Seorang gadis feminim berjalan dengan santai di area fakultas kampusnya. Ia tampak sibuk dengan ponsel yang ada di genggamannya. Semilir angin menyentuh rambut panjangnya yang digerai. Terkadang rambut itu sampai menutupi wajahnya, kemudian ia benarkan ke posisi semula. Ada sesuatu yang membuatnya memiliki banyak pikiran akhir-akhir ini.
Gadis yang disukai Kaizo.
Entah sejak kapan Kaizo menyukai gadis itu. Tapi semenjak kejadian di kafe itu, ia menjadi sedikit tahu. Itu karena gadis yang Kaizo sukai tidak seperti gadis-gadis cantik lainnya yang pernah dekat dengan Kaizo. Ghea tahu semua. Ghea tahu siapa saja yang pernah dekat dengan Kaizo.
Kalau boleh jujur, ia tidak mau menyimpan perasaan seperti ini. Perasaan yang mungkin seharusnya tidak ia miliki. Ghea meletakkan ponselnya ke dalam tas kecil yang tengah ia bawa lalu duduk di salah satu kursi fakultas. Obrolannya dengan orang itu membuatnya buntu. Ia tak tahu harus apa. Ia ingin melakukan yang terbaik namun juga tak ingin kehilangan orang yang ia sayangi. Kini ia menatap kosong pandangan yang ada di hadapannya. Banyak mahasiswa dan mahasiswi yang berlalu-lalang.
Sampai sejurus kemudian datang seorang laki-laki bertubuh jangkung mendekat dan duduk disamping Ghea. Ghea menoleh sesaat namun langsung mengalihkan perhatiannya kembali seperti semula.
"Ngapain kesini?"
"Emang gue gak boleh duduk disini? Ini tempat umum kali, Ghe." Lelaki itu menjawab sembari menumpu kedua lengannya di atas paha, lalu mengamati wajah Ghea.
"Lo kenapa? Mikirin Kaizo lagi?" tanya lelaki itu tepat sasaran.
Ghea sebenarnya malas meladeni Danis—lelaki yang saat ini tengah bersamanya. Danis adalah temannya sejak SMA, mereka dulu adalah partner di organisasi. Lelaki bertubuh jangkung, dengan kulit putih bersih, hidung yang mancung, alis yang rapi, tak lupa wajahnya yang kecil namun terlihat sangat tampan. Danis adalah lelaki yang populer saat SMA, tapi dia memang bukan playboy yang bisa menerima banyak perempuan ke dalam hidupnya. Sampai suatu hari, Danis menceritakan suatu hal yang tidak dapat dipercaya. Dia menyukai seorang gadis! Tetapi itu seolah hanya pertemuan singkat saja. Sampai sekarang pun keduanya tidak tahu dimana keberadaan gadis itu.
"Danis, gue tiba-tiba keinget cewek yang lo suka dulu waktu kita masih SMA." Danis terlihat terkejut dengan ucapan Ghea barusan.
"Kenapa tiba-tiba bahas itu?" tanya Danis tak mengerti. Ia mengubah posisi duduknya.
"Gak tau, gue tiba-tiba kepikiran. Gue juga kan belum pernah lihat muka cewek itu. Cantik gak sih?"
Danis menengadahkan kepalanya, lalu tangannya ia tumpu di belakang kepala. "Cantik, lah." Ia tersenyum ketika mengingat wajah gadis yang ia sukai dulu, bahkan, mungkin masih ia sukai hingga sekarang.
"Udah lama banget, tapi kayaknya gue masih suka sama itu cewek."
"Kayak gimana sih mukanya?"
"Cantik."
"Ya gue tau kalo dia cantik anjir! Tapi kan gue gak tau wajah cantiknya itu kayak apa! Lo ada gak fotonya?"
"Nggak, gue gak punya. Lagian dulu gue cuma ketemu di halte, dia nya aja kayaknya gak liat kalo ada gue disitu. Dulu dia masih SMP."
"Cuma ketemu di halte, kenalan aja kagak. Tapi cintanya sampe sekarang, lo setia banget ya." Ghea tertawa tulus setelah berkata demikian. Danis memang bukan tipe cowok yang suka macam-macam. Mungkin cewek mana saja yang berteman dekat seperti dirinya saat ini akan jatuh cinta pada Danis. Tapi entah kenapa Ghea hanya menanggap Danis sebagai teman ataupun sahabat. Tidak pernah lebih. Begitu pula dengan Danis.
