Motor matic warna merah gue, menerobos kemacetan ibu kota pagi itu. Akhirnya gue tiba disebuah perumahan elit di salah satu kawasan ibu kota Jakarta yang letaknya satu jam dari perumahan mba gue yang sama elitnya. Gue sudah terbiasa dengan rumah besar dan mewah. Gue inget pertama kali mba Andriana pacaran, waktu itu mba gue baru satu tahun bekerja di sebuah bank swasta dan gue baru masuk kuliah, sedang abang gue Johan baru saja menikah. Dia lebih memilih tinggal bersama mertuanya.
Setelah kedua orang tua meninggal gue yang waktu itu baru lulus SMP, sedang bang Johan Kuliah semester ketiga dan mba Andriana baru masuk kuliah di universitas berbeda. Memang bedanya 3 tahun saja dari kakak pertama, kedua dan gue. Kami diliputi kebingungan atas kejadian tak terduga ini, mobil mereka menabrak truk ketika perjalanan pulang dari luar kota. Keduanya sempat mendapat perawatan selama seminggu sebelum akhirnya meninggal dengan jam berbeda.
Bang Johan memutuskan untuk menjual rumah warisan, mba Andriana menolak. Karena kita akan tinggal dimana. Pada akhirnya rumah peninggalan kedua orang tua pun terjual dengan harga yang lumayan. Setelah itu kami pergi ke Jakarta dari kota kecil tempat kelahiran kami semua dan juga kedua orang tua. Kenapa ke Jakarta, karena bang Johan dan Mba Adriana sama-sama kuliah disini walau beda jurusan dan Universitas. Bang Johan tinggal di kosan sedang mba Adriana tinggal dirumah bibi. Untungnya bibi dari nyokap gue sangat baik mau menampung gue dan mba Adriana.
Uang warisan dipergunakan untuk biaya kuliah, bang Johan mulai berubah hidupnya setelah kejadian itu ia bekerja sambilan di berbagai tempat, begitu pun mba Adriana sama. Walau warisan cukup sebenarnya. Ketika bang Johan lulus ia pun mencari rumah kontrakan untuk kami bertiga.
Bang Johan berhasil mendapat pekerjaan di sebuah perusahaan. Sedang mba Adriana pun lulus dari kuliah karena hanya D3 saja karena pengen cepat menjadi kerja, dan kemudian beneran kerja di bank. Singkat cerita bang Johan memperkenalkan pacarnya yang kemudian menjadi istrinya kelak. Namanya mba Nia, cantik, anggun dan putri bosnya ! gile hebat ! tapi harus diakui mba Nia orang baik dan tidak sombong.
Pernikahan mereka secara sederhana sesuai dengan mahar yang diberikan bang Johan atas usahanya sendiri, kedua orang tuanya setuju. Ya sudah setelah itu karirnya melesat tapi tidak lupa akan kami sebagai adiknya.
Beberapa waktu kemudian mba Andriana, berpacaran dengan seorang cowok. Terus terang mba Andriana orang tipe yang tidak mudah di taklukan oleh setiap cowok, tidak perduli dia kaya, miskin, ganteng, biasa kalau belum menyentuh perasaan tak akan pacaran. Untunglah ada bang Herman yang bisa menaklukan peraaan mba Andriana. Pernikahan di lakukan secara besar-besaran. Di Jakarta dan Bali, tapi itu keinginan bang Herman sendiri. Setelah menikah kita langsung pindah rumah ke tempat sekarang di tinggali.
-------------------
Akhirnya gue tiba di tempat tujuan di alamat yang tertera di kartu nama, oh iya memang benar kami sekeluarga tidak pernah bertemu dengan keluarga bokap selama ini, kedua orang tua gue lebih banyak ke keluarga nyokap bila hari raya atau perayaan khusus seperti pernikahan, sempat menimbulkan pertanyaan tapi baik nyokap maupun bokap tidak pernah cerita atau menjawab.
Jadi gue bertanya-tanya ada apa sebenarnya, di depan gerbang rumsh ada dua Satpam bertubuh kekar bertanya kepada gue.
"Mas mau nganter paket ya ?" tanya salah satunya berkumis tebal.
"Ih engga lah bang, emang saya ojol ! ucap gue.
"Lalu mas mau ngapain ?" tanya satunya berkulit gelap dengan kaos ketat sehingga tubuhnya kekarnya tercetak.
"Anu mau ketemu kakek !" jawab gue, emang bener kok, keduanya malah saling pandang.
"Siapa kakek kamu ?" tanya si satpam.
