu ikut campur urusanku, dan aku sangat tidak suka itu." Rani menghadap ke alul. Dia menatap laki-laki di hadapannya dengan tatapan tidak suka.
"Urusan apa? Urusan busuk yang akan mencelakai orang lain? Aku lihat kamu orang baik, jadi aku tidak akan membiarkanmu berbuat buruk. Kamu akan semakin cantik jika diimbangi dengan akhlak yang baik."
Alul balik menatap Rani, tatapannya tajam namun terlihat tulus. Sebenarnya, saat berbicara serius seperti itu, ketampanan laki-laki itu sedikit terpancar.
"Sapu, kamu tidak tahu apa-apa tentang diriku. Jadi jangan sok tahu. Mulai sekarang, jangan ikut campur semua urusanku."
"Selama kamu masih jadi pacarku, aku masih berhak ikut campur dong?"
Rani mengepalkan tangannya di bawah meja. Ingin rasanya Dia melayangkan kepalan tangannya ke muka Alul. Siapa bocah ini? Kenapa Dia seolah selalu menghalangi niat Rani? Pertanyaan itu terus mutar di otak Rani.
"Kamu kenapa sih. Kamu sebenarnya siapa? Kita baru kenal sehari, tapi Kamu seolah tahu banyak hal tentang aku. Aku akan melakukan apapun yang aku mau. Tidak ada seorangpun yang bisa mencegah."
"Ok. Kamu bebas melakukan apapun yang kamu mau. Tapi kamu harus menggunakan otak juga. Jangan sampai apa yang kamu lakukan hari ini menjerumuskanmu di masa depan."
"Apa yang aku lakukan dampaknya hanya ada padaku. Aku yang akan menanggung semuanya. Jadi, biarkan Aku melakukan apapun ya aku mau."
"Bukan berarti kamu pernah disakiti, lantas kamu merasa pantas berubah menjadi orang yang suka menyakiti. Itu bukan balas dendam yang baik."
Mendengar itu, darah Rani seakan mendidih. Emosi naik ke ubun-ubunnya. Matanya melotot dan memerah ke arah Alul.
"Sapu! Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku. Kamu tidak tahu sedikitpun. Dari mana kamu tahu aku akan balas dendam? Hah? Apa yang kamu tahu tentang diriku? Kamu tidak tahu apa yang aku rasakan. Sedikitpun kamu tidak tahu. Jadi jangan coba-coba kamu menghakimi diriku. Kamu tidak berhak sama sekali," Rani berbicara dengan mata berkaca-kaca. Lalu dia bangkit dan segera pergi meninggalkan alul yang saat itu terbengong dan membeku di tempatnya.
'Vissa, Aku tahu lukamu terlalu dalam. Aku akan membantumu menghapus luka tanpa menimbulkan luka baru untuk orang lain'