23.59
Jeritan panik menggelegar. Di satu sisi ada warga yang bingung meminta kepastian. Di sisi lain ada pihak militer yang juga kebingungan bagaimana cara memberikan kepastian.
Total ada lima titik ledakan tersebar di seluruh penjuru kota dengan daya ledak yang cukup untuk menghancurkan bangunan tiga lantai. Masih belum diketahui apakah ada bom lain yang belum diledakkan.
"Kesempatan."
Dan di sini ada seseorang yang bersyukur atas kemalangan orang lain.
Clara yang kelihatannya masih mengantuk menatap trio pengawal bersiap siaga dengan perlengkapan penuh.
"Kalau begitu kami pergi dulu."
"Ya, ya~. Hati-hati," jawab Clara, setengah sadar.
Sudah diputuskan sebelumnya kalau Rhino dan Neet akan keluar mengecek keadaan.
Lalu, seolah mengingat sesuatu Clara buru-buru membuat simbol heksagram. Titik-titik cahaya berkumpul disekitar Clara yang mengambil posisi berdoa seraya berkata dengan hikmat, "Terberkatilah, wahai domba-domba tersesat, blessing!"
Rhino membuat senyum lembut, lalu mengejek, "Kukira kau seorang penyihir."
"Sudah sana pergi cepat! ... Hati-hati."
Beberapa saat setelah kepergian mereka, Clara akhirnya 100% bangun.
Mengintip ke samping, di lobi penginapan, Shina sedang mendengarkan penjelasan tentara bersama kerumunan lainnya.
Mengintip ke tempat lain, ada Paman yang menyesap kopi dan memakan camilan tengah malam.
Huh, bukankah Paman terlalu santai?
Clara duduk di depan paman sambil sesekali melirik kanan-kiri. Matanya sayu, tubuh kecilnya terlihat seperti akan tumbang kapanpun. Tapi pikirannya bergerak dengan cepat dan tajam. Segera ia memutuskan untuk mengeksekusi perintah 66.
"Clara, mau tidur lagi?" tanya Paman.
"Um."
"Tapi bohong. Ehe~." Tentu saja dia tidak mengatakan hal ini keras-keras.
..."...."
...
Walau situasinya kacau, tapi tidak sedikit juga orang yang masih melanjutkan aktivitas malam mereka. Salah satunya adalah orang-orang di sebuah pub yang terletak di distrik niaga bernama "Lauren."
Bangunan kayu ini sudah bertahan selama enam generasi. Letaknya agak jauh dari jalan utama dan sedikit tersembunyi. Tidak seperti bar atau pub pada umumnya, suasana di tempat ini sangat damai.
Kombinasi antara alunan musik dan minuman berkualitas tinggi menjadikan toko ini sebagai salah satu tempat minum terbaik di Kota Denia. Tidak heran banyak sekali pedagang besar menjadikan tempat ini sebagai favorit.
Carrado Gonzales adalah salah satu dari pelanggan tetap toko ini. Dia terlihat seperti berusia 40-an. Memiliki kulit kecoklatan akibat terbakar matahari.
Bersama dengannya adalah dua orang yang merupakan saudara sumpahnya, Bernardi Gonzales dan Verga Gonzales. Mereka bertiga adalah eksekutif keluarga Sicilia, dikenal sebagai Gonzales bersaudara.
Carrado tampak acuh tak acuh atas fakta kekacauan yang terjadi di sekitarnya. Kenyataannya dia lebih peduli dengan dampak akibat insiden ini.
"Ah! Persetan dengan semua ini," pikirnya.
Dengan terjadinya penyerangan malam ini seluruh rencananya berakhir berantakan. Mau tak mau ia harus merancang ulang rencananya.
"Jika ketemu akan ku bakar habis pelakunya," geramnya dalam hati.
Pintu toko terbuka saat Carrado sedang bergelut dengan emosinya. Seorang pemuda berpenampilan layaknya penyair dengan topi dan tas kecil memasuki toko.
"Master, milkshake, tolong."
Setelah selesai memesan ia menghampiri Carrado dengan senyum berseri-seri.
"Tidak keberatan jika aku bergabung, 'kan?"
Tanpa menunggu jawaban, pemuda itu duduk di hadapannya. Carrado juga tidak terlalu peduli. Ia hanya menatapnya sejenak sebelum kembali fokus pada masalahnya sendiri.
Tingginya sekitar 155 cm, cukup pendek. Jenis kelaminnya tidak diketahui. Wajahnya androgini dan kelihatannya masih remaja.
Setelah pesanan pemuda itu datang Verga mulai mengocok dan membagikan kartu remi.
Larut malam ketika Kota Denia dalam kekacauan, empat orang bermain remi di sebuah pub diiriningi alunan musik yang menenangkan.
"Ngomong-ngomong, bagimana bisnis belakangan ini, tuan Carrado?" tanya pemuda itu.
"Tidak buruk. Tapi ke depannya mungkin akan sulit."
"Karena insiden malam ini?"
"Ya."
