Langkah kaki bergerak perlahan menuju kamar tidur. Sesampainya, orang itu pun tersenyum tipis memandangi pemuda yang terlelap nyenyak sekali. Kemudian belati dibuka dari sarungnya dan diangkat setinggi kepala.
"Selamat tinggal ... Nevtor!" Kata orang itu, ia langsung melesatkan tusukan mengarah pemuda yang tertidur.
Tap!!
Laju senjata itu tiba - tiba terhenti. Lantaran ada tangan lain yang menggenggam pergelangan orang tersebut. Alhasil, orang itu pun segera melepaskan dan langsung melompat mundur. Pemuda yang disangka tertidur rupanya masih terjaga.
Nevtor beranjak bangkit dari posisi tidur lalu menampakan kedua kaki pada lantai. Netra heterchromia-nya langsung menatap orang berjubah yang ada di depan.
"Siapa kau?" Nevtor bertanya dengan suara tegas.
Orang itu tersenyum. Kemudian melepaskan tudung yang menutupi kepalanya. "Sudah lama sekali ya, tidak bertemu," ungkapnya. Ternyata ia seorang perempuan. Berambut hitam sebahu dan memakai jepit rambut biru.
"Vina?" Gumam Nevtor.
"Ya, ini aku. Apakah kau tidak merindukanku?"
"Konyol sekali! Bagaimana mungkin aku merindukan orang sepertimu."
Vina tertawa kecil. "Begitu ya. Sayang sekali! Padahal aku merindukanmu waktu kau pergi dari desa dulu," ujarnya sambil berkacak pinggang. Bernostalgia ketika mengobrol singkat dengan Nevtor meski tak dihiraukan.
"Bahkan Barm--"
"Dia sudah mati!" Nevtor menyela dengan sorot mata sinis.
"Kau yang membunuhnya, 'bukan?"
Pemuda itu hanya diam.
"Mengapa kau membunuhnya. Padahal dia itu teman baikmu," lanjut Vina.
"Orang bermuka dua dan pengkhianat sepertinya memang seharusnya mati. Demi meraup pundi - pundi uang, dia bahkan menghalalkan segala, membunuh dan mengkhianati penduduk desa. Ya, sama hal denganmu," tuturnya.
Vina tertawa lagi. "Jadi kau membunuhnya bukan karena dia mengkhianatimu?"
Nevtor mengambil pedangnya yang disandarkan pada samping tempat tidur lalu mengeluarkan dari sarung. Dia memegang dengan kedua tangan. "Cukup basa - basinya. Sekarang apa tujuan mencoba membunuhku?" Tanyanya, ia menatap netra si wanita serius.
Belati dilemparkan ke udara dan tangan kanan menangkapnya. "Tentu saja untuk mengambil seluruh barang milikmu itu," jawab Vina sambil tersenyum tipis. Dia kemudian mendatangi Nevtor dengan sangat cepat.
Lekas, Nevtor melesatkan sabetan horizontal sesaat Vina sampai di tempatnya berpijak. Si wanita pun dengan sigap menghindar. Dia bahkan berpindah amat cepat ke titik buta dan langsung meluncurkan tusukan.
Leher ditelengkan, serangan pun meleset. Seusai membalikkan tubuh, Nevtor pun balas menyerang, melakukan sayatan horizontal kembali. Tetapi lagi - lagi serangannya tak kena. Si wanita telah mundur menjaga jarak. Dirinya menempel--berjongkok dengan kedua tangan di bawah--pada dinding ruangan bak seekor laba - laba.
"Wow, reflekmu lumayan juga," puji Vina sembari menjilat sedikit cairan merah di bilah belati.
Si pemuda menyetuh lehernya. Rupanya terjadi goresan. Kecepatan wanita itu bukan main - main. Nampaknya Nevtor harus lebih hati - hati lagi.
Vina mengambil aba - aba. Segera setelah mengambil momentum dorongan, dia pun sampai dihadapan Nevtor tanpa terduga dan kembali menyerang ke area leher.
Srapp!!
Cairan segar menetes. Tatkala tangan kiri Nevtor menghentikan tusukan tersebut. Cengkeraman erat membuat Vina tampak kesulitan menarik kembali belatinya. Alhasil, dia memilih mundur. Sembari menjaga jarak ia sempat - sempatnya melemparkan dua belati yang disembunyikan dari balik jubah.
