Sudah beberapa hari ini Lavina selalu berkirim pesan dengan Kai. Terkadang sampai lewat pukul sepuluh malam pun mereka masih saja berkirim pesan. Bahkan sampai tengah malam. Lavina yang tak terbiasa tidur malam, kini sudah seperti menjadi kebiasaannya. Hobi barunya dengan Kai. Begadang untuk chatting.
Walaupun awalnya Kai yang terus menerus mengirimi pesan, lama-lama Lavina pun juga memberanikan diri untuk mengirimi Kai pesan duluan. Apalagi, semenjak kemarin malam Kai sudah tidak terlalu merespon pesan dari Lavina. Balasan yang tadinya cepat, menjadi sangat lama. Lavina mengirimnya dari siang, Kai membalasnya sore atau malam. Lavina yang beberapa hari ini mulai terbiasa dengan manusia ganteng tapi aneh itu merasa kesepian lagi.
Ingin rasanya ia curhat pada Dania, karena Dania lah yang tahu bahwa Lavina saat ini dekat dengan Kai. Lagipula, siapa tahu kan Dania tahu Kai sedang sibuk apa? Sebenarnya bukan hanya Dania saja yang tahu tentang kedekatannya dengan Kai, tapi Aisha juga. Namun karena Aisha belum pernah bertemu dan tidak kenal dengan Kai, mana mungkin dirinya bisa mengorek informasi lebih jauh darinya?
Kini ia sudah duduk di meja langganannya. Mood Cafe. Ini hari libur, jadi Lavina memutuskan untuk bertanya langsung pada Dania. Daripada harus melalui chat, yang harus di ketik panjang lebar. Bisa sih memakai voice note. Tapi, gimana ya? Lebih enak ketemu langsung aja gitu.
Tak harus menunggu lama, selang waktu satu menit Dania muncul. Ia langsung melangkahkan kakinya ke meja ia biasa bersama Lavina.
"Gimana? Lo mau tanya apa ke gue?" tanya Dania setelah duduk sembari merapikan rambutnya.
"Pesen minuman dulu deh." Lavina memanggil pelayan untuk meminta daftar menu.
"Saya pesen minuman red velvet satu ya mba. Gak pake es," ucap Lavina pada pelayan. Sepertinya itu pelayan baru. Ia belum pernah melihatnya di kafe ini.
"Lo mau pesen apa, Dan?" tanya Lavina.
"Gue Greentea aja deh."
"Oke, berarti red velvet dan greentea ya mba." Pelayan itu mengangguk paham, lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
"Jadi?" Dania bersedekap untuk mendengar curhatan dari Lavina.
"Jadi, mulai dari kemarin malem tuh dia slow respon sama chat gue. Biasanya tuh dia fast respon kalo ada chat dari gue." Lavina menunjukkan ekspresi kecewanya terhadap balasan chat dari Kai.
"Lo udah mulai nyaman ya sama Kai?"
Lavina tampak berpikir, lalu menggeleng. "Gue nggak tahu."
"Terus, kenapa ekspresi lo kayak kecewa gitu?"
Lavina berdecak, "ya lo pikir aja! Beberapa hari belakangan lo selalu ditemenin sama dia lewat chat. Terus ketika lo udah mulai terbiasa, dia malah ngilang!"
"Hm …," Dania mengetuk-ngetuk jari telunjuknya di atas meja, sedangkan tangan lainnya menyangga dagunya.
"Gue rasa gue tau dia kenapa." Dania merogoh sling bag-nya untuk mengambil ponselnya. Ia membuka aplikasi WhatsApp, lalu masuk ke room chat-nya dengan Saka. Ia men-scroll chat-nya dengan Saka, lalu berhenti setelah menemukan chat yang tengah ia cari.
"Nih, coba baca deh." Dania memberikan ponselnya pada Lavina supaya Lavina bisa membaca pesan dari Saka.
Aku sama Kai lagi ada tugas praktik lapangan, Dan. Jadi kemungkinan aku bakalan sibuk banget beberapa hari kebelakang.
Lavina mengernyitkan dahi setelah membaca pesan Saka. Praktik lapangan? Emang ada ya yang begituan untuk anak SMA? Atau mereka anak SMK?
"Mereka anak SMK?" tanya Lavina pada Dania dengan polos.
"WHAT?" Dania menggebrak meja dan suaranya sangat melengking, membuat pengunjung kafe melihat ke arah mereka. Matanya hampir keluar tak percaya mendengar pertanyaan Lavina barusan.