Ronde pertama dimenangkan oleh Carrado. Pemuda itu lalu mengeluarkan sebuah koin emas dengan bercak merah dan mengopernya ke arah sang pedangang.
Melihat ini, Carrado sedikit mengangkat alisnya, lalu bertanya, "Atas nama?"
"Henry. Pragdina."
"Aha. Sebuah nama nostalgia."
Sicilia selalu membalas budi. Itu adalah slogan terkenal.
Keluarga Sicilia memberikan koin emas yang di cap darah kepala keluarga pada saat itu kepada para sahabat. Koin ini bisa disebut sebagai hutang budi Sicilia.
Verga mengangguk, mengisyaratkan keaslian koin itu. Lalu, Carrado menatap pemuda itu dengan matanya yang sekelam malam.
"Musuh sahabat adalah musuh kami. Masalah sahabat adalah masalah kami juga," ucap Carrado. "Setidaknya jangan bawa masalah merepotkan. Aku sudah kerepotan," lanjutnya.
Pemuda itu mengangguk, lalu berkata, "Aku butuh bantuan. Beri aku tumpangan ke wilayah Utara."
Izin untuk pergi ke wilayah utara sangat sulit untuk di dapat. Hanya tiga pihak di kota ini yang bisa mengeluarkan izin, yaitu kantor perizinan & migrasi, wali kota, dan Aliansi Petualang. Izin itu sendiri berbentuk kode batang yang sukar di tiru. Selain itu ada juga batasan berapa kali izin bisa di gunakan. Jika habis maka orang itu harus membuat ulang izinnya.
Tak ayal banyak pihak yang memprotesnya tapi pemerintah bersikukuh kalau ini adalah langkah keamanan.
Mereka yang tidak bisa mendapat izin biasanya akan mendekati pedagang yang memiliki izin untuk menumpang. Keluarga Sicilia sendiri sebagian besar—termasuk Carrado—menolak menerima permintaan seperti itu karena dalam jangka panjang akan menimbulkan masalah yang tidak perlu.
Tapi lain ceritanya jika ini permintaan sahabat Sicilia.
Carrado memberi afirmasi. Setelah itu ronde kedua dimulai.
Dari lima pertandingan yang di mainkan, pemuda itu memenangkan tiga. Sebelum akhirnya kembali dimenangkan Carrado pasa putaran keenam.
"Bah. Hebat juga kau," puji Barnardi sambil tertawa terbahak-bahak.
"Tidak Juga."
Dia mengeluarkan dua keping emas kekaisaran senilai dua ribu royal, lalu mengopernya ke arah Carrado.
"Rentang waktu pengirimannya satu munggu," ujar pemuda itu.
Namun Carrado sama sekali tidak melirik koin itu.
Dia menenggak minuman kerasnya lalu berkata, "Tidak ada pengiriman dalam waktu dekat."
Pemuda itu terlihat bingung dan menanyakan alasannya.
"Sudah ada pembicaraan untuk memulai ekspansi ke ibu kota. Kejadian malam ini hanya mempertegas keputusan itu," jelas Carrado. "Selain itu, mulai besok hingga entah kapan keamanan kota juga akan ditingkatkan. Secara alami izin juga akan lebih dipersulit," lanjutnya.
Pemuda itu kelihatan kecewa. Carrado sendiri sebagai eksekutif sicilia diwajibkan untuk membatunya. Namun, ada hal yang bisa dan tidak bisa dia lakukan.
"Bagaimana kalau bulan depan. Aku sendiri yang akan mengirimmu," saran Carrado.
"Tidak. Jika memang mustahil maka aku akan meminta bantuan lain. Tolong carikan bahan-bahan ini," ucap pemuda itu sambil mengeluarkan selembar kertas dari dalam tas.
Carrado membacanya lalu jantungnya sedikit berdegup kencang. Bahan-bahan yang tertulis di sini sangatlah langka dan berharga.
Ambil abu phoenix sebagai contoh. Mencari burung phoenix saja sudah sangat sulit. Di tambah lagi abunya hanya bisa diambil ketika burung itu berada pada batas masa hidupnya. Jika itu belum cukup, abu yang di dapat dari cara ini biasanya tidaklah banyak dan orang-orang akan berlumuran darah untuk memperebutkannya bila muncul di pasaran.
"Nah, aku tidak akan bertanya untuk apa bahan-bahan ini. Tapi aku akan mengatakan satu hal, jangan terlalu berharap."
"H~m, tidak seperti aku punya uang untuk membeli semua itu. Permintaanku hanyalah untuk menjadikanku prioritas jika sesuatu yang tertulis di situ muncul di pasar," balas pemuda itu.
"Dimengerti."
Pemuda itu menghabiskan minumannya dengan satu tegukkan lalu memberi Carrado kartu kontak.
"Clarina? Jadi dia perempuan," pikir Carrado.
Pemuda itu, Clarina, terlihat akan pergi tapi di hentikan oleh Bernardi. Badanya yang besar bak beruang sangat kontras dengan Clarina. Jika Carrado adalah kepala, maka pria ini adalah lengan dan kakinya.