"Pak Suryo Me ... apa ya? tunggu sebentar !" gue pun melihat kartu nama yang diberikan kakek, Anjir namanya panjang banget yah ?
"Bapal Suryo Adikusumo Mangundipraja Wijaya! tuh udah, itu namanya! nih kalau engga percaya, dia ngasih kartu nama ke saya !" gue menyerahkan kartu nama itu ke kedua Satpam, mereka menatap gue dari ujung rambut sampai kaki.
"Tunggu sebentar !" yang berkumis menuju pos satpam yang tak jauh dari situ dan terlihat menelpon. Tak lama, di memberikan tanda.
"Mas namanya siapa ?" tanya yang berkaos ketat tersenyum kearah gue, gila pertanyaannya kaya nembak pacar !
"Adrian Maulana Wijaya! apa perlu saya keluarin KTP ?" tanya gue.
"Tidak usah mas !" jawabnya. Dan memberi tanda. Tak lama pintu gerbang pun dibuka.
"Silahkan masuk, terus saja ikuti jakan ini !" ujar pak Satpam berkumis berkata ramah sekarang sambil memberikan kartu nama dan menunjuk ke arah jalan.
"Jadi rumahnya di dalam sana ?" tanya gue.
"Iya den !" ucapnya berubah sopan.
"Oh, oke! terima kasih ya bang !" gue pergi sambil melambai tangan, motor gue masuk kejalanan.
Gile nih rumah dua kali lipet luasnya dari ortu bang Herman ! bayangin aja dari depan sampai rumah sekitar 15 menit pake motor dengan kecepatan sedang ! luas banget kan. Dan terlihatlah rumah megah bergaya istana bogor. Mata gue tertegun, jadi ... bokap anak orang kaya dong !
"Tuan muda selamat datang !" sapa seorang lelaki berumur, jangkung dan langsing, berkumis dan rambutnya berubah silver alias ubanan.
"Silahkan tuan Besar sudah menunggu di dalam !" ucapnya dan gue mengikuti dia. Oh iya, gue sudah memarkir motor gue di sebelah rumah yang ternyata garasi besar dan luas. Bisa menampung 10 mobil, di sana saja ada 5 mercedes Benz tipe terbaru, sebuah mobil sport merah dengan merek Ferari dan Lamborghini berwarna kuning berjejer rapi.
Gue pun di bawa ke dalam rumah, ruang pertama adalah ruang tamu yang sangat luas, di lengkapi barang mewah, dari lukisan, guci antik hingga patung dan ukiran kayu jati di kursi tamunya, plafonnya sangat tinggi hingga lampu kristal yang sangat besar. Kemudian ruangan tengah lebih luas lagi di batasi oleh pembatas berukir dan gambarnya wayang. Sama dengan di depan ada dua bagian ruang tengah depan dan belakang.
Ruang tengah depan di sampingnya ada tangga melingkar ke lantai atas, sedang ruangan tengah belakang ini disebut ruang santai karena ada tv layar lebar dan ternyata sudah ada tamu duduk manis sejumlah orang, dari pakaian mereka bisa dikatakan berkelas tinggi, yang perempuan anggun, menenteng tas brended dan perhiasan dari telinga hingga tangan, sementara yang lelaki tampak gagah dengan jas mahal, jam mewah. Mereka menatap gue dengan tajam dari ujung rambut sampai kaki. Gue sangat berbeda jauh bagai bumi dan langit
Siapa mereka ? jangan-jangan adik atau kakak bokap ? gue terdiam. Anjir, gue seperti remahan roti yang tidak berguna di hadapan semuanya.
"Silahkan duduk tuan muda !" ajak si lelaki itu. gue mengangguk.
"Samuel sampai kapan kita menunggu !" tanya seorang perempuan sambil menggerakkan gelang emasnya dan terdengar suara gemerincing seperti di sengaja.
"Masih lamakah, kita sibuk loh !" ucap perempuan lain membuka tas hermesnya sambil mangambil alat mikeupnya.
"Maaf, tunggu sebentar! tuan Besar akan turun !" ucapnya sopan.
"Lama banget, padahal cuman membaca surat warisan doang !" ujar seorang oowok dengan kemeja terbuka kancingnya beberapa dan kakinya di silangkan, Ganteng sih sayang sombong.
"Saya permisi dulu! mari !" ucap lelaki tua bernama Samuel, dia pamitan dan pergi menuju sebuah lift di samping TV besar dan lebar. Memangnya berapa lantai sih ni rumah kok pakai lift segala .... Kembali semua menatap gue, kali ini agak sinis !
Bersambung ...