Mereka berdua seakan mematahkan pepatah yang mengatakan bahwa, 'lelaki dan perempuan itu tidak ada yang murni berteman 100%'
Padahal, nyatanya ada juga yang tidak seperti itu.
"Gue juga gak tahu kenapa gue bisa jatuh cinta sama itu cewek sampe sekarang."
"Hm, tau gak sih, Nis? Kaizo lagi suka sama cewek. Namanya Lavina." Danis sedikit tersentak mendengar penuturan dari Ghea.
"Si Kaizo? Kapan dia deket sama ceweknya?"
"Gak tahu. Dia gak cerita sama gue."
Fyi, Danis juga merupakan salah satu teman Kaizo juga.
"Lo punya fotonya?" tanya Danis penasaran.
"Enggak. Tapi gue sempet cari Instagram-nya." Ghea langsung mengeluarkan ponselnya dari tas kecilnya. Lalu segera membuka aplikasi Instagram dan mencari di kolom pencarian.
"Ketemu! Nih, liat sendiri aja." Ghea kemudian memberikan ponselnya pada Danis supaya Danis dapat melihatnya sendiri dengan jelas.
Betapa syok-nya Danis ketika melihat akun Instagram tersebut, yang berisi tiga foto sang empunya. Danis tidak menyangka, Danis tidak tahu harus berbuat apa, dan Danis tidak tahu harus merespon apa. Waktu seketika seperti berhenti untuk beberapa saat sebelum Danis kembali dengan kesadarannya. Ia kemudian mengembalikan ponsel Ghea, masih dengan raut wajah yang sedikit terkejut.
"Lo kenapa? Kayak yang kaget gitu."
"Enggak. Gak papa. Gue cuma terkejut aja sebentar karena ceweknya cakep banget." Danis menutupi keterkejutannya. Yang dia ungkapkan memang tak sepenuhnya bohong. Gadis itu memang sangat cantik. Tapi hal yang sebenarnya membuat ia terkejut adalah ... entahlah, dia juga harus memastikannya sendiri.
"Lo udah kenal sama itu cewek?" tanya Danis mengalihkan perhatian.
"Belum, gue baru pernah ketemu sekali di Mood Cafe, waktu lagi kesana bareng Kai."
"O-oh. Orangnya juga suka kesitu? M-maksud gue, si Lavina ini."
"Mana gue tahu. Iya kali? Itu kafe kan emang laris banget sama anak muda."
"Ooh. Waktu itu lo ketemu dia kapan? Kok bisa kalian ketemu?"
"Ya waktu itu gue sama Kaizo disana mau makan aja, gue yang ajak Kaizo. Terus tiba-tiba ada insiden gitu deh, mereka teriak keras gara-gara gelas yang kesenggol mau jatuh. Pas nengok, ternyata itu cewek yang lagi deket sama si Kai. Kai nyamperin, jadi gue ikut dia. Dan disitulah gue tahu kalau namanya Lavina dan orangnya kayak apa," jelas Ghea panjang lebar pada Danis, sedangkan Danis hanya menganggukkan kepalanya saja.
"By the way, lo kok nanya sampe se-detaile itu sih? Kenapa? Jangan-jangan itu cewek yang lo suka ya?"
Deg.
Pertanyaan Ghea tepat sasaran. Tapi Danis tidak semudah itu untuk mengakui kebenarannya. Ia melakukan jurus andalannya.
"Hah? Ya kagak lah! I just want to know because Kaizo suddenly has a close girl friend besides you!"
Iya, jurus andalannya adalah nge-les.
Ghea hanya memutar bola matanya malas. Dia tahu kebiasaan Danis, tapi juga tidak mau ambil pusing. Ia segera berdiri dari tempatnya, lalu membalikkan badan ke arah Danis. Danis pun secara reflek mendongakkan kepalanya.
"Gue mau ke kantin. Lo ikut gak?"
Danis menatap manik mata Ghea sebentar, lalu mengangguk. "Hayuk! Let's go! meluncurr!"
Danis berdiri dari duduknya lalu berjalan cepat mendahului Ghea.
"Eh, Danis Bagong! Tungguin gue anjir!" Ghea berteriak sembari mengejar langkah cepat dari Danis. Sementara Danis hanya menahan gelak tawanya melihat temannya itu.