Chereads / Ratu Sejati / Chapter 7 - Penuh Tanya

Chapter 7 - Penuh Tanya

Adhinatha menatap heran pada wanita di sebelahnya yang sudah tak beres kelakuannya. Dia bahkan tidak menyangka ada tipe orang yang langsung mabuk hanya dengan segelas alkohol.

Dia pikir Regina adalah tipe pemuda metropolitan yang akrab dengan klub malam demi menghilangkan penatnya urusan pekerjaan. Tapi melihat ini, Adhi langsung menarik prasangkanya, karena wanita itu jelas bukan termasuk tipe yang Adhi kira.

Regina sudah berhenti meracau. Kepalanya menunduk dan bibirnya diam sejak tadi. Adhi pikir wanita itu bahkan sudah tertidur. Ya, karena ada dengkuran halus yang bisa Adhi dengar dari jarak setengah meter itu.

Tapi begitu jemarinya menyentuh kepala wanita itu, si empunya mendongak. Walau sayu, mata itu masih bisa terbuka dan dia berusaha memicingkan matanya. "Dimas?"

Rahang Adhinatha mengeras. Harga dirinya tersentil saat Regina bahkan tidak bisa mengenalinya sama sekali.

Apa tadi? Dimas? Bisa-bisanya aku disamakan dengan pria lain.

Adhinata menarik tangannya dari kepala wanita itu saat suara baritone yang memanggil nama Regina menginterupsi kegiatannya. Dia menoleh, menemukan pria dengan jaket parka hijau dan celana training panjang terlihat begitu ngos-ngosan.

'Apa pria ini habis lari dari rumahnya?' batin Adhi bertanya-tanya.

"Anda Dimas?" tanya Adhi membuat pria itu mengangguk.

"Saya Dimas, sekretaris pribadi Bu Regina. Beliau menelepon saya tadi," tambah Dimas memberi penjelasan. Adhinatha mengangguk meraih lengan wanita itu agar berdiri. Regina sempat menggeliat, menolak tarikan Adhinatha pada lengannya. Tapi tenaga wanita terlebih sedang mabuk jelas bukan tandingan Adhinatha.

"Ayo, pulang."

"Aku sama Dimas. Aku pulang sama Dimas saja."

Adhinatha memutar matanya malas. "Pulang bersamaku, Regina."

Wanita mabuk itu mendelik sebal. "Kamu siapa, sih? Kok maksa?!"

Mengabaikan penolakan Regina, Adhinatha meraih wanita itu agar berdiri. Meski mabuk, Regina berusaha memberontak dan berhasil. Walau akhirnya wanita itu terhuyung dan jatuh lagi ke sofa empuk itu.

Dimas yang sejak tadi diam, mencoba meminta atensi. "Biar saya yang antar Bu Regina aja, Pak," usulnya pelan membuat Adhinatha menoleh.

"Dia pergi sama saya, jadi harus pulang sama saya juga."

"Saya bisa membawa Ibu Regina pulang dengan aman dan selamat, kok, Pak, kalau itu yang bapak takutkan. Saya juga sudah memesan supir pengganti, jadi Bu Regina akan aman sama saya."

Adhinatha menggeleng pelan. "Dia pulang sama saya, Dimas."

Menghela napas, Dimas pun menatap Regina yang masih bicara sendiri —meracau tidak jelas.

"Tapi Bu Regina bahkan tidak mau disentuh sama anda," lirih Dimas dengan senyum samar. "Bagaimana bisa anda bawa Bu Regina dengan kondisi dia memberontak sekuat tenaga begitu?" sambungnya yang membuat Adhinatha mendelik sebal.

Kalimat Dimas sukses menyentil ego pria itu. Adhinatha diam, bahkan saat Dimas dengan mudah menyentuh lengan calon tunangannya dan membantu wanita itu berdiri. Kini, tangan Dimas dengan bebas menyentuh bahu Regina, yang benar-benar setengah sadar tapi masih bisa menurut akan ajakan pria itu.

"Bagaimana kalau Regina diapa-apakan dan dia sama sekali tidak menolak?" batin Adhinatha masih curiga. Meskipun dia tau Dimas adalah sekretaris pribadi wanita itu, tetap saja, batinnya merasa was-was terlebih wanita itu dalam kondisi mabuk luar biasa hanya karena segelas alkohol.

"Baiklah saya ikut." Adhinatha akhirnya memutuskan, yang mana langsung mendapat tatapan tidak.percaya dari Dimas.

"Serius, Pak?"

"Apa saya terlihat main-main?"

Tidak berusaha mendebat lagi, Dimas mengangkat bahu acuh. Dibimbingnya atasan wanitanya itu yang benar-benar mabuk parah.

Keduanya keluar dari klub malam itu dengan Dimas berjalan memimpin dan Adhinatha yang berjalan di belakang dengan tatapan siaga. Matanya mendelik tak suka setiap kali wanita itu berjalan sempoyongan dan menubruk sekretaris wanita itu.