"Berisik woy! Kenapa sih? Ada yang salah sama gue?" tanya Lavina bingung.
"Seriusan, lo nggak tahu?" tanya Dania penasaran.
"Tahu apa sih? Lo kok gak nyambung gitu!" ucap Lavina dengan kesal.
"Mereka itu udah kuliah Lav! Semester lima lagi!"
"WHAT?" Kini giliran Lavina yang membuat keributan di kafe. ia menggebrak meja, sama seperti apa yang Dania lakukan tadi. Matanya terbelalak. Suaranya terlalu melengking, membuat pengunjung kafe berbisik-bisik sembari melihat ke arah mereka. Ada juga yang menatap mereka dengan sinis. Namun ia tak peduli. Kini ada yang lebih penting dari itu. Apa tadi katanya? Kuliah? Berarti selama ini yang dia kenal sebagai Kai adalah mahasiswa semester lima dong? Dan kalau di ingat-ingat lagi, selama ini ia tak pernah memanggilnya dengan embel-embel 'kak'.
"Oh my God! Selama ini gue kira mereka seumuran sama kita! Duh gue ga sopan banget dong kalo gitu. Lagian si Kai— maksud gue, Kak Kai nggak ngomong apa-apa. Jadi gue kira ya dia sama Kak Saka sama-sama anak SMA kayak kita!" ucap Lavina terlihat sangat panik.
"Aduh gimana dong! Duh! Nanti kalo dia ngira gue ga sopan gimana!" Lavina merengek sembari menggoncang-goncang tangan Dania yang ada di atas meja. Dania mencoba melepaskan tangannya dari cengkraman Lavina, namun sepertinya Lavina tidak mau melepaskannya.
"Sante aja kali Lav. Dia kan ga pernah bilang sama lo kalo dia udah kuliah. Ya pasti dia ngerti lah kenapa selama ini lo ga pernah manggil dia dengan embel-embel 'kak'," ucap Dania menenangkan Lavina. Lavina agak sedikit terpengaruh dengan ucapan Dania. Namun tetap saja. Ia masih merasa tak enak hati!
"Aduh, ga bisa nih kalo begini." Lavina memegang kedua sisi kepalanya. Kemudian mengacak-acak rambutnya sendiri.
"Tapi bentar. Kok lo bisa kenal sama mereka sih? Gimana ceritanya woe!"
"Gue sih sempet ketemu sama Saka karena dia salah satu temennya temen kakak gue. Dia pernah main ke rumah buat ketemu sama kakak gue."
"Kenapa Kak Saka gak deket sama kakak lo aja? Kenapa dia gak suka sama kakak lo aja? Kenapa dia gak tertarik sama kakak lo aja? Kenapa dia—"
"STOP!" Dania menghentikan pertanyaan Lavina yang sangat banyak dan beruntun itu. Lavina lalu mengatupkan kembali mulutnya. Diam untuk menunggu jawaban Dania.
"Ya namanya juga perasaan, Lav. Gabisa di paksain dong? Lagian lo lupa atau pikun sih? Kakak gue cowok semua woy! Ya kali mereka homo?" ucap Dania dengan histeris. Tidak menyangka hanya karena hal seperti ini sahabatnya menjadi sedikit gil— kurang fokus.
"Oh iya kakak lo kan cowo ya." Lavina menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal. Sementara Dania hanya memutar bola matanya malas. Lavina ini kalau udah panik, suka ga berpikir panjang. Semuanya aja di lupain.
Minuman yang mereka pesan kini sudah datang. Lalu pelayan itu memberikan bill pada Lavina yang langsung diterima olehnya. Ia lalu mengeluarkan dompetnya, begitu juga dengan Dania. Lalu mereka pun membayarnya. Mereka berdua memang selalu membayar pesanan mereka masing-masing. Jarang sekali untuk saling traktir-mentraktir. Sekalipun iya, itu hanya jika salah satu dari mereka tidak mempunyai uang receh. Mereka ingin belajar tidak terlalu bergantung pada orang lain. Meskipun itu sahabat sendiri.
Setelah pelayan itu pergi, mereka menyesap minumannya. Dania menyesap minumannya dengan ekspresi bak komentator dalam kompetisi masak seperti di TV. Aroma greentea yang membuatnya tenang itu merebak masuk melalui lubang hidungnya. Sementara Lavina, ia menyesap minumannya dengan sangat hati-hati. Sebab di atas minumannya ada latte art yang sudah di buat oleh mas barista. Rasanya sayang kalau latte art sebagus itu harus rusak hanya karena tenggorokannya yang membutuhkan asupan air.

