Mentari pagi perlahan menyinari padang pasir. Kumpulan pasir keemasan pun begitu gemerlap bak berlian kecil. Kelopak bunga pohon kaktus juga ikut merekah. Ada pula beberapa tumbleweed yang menggelinding tak tentu arah.
Seekor burung vulture tengah mematuk kepala seorang lelaki yang tergeletak di atas pasir. Tidak lama setelahnya mata lelaki itu bergerak hingga akhirnya ia pun terbangun.
"Hush ... hush ...." Dia mengusir burung yang masih saja mematuki kepalanya, lalu melemparinya menggunakan batu yang ia ditemukan. Alhasil, burung itu pun terbang menjauh.
"Burung sialan!" Cercanya, netra perak lelaki itu kemudian memandang sekeliling gurun. Terkejut, seingatnya ia berada di dalam sebuah menara. Namun mengapa dirinya saat ini ada luar. Dan lagi, ke mana perginya si pemuda yang bersamanya?
"Oh, kau sudah bangun."
Lelaki berambut perak itu lekas berpaling ke belakang saat mendengar suara seseorang. Rupanya pemuda yang tadi dicari - cari.
"Hey, bukankah kita berada di menara?" Tanya Wash penasaran.
Fenrir hanya diam. Kemudian membalikkan tubuh. "Nanti kujelaskan. Sekarang ikuti aku!" Dia mulai melangkah. Sementara, si Lelaki di belakang merasa jengkel karena pertanyaannya tak dijawab. Usai sedikit menggerutu dalam hati ia pun akhirnya menyusul.
Mereka berjalan menuju utara. Di sana ternyata ada sebuah oasis yang lumayan besar nan indah. Tempat spesial yang jarang ditemui di gurun. Tempat yang terdapat beberapa pohon kelapa dan rerumputan. Juga ada kolam besar di area tengah yang airnya begitu jernih.
Sesampai di sana, keduanya lekas berteduh dan berehat. Sambil istirahat, Fenrir pun mulai menceritakan tentang kejadian sebelumnya. Bagaimana mereka bisa ada diluar dan ke mana hilangnya menara.
Setelah kepergian orang berjubah tadi malam, mendadak sebuah sinar yang menyilaukan menyerang indra penglihatan. Meski menghalau menggunakan bergelangan tangan tetap saja nihil. Malahan sinar itu semakin silau. Hingga beberapa menit kemudian, sinar tersebut pun menghilang dan semuanya seketika gelap gulita.
Fenrir terbangun dalam suasana yang masih malam hari. Netranya beredar sekeliling. Ternyata dirinya telah berada di luar meski sebelumnya di dalam sebuah menara. Dia terheran - heran. Mencoba mengingat kejadian sebelumnya. Ingatannya merujuk pada orang berjubah. Orang yang tampak dikenal. Atau tidak, lebih tepatnya kemampuan yang dimilikinya. Kemampuan asap abu - abu, ciri khas suatu kelompok. Fenrir berspekulasi bahwa itu adalah kelompok bandit yang mencuri barang - barang langka. Kepemimpinannya terbagi empat orang yang memiliki julukan, 'The Four Candle's' ( Empat Lilin ).
The Four Candle's sendiri merupakan penyihir ilusi yang gadang hebat. Bahkan salah seorang dari mereka telah mencapai Title Seeker, atau Titlelist yang telah mampu menggunakan sihir tingkat tujuh atau terlarang. Di dunia ini hanya sedikit orang yang mau mencapai tingkat itu. Sebab mereka tak ingin mendapat julukan sebagai penyihir hitam.
Dari ketiga pemimpin kelompok tersebut telah tertangkap termasuk si Title Seeker. Satu yang tersisa, Fenrir menebak kalau itu orang berjubah yang semalam.