"Dia benar-benar mabuk, tidak, sih?" gerutunya pelan.

Di depan mobil wanita itu sudah berdiri bapak-bapak dengan jaket hitam tengah merokok. Pria itu tersenyum begitu tiga orang itu menghampiri mobil.

"Saya Supri, supir pengganti yang tadi ditelepon sama Pak Dimas," ujarnya membuat Dimas tersenyum.

"Saya Dimas. Pak Adhi, kuncinya bisa berikan pada Pak Supri?" Adhi awalnya menatap sebal Dimas. Bisa-bisanya pria itu menyuruh seorang Adhinatha? Benar-benar tidak tau siapa Adhinatha, eh?

Dengan jengkel, Adhinatha memberikan kunci mobil Regina pada supir pengganti itu. Begitu Dimas mengitari mobil setelah mendudukkan Regina di kursi penumpang, Adhinatha ikut mengitari mobil dan berhenti di depan pintu yang nyaris tertutup.

"Dimas," panggilnya membuat Dimas yang sudah mencari posisi duduk nyaman di sebelah Regina langsung mendongak. "Apa kamu lupa siapa posisimu di sini?"

Dimas masih mengernyit seolah tidak paham maksud kalimat Adhi. "Saya duduk di belakang. Di sebelah calon istri saya." Bahkan Adhinatha mengucapkan frasa yang sangat menggelikan baginya. Calon istri? Adhinatha ingin tertawa keras. Apalagi nada penuh penekanan yang super duper tidak tau tempat itu. Seolah, dia begitu menerima dengan senang hati perjodohan itu saja.

"Duduk depan!" perintah itu tidak bisa diganggu gugat. Adhinatha bahkan tak mengendurkan raut wajahnya sama sekali, masih menatap dingin Dimas hingga pria itu akhirnya turun dan pindah duduk di depan, di samping supir.

"Lain kali, ingat siapa posisimu, Dimas. Jangan terlalu mengambil kesempatan dekat-dekat dengan bosmu ini. Regina tetaplah wanita, bukan?" Dan kalimat itu sukses membuat Dimas bungkam dan tak bisa lagi menyanggah.

Perjalanan pulang itu hening sekali. Regina sudah terlelap dengan dengkuran halus yang terdengar samar. Wanita itu sudah berhenti beracau, sudah berhenti bergerak dan benar-benar hanya terlelap menyandarkan kepala pada kaca di sebelahnya.

Adhinatha masih berkutat dalam pikirannya. Masih begitu merutuki kelakuannya yang sama sekali tidak ada elit-elitnya itu. Apalagi kalimat yang sangat kekanakan tadi. Kalau bisa, Adhinatha ingin sekali memutar waktu dan menghapus bagian tadi.

Tapi sisi lain dirinya merasa yang dia lakukan itu sudah benar. Ya, memang wanita itu calon istrinya, bukan? Suka tidak suka, Adhinatha harus menerima perjodohan itu kalau tidak ingin posisinya direnggut oleh ayahnya. Ah mengingat ancaman ayahnya, Adhinatha tau, ayahnya itu —Prabu Aryasatya, tidak akan pernah main-main dengan ancamannya.

Tapi menikah, terlebih dengan wanita yang baru dikenalnya, yang benar saja? Adhinatha bahkan masih tidak menyangka jalan hidupnya akan disetir sebegininya oleh ayahnya. Dia tak menyangka, kebebasan dirinya dalam memilih jalan hidup bahkan nyaris tidak ada. Dari dulu, semuanya sudah diatur seperti peta kehidupan yang sudah dirancang tanpa perlu Adhinatha memusingkan apapun. Ya dia tak perlu memusingkan apapun karena toh tidak ada yang perlu dipikirkan atau diputuskan. Sudah ada orang lain yang melakukan itu untuknya yaitu ayahnya.

Mungkin jumlah keturunan yang akan dia hasilkan juga ayahnya akan turut andil. Berapa pria itu ingin cucu darinya? Dua? Tiga? Lima?

Adhinatha mendesah keras.

Mobil itu akhirnya berhenti di depan rumah mewah berwarna putih yang terlihat mengusung nuansa Eropa. Begitu mobil sampai di depan gerbang, Dimas menurunkan kaca jendela dan melongokkan kepala pada pos satpam.

"Eh, Mas Dimas. Nganter Non Gina, ya?" sapa satpam rumah itu yang terlihat cukup akrab dengan Dimas.

"Iya, nih, Pak."

"Bentar saya bukain dulu gerbangnya, Mas."

Benak Adhinatha bertanya-tanya. Seberapa sering Dimas mengantar wanita ini pulang dalam keadaan mabuk, sebenarnya? Bagaimana bisa sampai-sampai satpam rumah ini seakrab itu dengan sekretarisnya?

Tapi pertanyaan itu hanya berputar di kepala karena nyatanya sampai Dimas keluar dan supir pengganti itu keluar, Adhinatha masih duduk dengan kening menyernyit.

"Bapak nggak turun?"