Chereads / Diaforά / Chapter 8 - DELAPAN

Chapter 8 - DELAPAN

Pagi ini, Lavina sedikit terlambat sampai di sekolah. Ia buru-buru turun dari motornya dan melepaskan helm lalu berlari keluar area parkir. Bunyi bel sekolah yang menandakan bahwa pelajaran akan di mulai sudah menggema di seluruh antero sekolah, Lavina mempercepat larinya. Ia sedikit kesulitan karena totebag yang berada di tangan kanannya, kemudian memutuskan untuk mendekapnya di depan dada. Jantungnya berdetak kencang, ia takut ada guru yang sudah memasuki kelasnya. Ketika sampai di depan kelas, Lavina mengintip sebentar melalui daun pintu. Ia bernapas lega dan langsung melangkahkan kakinya masuk dengan napas yang terengah-engah.

Dania yang melihat Lavina seperti itu pun bertanya, "tumben siang banget datengnya, Lav?"

Setelah duduk dan melepaskan tasnya, Lavina berbalik untuk mengambil buku di dalam tasnya sembari menjawab pertanyaan Dania, "iya, gue kesiangan."

Sejurus kemudian, wanita paruh baya berparas cantik, dengan tubuh sedikit kurus dan agak pendek, mengenakan jilbab dengan model kekinian datang. Beliau adalah guru matematika wajib kelas XII MIPA 1. Kelas Lavina dan Dania berada. Kelas dimana siswa-siswi dengan ranking paralel tertinggi di gabung menjadi satu.

Guru yang di kenal sebagai Bu Anggrek itu mengucapkan salam dan menyapa semua muridnya. Begitu pula dengan siswa-siswi yang berada dalam kelas tersebut menjawab salam beliau. Bu Anggrek terkenal killer akan tugas dan penilaian harian, tetapi meskipun begitu beliau adalah guru yang baik, menyayangi murid, dan ceria. Terbukti dengan sapaannya yang selalu menyebutkan 'selamat pagi, siang, sore, dan malam guys.'

Percaya saja, Bu Anggrek beneran selalu bilang kayak gitu tiap pelajaran akan di mulai.

Setelahnya, mereka semua memasuki materi statistika. Semua murid diam menyimak penjelasan dari Bu Anggrek. Raut wajah mereka terlihat serius, namun tetap ada yang diam-diam tidak memperhatikan. Ada juga yang tertidur, namun tidak lama karena Bu Anggrek segera menegurnya.

Pelajaran berlangsung selama sembilan puluh menit, dan kini bel pergantian pelajaran pun berbunyi. Bu Anggrek menyudahi pelajarannya dengan menutup dengan salam khas-nya, dan tak lupa memberi pekerjaan rumah. Lavina dan Dania menghela napasnya, sangat muak dengan tugas-tugas yang jumlahnya sangat banyak.

Setelah Bu Anggrek keluar, jeda beberapa menit karena guru pengampu mata pelajaran selanjutnya belum juga masuk. Lavina mengeluarkan benda pipih ber-casing tempered glass hitam dengan gambar BT21 dari kolong laci mejanya yang tadi pagi sempat ia pindahkan dari tas. Ia membuka ponselnya menggunakan sidik jari telunjuk kirinya, lalu masuk ke dalam aplikasi chat WhatsApp.

Ada beberapa pesan dari grup bidang olimpiade yang ia tekuni dan juga grup kelasnya. Ada juga sebuah chat dari nomor yang tak dikenalnya. Sebenarnya Lavina agak penasaran, tapi Ia biarkan saja pesan tersebut. Matanya teralihkan ketika melihat pesan dari pemuda yang akhir-akhir ini dekat dengannya. Ia segera membuka pesan tersebut dan membacanya.

Kamu sekolah? Yang pinter ya belajarnya🤗

Hatinya seperti di lempar banyak granat. Dadanya seakan meletup-letup hanya dengan membaca kalimat yang di kirim oleh lelaki itu.

Di bacanya satu pesan lagi, dan isinya membuat Lavina langsung mendengkus gemas.

