Regina meraih gelas yang disodorkan Adhinatha ke arahnya dan meneguk minuman berwarna coklat dengan aroma cukup menyengat itu hingga tandas.
Dia mengernyit begitu lidahnya langsung menemukan rasa pahit dan getir di saat.
Wanita itu menyesal saat itu juga.
Seharusnya dia bisa menahan diri untuk tidak terpancing. Tapi apa yang dia lakukan? Dengan mudahnya Regina menerima tantangan pria itu dan menenggak minuman laknat itu hingga tandas. Padahal itu satu gelas penuh. Tapi, hanya karena tatapan meremehkan Adhinatha benar-benar mengusik ego dan harga dirinya, dia tersulut. Dan sekarang, Regina ingin mengatakan pada dirinya sendiri "Makan tuh harga diri!" saat merasakan rasa tak nyaman pada kerongkongannya.
"Minuman macam apa, ini? Rasanya seperti minuman basi!" keluh Regina menaruh gelas dengan sedikit membanting.
Adhinatha tergelak. "Tentu saja itu memang minuman basi. Namanya saja alkohol. Apa otakmu mendadak lupa kalau minuman itu bahkan dibuat melalui proses fermentasi?"
Regina mengabaikan ucapan Adhinatha dan berusaha meminum air bening di botolnya sendiri hingga habis. Sayangnya, minuman itu bahkan hanya tersisa beberapa teguk. Sangat tidak cukup untuk meredakan pusing yang langsung mendera kepalanya juga panas yang mulai menjalar di tubuhnya.
"Regina," panggil Adhi mencoba menarik atensi wanita yang sibuk meremas kepalanya.
"Apa?!"
"Kamu masih bisa dengar aku, 'kan?"
"Kamu pikir aku tuli?!" sembur wanita itu.
Adhinatha menipiskan bibirnya mendengar ucapan wanita itu yang masih saja tajam. "Jawab aku dengan jujur. Sebenarnya apa alasan kamu menerima perjodohan ini, huh?"
Regina yang sibuk memijit keningnya itu menurunkan tangannya dan menatap pria yang duduk agak jauh darinya itu. "Bukankah aku sudah menjelaskan tadi? Aku yang pusing, kenapa otakmu yang mendadak pelupa?"
"Kamu serius dengan jawabanmu yang tadi itu? Itu bukan jawaban dibuat-buat?" tanya Adhi penuh selidik.
"Kamu pikir aku punya waktu melakukannya Di? Lagipula memang aku harus mengarang jawaban apa, sih, Dhi? Sudahlah, tidak penting sekali pertanyaanmu. Lebih baik kamu pesankan aku air mineral. Aku butuh itu untuk menetralkan pusing di kepalaku."
"Lebay sekali. Baru minum satu gelas sudah mabuk."
"Diam, sialan! Apa kamu mau kulempar gelas ini tepat di kepalamu?" jelas ancaman itu hanya omong kosong. Melempar dengan tepat? Mengangkat tegak kepalanya tanpa pandangan kabur saja dia kesulitan. Bagaimana bisa mau membidik pria itu dengan gelas?
Diam-diam Adhinatha tersenyum geli. Regina yang terlihat kalem dan lemah lembut di kali pertama Adhi melihat, rupanya bisa memaki orang juga. "Menarik sekali," batin Adhi seraya meraih gelas miliknya dan menyesapnya pelan.
Reaksi Adhi saat meminum minuman yang sama dengan Regina, rupanya tak sama dengan yang wanita itu tampilkan. Dia memang mengernyit merasakan pahit di lidahnya, getir dan rasa yang kata Regina seperti minuman basi, tapi Adhi masih merasa baik-baik saja.
Mungkin karena dia sudah cukup akrab dengan rasa itu. Badannya mulai memiliki toleransi akan beberapa teguk yang masuk ke tubuhnya dan tak menimbulkan efek separah Regina. Tapi, dia juga tak merasa sepusing saat pertama kali minum, dulu. Dia tak menceracau lebay seperti yang dilakukan Regina saat ini. Berarti, memang wanita itu saja yang mabuknya lebay.
Ya, Regina benar-benar mabuk. Dia bahkan sudah berbicara sendiri, meracau tak jelas dengan kepala menunduk. "Padahal cuma satu gelas!" decah Adhinatha beranjak pindah ke sofa yang sama dengan Regina.
"Hey, kamu benar-benar mabuk?"
"Eh, kamu siapa?" tanya Regina begitu mendongak dan menemukan wajah yang tak begitu asing baginya. "Kamu seperti ... aku seperti pernah lihat kamu. Tapi dimana, ya?" Regina menggaruk pelipisnya terlihat linglung.