Nevtor melemparkan belati di tangan. Belati itu saling bertabrakan pada salah satu belati yang dilemparkan. Dilanjutkan, pemuda itu menangkis satu senjata tajam yang mengarah padanya. Setelahnya ia pun melesat cepat menuju sang musuh.
Cringg!!
Walau sempat terkejut, Vina masih bisa tenang dan mampu menangkis tebasan pedang Nevtor menggunakan belati yang tersisa di balik jubah. Akan tetapi, sebelum bisa bernafas lega, serangan kejutan si pemuda langsung bersarang di perutnya. Pukulan keras itu menghempaskan tubuh Vina, namun dirinya bisa mendarat mulus tanpa menerima dampak lebih.
"Technique: Blind!"
Sesaat hendak menyeka darah di bibir, Vina kembali dibuat terperangah. Sekumpulan asap hitam dengan cepat menyelimuti area berpijaknya. Imbasnya, pandangan wanita itu pun terusik. Dia tak bisa melihat apapun keadaan gelap gulita tersebut. Namun setidaknya indra pendengaran masih dapat digunakan. Sayup - sayup ia terdengar sesuatu.
Awalnya, Vina mengira itu langkah kaki si pemuda. Tetapi ternyata sebuah pedang yang terbang secara horizontal. Segera ia menahan dengan belati dan pedang tersebut pun terhempas. Tetapi alih - alih bisa bernafas lega lagi, ada serangan dadakan yang berhasil mendarat di muka. Sebuah tendangan yang mampu melemparkan tubuh rampingnya yang kali ini menabrak kasur hingga hancur.
Asap hitam perlahan pudar hingga akhirnya menghilang. Cahaya rembulan pun masuk ke dalam ruangan. Lentera yang digantungkan depan pintu mendadak redup.
"Arggh!" Si wanita menggeser kayu yang menimpa dirinya. Penampilan kali ini tampak lusuh. Rambutnya awut - awutan, muka kotor berbekas tapak sepatu dan baju pun terdapat robekan.
"Sialan kau, Nevtor! Berani - beraninya kau menendang wajahku," pekiknya dengan raut nanar. Tatapannya kali ini benar - benar berbeda dari sebelumnya. Bak kata pepatah, seperti singa yang terbangun.
"Dalam pertarungan, sah - sah saja menyerang area apapun," timpal Nevtor tanpa ekspresi sambil mengambil kembali pedangnya yang terlempar.
"Sah - sah saja, huh?!" Vina beranjak bangkit. Auranya terasa berbeda sekali. Matanya pun seketika berubah merah darah. Netra seorang Assassination. Kemudian ...
Wuush... wuush ...
Dia bergerak cepat. Lebih cepat dari pergerakan sebelumnya. Bahkan, Nevtor pun sampai dibuat terkelabui. Netranya tidak bisa mengikuti ritme gerakan tersebut. Namun dirinya mencoba tenang dan merasakan keberadaan sang wanita.
"Di belakang!" Batinnya, dia langsung melesatkan sayatan vertikal. Namun rupanya itu hanyalah sebuah tipuan. Akibatnya, tangan dan pipi Nevtor terkena sayatan belati, bahkan rambut tak luput dari serangan itu. Beberapa helai jatuh ke lantai.
"Hahahaha ...." Tawa itu terdengar dari langit - langit tanpa ada wujudnya.
"Baiklah. Kita sudahi saja permainan ini!" Nevtor mencoba memprovokasi, membuat Vina justru terus tertawa.
"Sudahi?"
Nevtor terdiam, memejam mata. Vina menerka pemuda tersebut sedang merencanakan sesuatu. Dia lantas meningkat kecepatan supaya keberadaannya tak lagi bisa diprediksi. Seusai si pemuda membuka matanya, Vina pun langsung mendarat di belakang.
"Cruel Technique: Poison Jab!"
Bilah belati berubah menjadi keunguan. Tusukan pun langsung dilesatkan menuju area jantung.
Namun ...
Bukannya langsung membunuhnya, Vina justru kebingungan lantaran pemuda berambut hitam telah hilang dari pandangan. Bahkan aura keberadaan sama sekali tak bisa dirasakan seolah - olah tertelan bumi.
"Ke mana dia?" Netra Vina beredar ke sekeliling. Tidak menemukan apapun selain kekosongan. "Sial, di mana dia?" Decaknya lirih.
Dan semenit kemudian, sebuah aura muncul di titik buta. Aura yang begitu kental menusuk mental. Tubuh Vina tidak mampu bergerak bahkan menggerakan satu jari pun. Dia tampak ketakutan dengan mata membulat.