Dengerin gurunya, jangan ngebayangin aku terus.🤣

Ibu jarinya bergerak di atas keyboard untuk membalas pesan dari Kaizo. Setelah selesai, ia mematikan kembali ponselnya lalu menaruhnya di kolong meja.

Sejurus kemudian, pria paruh baya berusia sekitar lima puluhan masuk ke dalam kelas. Guru tersebut sering di panggil dengan sebutan 'Pak Sar' karena namanya yang terlalu panjang—yakni Sartonawanto. Pak Sar adalah guru pengampu mata pelajaran sejarah indonesia.

Kelas mulai kondusif dan pembelajaran pun dimulai.

Kaizo baru saja sampai di kafe tempat ia dan Jilo bertemu. Jilo adalah teman kampus Kai sekaligus sahabatnya, sama seperti Saka dan Nando. Cowok bertubuh jangkung itu melangkahkan kakinya masuk ketika melihat sahabatnya mengangkat satu tangannya ke atas. Jilo duduk di pinggir jendela kafe, itu membuat Kaizo langsung bisa menemukannya karena sebenarnya setelah Kaizo memasuki area parkir kafe tersebut, Kaizo sudah melihat Jilo.

"Lo ngapain ngajak gue ke kafe, Ji?" ucap Kaizo sembari duduk di depan Jilo.

"Gabut."

"Astaga, lo gak ada kuliah apa gimana?"

"Bentar lagi. Gue mau ketemu sahabat gue dulu, kangen gue." Jilo tersenyum dengan raut wajah menjijikkan bagi Kaizo.

Kaizo langsung memasang tampang jijik dan berkata, "heh jangan ngadi-ngadi!"

Tapi setelahnya, mereka ber-tos ria ala-ala anak kecil dan tertawa. Puas ber-tos ria, Jilo melanjutkan bicaranya, "bego! Kita kan satu jurusan! Ngapain lo nanya lagi sih?"

Kai memasang wajah naif dan terkejut, mulutnya membentuk huruf "O" dengan mata melebar. "Hah? Oh iya, ya? Gue kok lupa."

Jilo hanya mencibir dan —terus— memaklumi kelakuan Kaizo yang sudah sangat biasa aneh itu. Sejurus kemudian, Kaizo mengambil benda pipih berwarna hitam dari dalam saku celananya dan membukanya. Ia melihat ada satu pesan masuk di layarnya.

"Pasti dia," batin Kaizo dengan tersenyum samar.

Dan benar saja, itu adalah pesan balasan dari Lavina. Kaizo langsung bergerak cepat untuk membuka pesan dari sang gebetan.

Bisa aja kak, wkwk. Oke, siap.👍

Pesan itu hanya ia baca, namun senyumnya tak luput dari wajahnya. Jilo yang sudah bisa menebak alasan mengapa sahabatnya terus tersenyum manis seperti itu hanya bisa memaklumi. Pasti karena gebetannya.

"Gimana hubungan lo sama si— siapa ya? Luv?" tanya Jilo pada Kaizo.

Kaizo langsung mengomel dengan mata membulat dan mulut yang mengerucut, "heh! Jangan panggil dia 'Luv'! Yang boleh panggil dia begitu cuma gue!"

Jilo mendelik sebal. "Gaya banget lo, Kai! Gue embat tau rasa, lo!" ucap Jilo sembari menyeringai.

"Berani lo kayak gitu sama gue?" tanya Kaizo segera dengan nada yang terdengar dingin dan juga raut wajah datar.

Jilo terdiam sejenak lalu menyeringai lagi dan berkata, "menurut lo?"

"Ngapain balik nanya?"

"Masa lo gak tau?"

"Tau apa?"

Jilo berdecak. "Ya mana mungkin gue nikung sahabat gue sendiri!" Tangan Jilo bergerak untuk memukul pundak Kaizo. Sedangkan Kaizo hanya mencibir dan memutar bola matanya malas.

Jilo berdiri dari kursinya dan melangkah menuju Kaizo. Ia menggeser duduk Kaizo dan merangkulnya. "Gue kan care sama lo. Jadi gue harap, lo sekarang bener-bener menemukan gadis yang lo cari-cari ya, Kai." Jilo berucap dengan tulus sembari menatap manik mata hitam milik Kaizo.