Saat sedang asik mengamati bentuk latte art minumannya, Dania tiba-tiba memukuli pelan punggung tangan Lavina.
"Lav, Lav! Liat ke pintu masuk deh. Itu Kai kan? Sama siapa tuh?" ucap Dania dengan heboh, namun suaranya tertahan. Perkataan Dania membuat Lavina langsung menengok ke arah pintu masuk kafe itu. Dan benar saja. Itu Kai. Dan? Siapa gadis cantik yang bersamanya? Mereka terlihat akrab sekali. Kai yang seperti tengah melihat-lihat sekitar pun langsung tak fokus ketika gadis di sampingnya menggoyang-goyangkan lengannya.
Lavina yang melihat kejadian itu pun langsung kembali ke posisi semulanya. Rasanya seperti ada sedikit sesuatu yang membuatnya menjadi badmood.
Seakan tahu mengapa sahabatnya menjadi diam seperti itu, Dania langsung berkata, "udah jangan nethink dulu Lav. Siapa tau itu temennya kan? Saudara? Sepupu? Tante? Atau malah adiknya. Jangan cemburu gitu."
"Siapa yang cemburu? Gue gak cemburu tuh," ucap Lavina dengan mengedikkan bahunya acuh—sedikit sebal—dan bibir yang mengerucut. Ia mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Dania hanya memandang malas pada wajah sahabatnya itu. "Lo tuh ya. Kalo suka ya bilang aja suka. Gausah pake bingung-bingung segala. Liat begituan aja panas lo!"
"Gue bilang, gue nggak cemburu. Ini karena kafe nya panas aja gue jadi agak badmood gini," ucap Lavina tetap mengelak.
"Ini kafe tuh dingin anjim! Banyak AC nya! Tuh liat!" ucap Dania sembari menunjukkan beberapa AC pada Lavina tetapi di acuhkan olehnya. Dania gregetan sekali dengan Lavina. Darimana panasnya coba kalau di dinding kanan dan kiri mereka terpasang AC!
Lavina hanya mengacuhkan sumpah serapah dari Dania yang kesal dengannya. Entahlah. Tiba-tiba ia menjadi tak bersemangat untuk beradu mulut dengan manusia di depannya. Ia juga jadi merasa kesal dengan manusia ganteng tapi aneh itu.
"Loh kok mereka udah ga ada di depan pintu masuk? Mereka kemana? Duh gue kehilangan jejak mereka nih! Gara-gara lo sih!" ucap Dania yang menyalahkan Lavina sembari menunjuk-nunjuk.
"Kok gue?" tanya Lavina bingung.
"Oh itu mereka duduk! Ih tapi itu kenapa tangan si cewek ga lepas dari tangan Kai sih?" Dania heboh sendiri tak mempedulikan manusia yang ada didepannya. Sementara Lavina hanya diam mendengarkan ocehan sahabatnya yang tengah berperan bak orang yang tengah menyamar untuk menyelidiki kedua orang itu.
"Eh itu kayaknya si Kai sama ceweknya langsung cabut deh," ucap Dania sembari mengamati interaksi keduanya. Sementara Lavina hanya masa bodoh, namun tetap mendengarkan penuturan Dania. Matanya menatap lurus wajah Dania yang masih memperhatikan Kai dan si cewek itu.
"Wah tebakan gue salah! Mereka duduk lagi tuh Lav!" Dania masih terus mengikuti gerak-gerik Kai dan gadis yang bersamanya.
Lavina masih diam.
"Eh, mereka duduk ga jauh dari kita tau Lav!"
"Eh, kok itu ceweknya megang-megang tangan Kai sih?!"
"Loh itu ngapain itu! Ceweknya ganjen banget sih!"
Lavina yang geram dengan semua ocehan Dania memutuskan untuk bangkit dari duduknya. Ia akan pergi ke toilet sebentar, untuk buang air kecil dan menetralisir telinganya dari suara-suara Dania yang membuat dirinya semakin badmood.
Namun Dania langsung menyadarinya dan mencekal tangan Lavina. Membuat kedua tangan itu menjatuhkan minuman milik Dania ke atas meja. Mereka berdua pun menjerit. Membuat pengunjung toko lagi-lagi melihat ke arah mereka berdua. Dan juga … Kai pastinya.