"Apa kamu klien di perusahaanku?" Wanita itu menggeleng cepat, yang mana langsung membuatnya mengeluh pusing lagi.
"Sepertinya bukan." Wanita itu menatap Adhinatha lagi. Dengan terang-terangan ditatapnya wajah tampan di depannya itu. Jemarinya terulur, menyentuh rahang pria itu yang terasa pas di tangannya.
"Apa kamu mantan pacarku?" tanya Regina lagi. Dia terlihat bingung. "Tapi aku nggak ngerasa punya mantan pacar sepertimu, sih."
Adhinatha masih diam mengamati bagaimana tingkah wanita yang dijodohkan dengannya itu. Wanita ini saat mabuk benar-benar bertingkah aneh.
Regina menjentikkan jari. Seolah ada bohlam menyala di atas kepalanya. "Ah! Sepertinya kamu artis yang baru naik daun, ya? Iya, 'kan? Makanya aku tak asing pada wajahmu."
Jemari itu menyusuri wajah dengan lekuk begitu pas. Dari mulai kening, hidung, pipi dan turun ke mulut.
"Tapi untuk ukuran artis, sepertinya kamu kurang tampan, deh. Ah, tidak-tidak. Sepertinya artis juga bukan. Lalu apa, ya?" Dia menoleh dan menatap Adhinatha yang menatapnya dengan tatapan tajam.
"Apa kamu bilang tadi? Aku kurang tampan?!" Pertanyaan Adhinatha mendapat anggukan polos sebagai jawabannya. Regina ini, entah Adhi sebut apa kelakukannya yang memicu emosi itu.
Menghela napas. Adhinatha menyerah. Menginterogasi wanita yang setengah sadar seperti ini, jelas hanya buang-buang waktu. Dia selalu menceracau, mengatakan hal-hal tak penting yang hanya membuang waktu Adhi saja.
"Ayo. Kuantar kamu pulang." Adhi sudah mau beranjak, tapi lengannya ditahan wanita itu. Regina tersenyum-senyum sendiri. "Kamu ngambek?"
Adhi yang merasa masih waras, hanya menggelengkan kepala tegas.
"Serius?" Tangan wanita itu merayap naik menyentuh rahang tegas pria itu.
"Iya."
Ibu jari Regina menyentuh pipi dan turun ke bibir. "Walaupun kamu nggak seganteng itu, ada satu yang menurutku indah," bisik Regina dengan suara rendah.
Adhinatha melirik wanita yang entah bagaimana sudah menepelinya. "Ini. Bibirmu ... indah sekali."
Adhinatha tak sempat menghindar saat lehernya ditarik turun oleh lengan kurus itu. Pria dengan mata almond itu membelalak menyadari posisinya yang dicium paksa oleh wanita yang baru ditemuinya sekali itu. Dia tak menyangka Regina dengan badan kurus dan nampak rapuh itu mampu menariknya hingga dia nyarih terjerembab menindih wanita itu.
Mulai bisa menguasai diri dari keterkejutannya, Adhi mulai merasai bibir yang tengah melekat pada bibirnya itu. Bibir Regina begitu lembut dan manis. Walau tak bergerak dan hanya menempel, Adhinatha bahkan cukup terbuai dan ingin mengecapnya lagi.
Persetan dengan niatnya untuk mengulik maksud wanita itu akan perjodohan ini, Adhinatha ingin menikmati bibir ini dulu — sedikit lebih lama.
Saat membuka bibirnya dan lidahnya berusaha menjilat bibir Regina, wanita itu langsung menjauhkan wajahnya. Ditatapnya Adhinatha dengan tatapan tak fokus. "Kepalaku pusing sekali."
Lengan yang tadi mengalung di leher pria itu lepas. Menyisakan rasa aneh yang menyentil pria itu. Mengambil jarak dengan beringsut mundur, Regina mencoba mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya. Jemarinya mencari ponsel yang tersimpan di tas kecil yang sedari tadi tergelak malang.
Dengan kepala yang berulang kali menggeleng mengenyahkan pusing, dia menekan tombol dua cukup lama. Menelepon adiknya, Regina ingin segera pergi dari tempat penuh tipu daya itu.
Tapi Darwin tak kunjung menjawab bahkan di percobaan ketiga. Jemarinya beralih menuju nomor tiga, panggilan cepat lainnya. Mencoba peruntungan dengan menelepon sekretarisnya, Regina berharap segera mendapat respon sebelum kesadarannya benar-benar hilang.
Suara serak dari seberang sana menyapa.
"Ya, Bu?"
"Dimas? Dimas bisa jemput saya?"