Ya, Jilo sangat peduli dengan Kaizo. Jilo adalah teman sekaligus sahabat Kaizo sejak SMA. Ia sudah tahu semua seluk-beluk Kaizo. Ia juga paham bagaimana kisah percintaan Kaizo selama ini. Mendengar sahabatnya jatuh cinta kepada seorang gadis adalah hal yang membuat Jilo senang sekaligus cemas. Ia senang karena akhirnya Kaizo menemukan gadis yang ia idam-idamkan, tetapi cemas karena takut hubungan mereka tak bertahan lama. Tapi ia hanya bisa berharap, bahwa hubungan sahabatnya dengan gadis yang disukai dapat berjalan dengan lancar dan lama.

"Doain aja, Ji." Kaizo tersenyum mesem sembari merangkul pundak Jilo. Mereka berdua akhirnya salong merangkul pundak masing-masing hingga akhirnya Jilo mengingat sesuatu.

"Kai! Kita kudu berangkat! Bentar lagi kelas dimulai!" Jilo bangkit dari duduknya lalu mengambil tasnya, disusul oleh Kaizo. Mereka langsung lari keluar kafe dan masuk ke dalam mobil masing-masing lalu melesat dengan cepat.

Terik matahari sudah mulai berkurang, kini jadwalnya para siswa untuk pulang. Bel sudah berbunyi sejak lima menit yang lalu, tetapi dua siswi ini malah duduk di kursi panjang depan kelas mereka. Mereka mengamati siswa-siswi yang berlalu lalang, ada yang akan berurusan dengan organisasi, ada yang akan mengikuti ekstrakurikuler, ada juga yang langsung pulang.

Lavina dan Dania hanya bisa menatap siswa-siswi tersebut dengan pandangan kosong. Seperti ada beban yang ada di dalam pikiran mereka. Bukan seperti lagi, tapi memang iya itu adalah beban. Pasalnya, mereka diberi tugas untuk praktikum dengan dua mapel yang berbeda, dan harus dikumpulkan keesokan harinya.

Nikmat kejam mana lagi yang kau dustakan dari gurumu?

—ehe aku bercanda ya, jangan di hujat :v

Lavina menghela napasnya berat, lalu memutuskan untuk bangkit dari duduknya dan berjalan masuk ke kelas. Dania hanya mengamati lalu mengikutinya dari belakang. Mereka membereskan buku yang berserakan di atas meja dan memasukkannya kedalam tas.

Lavina kini tengah memakai jaketnya dan tiba-tiba teringat sesuatu. Kunci motor. Ia langsung merogoh saku jaket yang dipakai, namun tak menemukannya disana. Raut wajah Lavina yang semula datar berubah menjadi panik. Ia menepuk-nepuk seluruh badannya mulai dari pinggang, perut, kemudian paha. Namun nihil. Ia tak kunjung menemukan kunci motornya.

"Dan! Liat kunci motor gue gak? Ilang nih!" ucapnya dengan panik sembari menggeledah isi totebagnya, barangkali terselip disana.

"Ha? Enggak tuh, lo dari pagi gak ngeluarin, kok."

"Aduh, gimana nih. Kuncinya gak ada!" Lavina masih panik. Kini ia sedang menggeledah isi tasnya.

"Coba di cari dulu yang bener, Lav."

"Aduuh. Udah nih, gue udah nyari! Gak ada!" Raut wajah Lavina semakin kusut, ia sangat panik. Kalau kunci motornya tidak ada, nanti dia pulang sama siapa!

Dania mencoba untuk mengecek kembali totebag dan tas Lavina. Namun, yang ia dapatkan pun sama—nihil.

"Coba deh, lo inget-inget. Lo tadi pagi ngejatuhin kuncinya gak?"

Lavina berusaha mengingat-ingat, namun rasanya ia tak menjatuhkan kuncinya. Ia tak merasa mendengar ada suara dentingan kunci yang jatuh.

Lavina menggeleng kemudian menjawab, "enggak. Gue gak jatuhin. Gue yakin tadi pagi udah gue taruh di saku jaket gue. Kayak biasanya!"

