Regina pergi. Wanita itu pergi setelah berdebat dengan Adhinatha, lagi dan lagi. Mereka seolah diciptakan untuk terus beradu dan berperang urat, dimanapun kapanpun.
Adhi membuang napas kasar. Kakinya berusaha sebisa mungkin bertahan dan tidak mengejar wanita itu. Harga dirinya melarang, tapi sebagian dirinya mendorongnya untuk melakukan itu.
Mendengkus sebal, Adhi berdiri dari duduknya. Tidak mau repot-repot mengembalikan posisi kursinya karena terlanjur kesal, pria itu berjalan cepat hendak menyusul Regina.
Dia sempat bertanya tagihan makanan begitu sampai lantai bawah. Dan amarahnya naik berkali lipat mengetahui Regina benar-benar menyentil harga dirinya karena sudah melakukan pembayaran itu.
"Wanita itu tidak main-main ternyata." Setelah berlari, Adhi keluar dari gedung itu. Dia mengedarkan pandangannya, mencari sosok Regina, dan ketemu. Wanita itu tengah memberhentikan sebuah taksi. Sebelum wanita itu berhasil masuk ke dalam taksi yang merapat ke pinggir jalan itu, Adhi buru-buru menyusulnya dan berhasil. Pria itu berhasil menutup kembali pintu penumpang yang baru saja Regina buka.
"Lepas!"
"Kami ke sini denganku, maka pulang juga denganku, Regina."
"Aku tidak mau," balas Regina penuh penekanan. "Aku tidak sudi satu kendaraan denganmu lagi," tambahnya membuat Adhi mengetatkan rahangnya.
"Terserah. Aku tidak menerima penolakan apapun."
Pria itu membungkungkuk untuk berbicara pada sopir taksi. "Maaf, Pak. Tidak jadi. Dia akan pulang denganku. Maaf, wanita memang suka merajuk, bukan?" Supir taksi itu tergelak.
"Memang begitu, Nak. Baiklah, semoga berhasil meluluhkan wanitamu. Dia terlihat sangat kesal padamu." Adhi nyengir.
"Terima kasih, Pak."
Dan senyum ramah yang ditampilkan pria itu pada supir taksi seketika lenyap begitu taksi itu pergi dan Adhi kembali menatapnya. "Kamu itu ... kenapa, sih? Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit mengajakku bertengkar. Sebenarnya apa maumu?"
"Mauku adalah tidak melihat wajahmu lagi."
Adhi tergelak renyah, seolah kalimat Regina benar-benar sesuatu yang teramat lucu.
"Itu jelas tidak mungkin, Regina. Kamu hanya perlu menerima takdir kalau aku dan kamu akan terus saling bertemu ke depannya."
"Aku tidak sudi."
"Memangnya kamu bisa membatalkan perjodohan ini?"
Regina terbungkam, membuat Adhi tersenyum meremehkan. "Daripada kamu terus mengajakku perang urat, bukankah kita lebih baik kerja sama?"
"Tidak."
"Regina, jangan bodoh."
"Aku tidak bodoh! Berhenti mengatakan diriku bodoh!"
Adhinatha menatap wanita itu dengan tatapan serius. "Kita sama-sama tidak bisa menentang perjodohan ini. Jadi kenapa kita tidak kerjasama saja?"
"Tidak ada untungnya aku kerja sama denganmu."
Adhinatha tersenyum miring. "Yakin?"
"Kita bisa membuat sistem pernikahan kita sendiri, lho."
Masih belum ada tanggapan dari Regina. "Kita bisa melakukan beberapa perjanjian."
Jemari pria itu naik, menyentuh lengan Regina yang langsung ditepis wanita itu.
"Aku tidak akan mencampuri urusanmu." Pria itu masih mempertahankan senyumnya. "Begitupun kamu. Kita jalani kehidupan masing-masing, berdampingan tapi tidak saling mengganggu. Bagaimana?"
Alis pria itu naik dengan cara yang begitu menggoda, tapi Regina jelas bukan salah satu bagian dari golongan orang-orang yang mudah. Jadi meskipun pria di depannya memiliki ketampanan yang jelas di atas rata-rata, Regina jelas memiliki selera yang sama tingginya dan pertahanan yang sama kokohnya.
"Masih belum cukup menggoda untukku."
"Aku akan libatkan kamu dalam membuat keputusan di keluarga kita nantinya."
Regina menghindari saat wajah pria itu kian mendekat. "Jangan kurang ajar!"
"Aku hanya ingin melihat wajahmu dari jarak dekat. Apa aku salah?"
"Salah."
"Jadi?"
Regina melepaskan diri dari kungkungan Adhi yang entah bagaimana tiba-tiba memerangkapnya.
"Dengar, Regina. Kalau kamu menolak perjodohan ini, kamu memang lepas dari aku. Tapi kamu yakin? Apa kamu bisa jamin kamu akan bisa menghindari perjodohan-perjodohan lain? Bagaimana kalau dia jauh lebih buruk dariku?"
Regina mengetatkan rahangnya.