"Begitu ya. Jadi orang berjubah itu adalah salah satu 'The Candle'. Dan menara itu, ternyata hanya ilusi," ucap Wash sembari berupaya memanjat salah satu pohon kelapa.
"Selain itu, ciri khas mereka juga, memiliki simbol lilin menyala di pipinya." Fenrir menunjuk pipinya sendiri.
Mendengar ungkapan itu, si Lelaki yang hendak memanjat pun teringat sesuatu. Ketika dirinya mencoba menusuk orang berjubah semalam, ia memang melihat sebentuk simbol yang dikatakan meski samar - samar.
"Jadi apakah kita akan mencari orang itu?" Wash bertanya.
"Tidak usah mencarinya. Tujuan kita sekarang adalah pergi ke sebuah desa untuk mengambil sesuatu." Pemilik suara itu datang dari arah kolam. Pemuda berjubah hitam. Rambut dan wajahnya terlihat basah. Tampak habis membersihkan diri. "Toh. Mereka juga pasti akan kembali," sambungnya.
"Apa maksudmu?" Fenrir bertanya.
"Mereka kelompok yang mencuri barang langka, 'bukan? Pastinya mereka mencoba membunuh kita karena ingin sesuatu yang disembunyikan pada saku belakangmu." Jari Nevtor menunjuk si lelaki berambut perak. Dia bisa menarik kesimpulan itu berdasarkan barang yang mereka curi.
Wash memegang saku belakang, mengambil senjata miliknya. "Maksudmu, Matilda!" Ujarnya sambil mengangkat pistol.
"Pfft ...." Fenrir mencoba menahan tawa sambil memasang raut aneh.
Wash itu melirik pemuda itu dengan mimik jengkel. Dia sadar bahwa dia hendak menertawai senjata di genggamannya. "Apa kau pikir nama pistol-ku ini lucu?" Ketusnya.
"Tidak, tidak ...."
Walau berkata demikian mimik pemuda itu tidak berubah. Dia terus saja menahan tawa. Meski terasa jengkel sekali, Wash mencoba untuk diam. Tidak mau berkonflik dalam keadaan lapar.
"Oh iya, ngomong - ngomong tentang ledakan semalam, apakah itu ulahmu Nevtor?" Tanya Fenrir.
"Bukan," jawab si pemuda berjubah singkat, "melainkan orang yang menyerangku."
"Kau juga diserang, Nevtor?" Wash ikut bertanya.
Nevtor mengangguk.
"Jadi, bagaimana caramu menghindari ledakan itu?" Si pemuda klimis bertanya lagi.
"... Aku hanya menghalau ledakan itu menggunakan teknik-ku," dustanya. Kejadian sebenarnya, dia saat itu menggunakan kecepatan Assassination untuk berpindah setelah ledakan terjadi.
Usai perbincangan itu mereka pun melakukan kegiatannya masing - masing. Wash yang memanjat pohon kelapa. Fenrir yang sedang membersihkan diri di kolam. Sedangkan Nevtor, ia tengah melatih kemampuan berpedangnya dengan pohon kelapa sebagai target.
Berselang beberapa menit terdengar suara dari luar oasis. Tampak itu bunyi roda kereta. Dan benar saja, ada sebuah kereta kuda yang memasuki oasis. Pemilik kereta lekas menghentikan laju saat melihat pemuda yang tengah menyabet pohon kelapa hingga tergores.
Si Kusir turun dari kereta. Disambung oleh seorang wanita dari belakang gerobak. Dari penampilan yang sederhana, mereka sepertinya orang desa.
"Hey, tolong jangan potong pohon itu," tegur sang Kusir. Pria berambut coklat. Mengenakkan baju lengan pendek berwarna hitam dan ikat kepala coklat.
"Pohon - pohon kelapa ini sangat penting bagi kami. Jadi tolong jangan ditebang," pinta si wanita dengan lemah lembut. Dia berpakaian lengan panjang berwarna krem. Rambutnya dikepang melingkar.