"Yaudah, hayuk di cari dulu. Kita telusuri jalan dari kelas ke parkiran." Dania memberi usul yang langsung disetujui oleh Lavina. Keduanya sibuk  memperhatikan lantai dan sekelilingnya, harap-harap bisa menemukan kunci motor sialan yang hilang itu.

Saat sampai di parkiran, mereka memutuskan untuk menghampiri motor Lavina. Mereka mengeceknya, takut-takut kuncinya terjatuh di sekitar motor. Namun, tiba-tiba ada ibu penjaga kantin yang datang dan berkata, "kalian nyari kunci ya?"

Lavina yang terkejut sontak menganggukkan kepalanya. Ibu itu melanjutkan kalimatnya, "nih. Ini punya kamu?" ucap Ibu kantin tersebut dengan menyodorkan kunci motor milik Lavina. Lavina yang senang melihat kunci motornya sudah ditemukan pun langsung berbinar-binar.

"Ya Allah. Iya, Bu! Ini punya saya, makasih ya, Bu." Lavina kegirangan setelah mendapatkan kunci motornya kembali.

"Iya, sama-sama. Lain kali, di cek dulu. Tadi pagi, motornya masih nyala dan kuncinya masih tergantung. Untung ada pak satpam yang melihat, jadi kuncinya dititipkan ke saya."

Lavina langsung teringat akan kecerobohannya, ia langsung tersenyum canggung dan meminta maaf kepada ibu penjaga tersebut. Setelahnya, mereka berdua pun kembali ke kelas untuk mengambil barang-barang.

"Huft, ternyata gue yang ceroboh! Gara-gara kesiangan sih!" ucap Lavina menggerutu sembari memanyunkan bibirnya dan menyudutkan alisnya.

Dania tertawa. "Makanya, jangan langsung trabas dong! Yang lo bilang udah lo taruh di saku, pasti cuma khayalan lo doang, deh! Gara-gara lo keburu-buru!"

"Hmm, lain kali gak bakal kayak gini lagi, deh. Capek panik gue."

Dania hanya merespon dengan tertawa. Lalu Lavina kembali berkata, "kalo ni kunci sampe ilang," ia menjeda kalimatnya dengan menyodorkan kunci motornya di depan matanya. "Gue bakal pulang sama siapa coba?"

Dania melirik ke arah kunci itu, lalu menjawab enteng, "Kak Kai."

Lavina langsung membulatkan matanya. "Buset, yang bener aja! Jangan ngomong jelas gitu dong! Pake inisial kek!"

"Lah, terus kalo mau pake inisial, disebut siapa?"

"Emm ...,"

"Bingung kan, lo?"

"Iya juga, sih." Lavina terkekeh pada akhirnya. Ia kemudian mengambil ponsel dari saku roknya dan membukanya. Ia membuka pesan yang masuk.

Lavina tersenyum simpul setelah membaca isi pesan tersebut. Ia segera membalasnya, dan setelah itu ia masukkan kembali ponselnya ke dalam saku roknya. Ia kembali menatap ke depan sembari sesekali tersenyum tipis. Dania yang melihat Lavina seperti itu pun mengerutkan keningnya.

"Kenapa, lo?"

Lavina menoleh. "Hm?" jawabnya masih dengan senyuman tipis.

"Lo kenapa senyam-senyum kayak gitu?"

"Lho, keliatan, ya?" Lavina malah bertanya balik.

Dania mengarahkan pandangannya kedepan kemudian mendengkus. Sementara Lavina tetap memperhatikan gerak-gerik Dania. Lalu Dania balik menatap wajah sahabatnya lagi.

"Keliatan, sayang."

"Hehehe." Lavina hanya bisa terkekeh. "Gak papa." Lanjutnya.

Dania membiarkan Lavina yang sepertinya sedang jatuh cinta. Ia sebenarnya sudah bisa menebaknya. Pesan siapa yang barusan di balas oleh Lavina pun Dania tahu. Diam-diam Dania tersenyum tipis. Ia sangat mengharapkan sesuatu itu.