"Pertimbangkan itu baik-baik dengan otak cerdasmu. Menikah denganku tidak seburuk itu, Nona."
Adhi melepaskan tangannya dari Regina.
"Ayo pulang. Aku antar kamu kembali ke pabrik itu. Atau ... mau makan dulu?"
"Aku bisa pulang sendiri."
"Kamu ke sini denganku, berarti pulang juga sama aku, Regina."
Pria itu berujar tegas, menarik tangan Regina agar mengikutinya. Regina sempat berontak, tapi lagi dan lagi, memang dia bisa apa? Tenaganya jelas kalah dari tenaga Adhi yang jelas jauh lebih besar darinya.
Dia terpaksa duduk, di sebelah Adhinatha. Keheningan lagi-lagi menyelimuti ruang sempit itu.
"Bisa makan-makanan cepat saji?" tanya Adhi tiba-tiba membuat Regina yang berkutat dalam pikirannya jadi terkesiap.
"Hah?"
"Aku belikan sandwich. Kita drive thru. Kamu belum makan apapun siang ini, 'kan?"
"Tidak perlu."
"Jangan membantah, oke? Pekerjaanmu jelas memerlukan banyak tenaga."
Adhi menyerongkan duduknya jadi menghadap Regina yang hanya melirik sekilas. "Aku ingin bertanya sesuatu. Pekerjaanmu memang sering di lapangan begitu? Panas-panasan, banyak debu dan kotoran begitu?"
Mengangkat alis, Regina terlihat begitu heran dengan pertanyaan itu. "Memang kenapa?"
"Ya kamu 'kan ... sorry, kamu kan wanita. Biasanya wanita lebih memilih kerja di dalam ruangan begitu, bukan? Terlebih kamu direktur. Bukankah sangat bisa untuk mengutus orang untuk meninjau proyek mewakilimu?"
Regina menghela napas. "Aku lebih suka melakukannya sendiri. Aku lebih puas saat aku bisa memastikan sendiri kalau segalanya berjalan sesuai harapan, alih-alih hanya mendengar laporan dari orang yang jelas memiliki kacamata yang tidak sama denganku."
Adhinatha tersenyum. "Perfectionist, eh?"
Memutar mata malas, Regina menoleh pada Adhi yang masih belum melunturkan senyum meledeknya. "Memang kamu suka kalau apa yang kamu rencanakan tidak berjalan sesuai harapan? Kalau aku, sih, jelas ingin apapun on point, sesuai dengan apa yang aku inginkan, dan tentu saja memuaskan. Karena aku menganggap pekerjaanku sebagai karya seni, yang harus bagus dan berkualitas."
"Wow. Kalimat yang cukup sombong, Nona Direktur."
"Terserah."
Tergelak, Adhinatha benar-benar merasa terhibur dengan mengobrol bersama wanita ini. Dia bisa bayangkan betapa menyenangkan nanti berdebat dengan Regina setiap hari. Pasti akan menarik.
"Sandwich isi ... kamu sukanya apa?" tanya pria itu menoleh pada Regina.
"Apa saja."
"Oke, Isi tuna."
"Jangan tuna."
"Steak saja."
"Oke."
"Mau satu atau dua?"
"Kamu pikir aku serakus itu sampai menghabiskan dua porsi, huh?" delikan kesal Regina berikan pada Adhi yang memutar mata malas.
"Ya sudah, satu. Jangan menatapku seolah kamu ingin melubangi kepalaku dengan sorot matamu itu, Regina."
"Ini mataku. Terserah aku mau menatapmu bagaimana."
"Iya, tapi masalahnya aku yang ditatap begitu dan aku tidak suka."
"Terus aku perduli?"
Lawan debat yang tangguh. Sangat tangguh. Adhi, dia bukan wanita sembarangan.
"Baiklah, terserah. Mbak, pesan satu steak sandwich, satu tuna sandwich dengan saus alpokat, dan satunya mushroom sandwich."
"Kenapa pesan tiga porsi?" tanya Regina heran.
"Untuk Pak Jono," jawab Adhinatha singkat. Kembali menoleh pada Regina, diaa kembali bertanya. "Mau minum apa?"
"Latte."
Adhi mengangguk. "Minumnya satu latte, satu hazelnut, dan satunya lagi americano. Semuanya dingin."
Waitress itu mencatat pesanan sembari membacakannya ulang. Setelah Adhi mengangguk mengkonfirmasi, dan dia membayar sejumlah tagihan, mereka pun berlalu ke konter pengambilan pesanan.
"Sekalipun kamu sangat gila kerja, jangan pernah telat makan, Regina. Tubuh itu disayang, dijaga, jangan sampai sakit. Mengerti?"
Regina cukup kaget mendengar ucapan Adhi yang tumben baik itu. Tapi kekagetannya itu seketika sirna begitu Adhi melanjutkan ucapannya. "Sakit lambung itu mudah kambuh. Dan kalau sampai kamu sakit lambung, nanti aku juga yang repot. Jadi bisa tolong kerjasamanya, ya, calon istri?"