Srapp!!
Sebuah bilah menembus perut hingga ke ujung. Darah segar pun langsung menciprati lantai ruangan hingga dinding.
"Kau pikir ... hanya kau yang memiliki kekuatan seperti itu?"
Bisikan itu terdengar di telinga Vina. Tubuhnya pun ambruk sesaat pedang ditarik kembali. Darah lagi - lagi keluar yang kali ini membanjiri lantai. Pandangan perlahan mulai sayup, memandangi pemuda yang berdiri di depan.
"J-jadi ... k-kau ... se-seorang k-keturunan Assassination juga," ujar si wanita tersendat - sendat. Tak lama setelahnya kedua mata pun terpejam.
Netra merah darah Nevtor memandangi ujung bilah pedang yang beregenerasi. Pelan tapi pasti, pedang berbilah hitam yang rusak kembali ke bentuk semula. Cairan merah yang melumurinya pun hilang tak berbekas.
"Sekarang, kau bisa menyusul si Barm!" Nevtor menatap wanita yang tergeletak tak bernyawa. Dia kemudian mengambil jubah hitamnya di lantai dekat kasur yang sudah tak berbentuk. Menepuk debu yang menempel di jubah lalu mengenakkannya, kemudian beranjak menuju pintu keluar.
Duar!!
Bersamaan pintu dibuka mendadak ledakan terjadi. Melubangi dinding ruangan dan mengguncangkan seluruh menara. Bahkan burung vulture yang bertengger di atap pun langsung terbang menjauh.
***
"Apa itu?" Wash terperangah, menatap atap ruangan ketika terjadi guncangan hebat.
Dugaan Fenrir itu berasal dari lantai dua menara. Dia pun bergegas untuk keluar dari ruangan, disusul oleh Wash setelahnya. Tetapi langkah keduanya tersekat saat ada seseorang yang menghadang di depan pintu. Orang yang lagi - lagi memakai jubah. Sulit menerka siapa dia.
"Siapa kau?" Fenrir bertanya memastikan.
Orang itu cekikikan. "Siapa ya?"
"Bukankah itu lelaki yang berjaga di luar siang tadi?" Celetuk Wash tampak mengenali orang di depannya.
"Wah, ingatanmu cukup bagus juga, Nona!"
Kerutan terlihat di dahi si Lelaki berambut perak yang disangka cewek. "Nona kaubilang?!" Amarahnya bergejolak. Wash pun langsung mendatangi si orang berjubah seraya menghunuskan belati dari saku belakang. "Mati kau?!"
Buak!!
Alih - alih menusuk, lelaki itu justru menabrak pintu begitu keras hingga copot dari engselnya. Dirinya nyusruk di atas pintu dan belati di tangan terhempas.
"Aduh, duh ...." Wash bangkit dan mengelus kening yang lebam. "Apa yang terjadi?" Netranya menatap sebuah asap abu - abu yang perlahan memudar. Asap yang melayang di tempat berpijak si orang berjubah sebelumnya.
"Asap itu ... bukankah ...." Ucap Fenrir terhenti.
Usai asap itu menghilang, muncul orang jubah yang tadi di samping tempat tidur. Serta merta, Wash dibuat terkejut dan Fenrir pun membalikkan tubuh.
"Maaf, namun aku sedang tidak ingin bertarung saat ini," ujar orang itu. Dia mengarahkan tangan kanan yang terbuka ke arah wanita yang terikat hogtied di atas kasur. Tampak pola lingkaran mengelilingi si wanita hingga ia pun menghilang. "Mungkin lain waktu," sambungnya. Wujud orang itu perlahan sedikit memudar.
"Hmph ... jadi kau mau melarikan diri, kroco pengecut," hina Wash jauh di belakang sambil tersenyum tipis.
Orang berjubah itu tak menampik. Butuh beberapa detik hingga akhirnya wujudnya pun menghilang, menjadi asap abu - abu yang kemudian terbang keluar jendela terbawa angin.
"Sayang sekali Vina mati. Padahal dia merupakan pion terbaik."
Tidak lama setelah sosok itu pergi, mendadak muncul cahaya menyilaukan yang mengusik indra penglihatan mereka berdua. Keduanya pun mencoba menghalau sinar tersebut menggunakan pergelangan tangan.
"Sinar apa ini?" Tanya keduanya.
Lalu ...
Semuanya pun menjadi gelap gulita.