"Kenapa tidak duduk dulu dan bersantai? Kau kelihatannya sedang banyak masalah," ajak Barnardi, tersenyum konyol. "Minuman di sini kelas satu, Barnardi ini menjaminnya. Tenang, Barnardi teraktir. Pakai uang Carrado tentunya."
Berkebalikan dari tubuh raksasanya, wajah Barnardi sangat ramah lingkungan hingga konon bisa menenangkan bayi yang menangis.
Gadis itu sedikit mengernyit namun akhirnya terbujuk lalu duduk kembali ke tempatnya.
"Pak Tua! Keluarkan William kebanggaanmu itu!"
"Berapa kali kubilang jangan teriak-teriak di sini, bocah besar!" sahut pemilik pub.
Verga kembali membagikan kartu remi.
"Jadi, gimana kabar bos Henry?" tanya Barnardi.
"Dia sudah cukup lama belum kembali dari petualangannya ... Mungkin sudah mati di suatu tempat."
"Huh. Sikapmu bukannya terlalu dingin? Dia itu bapakmu, loh."
"Ya~ mau diapakan lagi. Sudah risiko. Kesampingkan itu, apa kau mempunyai sejarah pribadi dengan ayahku?"
"Begitulah-"
Putra pemilik pub datang dengan satu barel anggur. Ia dengan lihai menuangkan anggur ke dalam gelas kosong dan membagikannya pada empat orang yang ada dalam meja.
Clarina mencicipi minumannya sedikit dan ekspresinya menjadi aneh. Sepertinya ini pertama kali baginya mencoba minuman beralkohol.
Malam semakin larut, hati Carrado juga ikut menghitam sekelam malam. Kelompok empat itu sudah membuka barel ke-3. Siapa sangka gadis itu terlahir sebagai peminum kuat. Sebagai referensi, satu barel anggur ini bernilai satu keping emas.
Tapi lebih dari itu ....
"Yay! Rina menang lagi," ucap Clarina, dengan rona merah di wajahnya.
"Gahahaha. Lihat! Lihat mukanya jadi makin kecut," ujar Bernardi yang juga berwajah merah.
Keberuntungan anak ini sangat tidak masuk akal. Carrado mulai curiga kalau dia curang.
Duo pemabuk itu juga sangat menggangu. Beberapa kali Verga harus meminta maaf kepada pelanggan lain.
Pada putaran ke-17 Barnardi menarik Clarina ke atas panggung dan mulai bernyanyi. Tidak seperti si Beruang yang bersuara sumbang, nyanyian Clarina cukup baik mengingat dia dalam kondisi teler.
"Tanpa diduga mereka akrab sangat cepat," ucap Verga.
Rambut hitam, kulit kecoklatan, dan memiliki bekas luka memanjang di wajahnya. Tapi yang paling mencolok dari wanita ini adalah warna kedua matanya yang berbeda, coklat-biru. Dia sering bertindak bagai sosok ibu bagi dua orang yang kadang tidak stabil dan bertindak di luar akal sehat ini. Carrado mungkin adalah kepala, tapi kepala itu kosong tanpa ada isinya. Di sinilah Verga masuk dan berperan sebagai otak bagi ketiganya.
Selain itu, posisinya di Sicilia sebenarnya lebih tinggi dari dua lainnnya.
"Carrado." Nada sura Verga sedikit diturunkan, ia berkata dengan ekspresi sedingin es, "Katakan, hubungan macam apa yang kau miliki dengan pria bernama Henry. Emosimu sangat terguncang."
"Sangat perhatian ...." Carrado menenggak botol alkoholnya.
Dengan wajah memerah dia melanjutkan, "Sudah sangat lama. Singkatnya dia adalah yang mengajariku cara menipu."
Verga terlihat tidak yakin. Selama lebih dari satu dekade mereka bersama dan dia sudah berkali-kali melihat Carrado kehilangan akal sehatnya. Itu tidak pernah berjalan dengan baik.
"Nah. Mampu membuat penyamaran setingkat itu pada usianya patut di beri pujian. Sayangnya ceroboh, masih terlalu hijau. Alkohol melemahkan sihirnya." Verga mengambil pandangan singkat pada pria konyol yang membenturkan kepalanya ke meja bertubi-tubi. "Tapi yang jelas ini menyelamatkanmu, Clarina. Lain kali lebih berhati-hatilah. Apalagi kau seorang wanita."
"Andai tiga, tidak, dua tahun lebih tua. Kuh! Kenapa! Kenapa kau masih sangat kecil! Setidaknya datang saat kau cukup umur, sial." Carrado ingin kembali menenggak minumannya tapi di hentikan oleh Verga.
"Ya, ya. Sudah cukup minumnya."
Verga merapal sebuah mantra, segera Carrado kembali ke akal sehatnya.
"Jangan lupa beritahu si bongsor, untuk jaga-jaga," ucap Verga, lalu pergi meninggalkan pub.
Carrado kembali bermain-main dengan kartu remi. Wajahnya sangat mengkerut. Padahal di luar sedang sangat kacau tapi di sini dia malah mabuk-mabukan. Betapa konyolnya. Yah, tidak seperti akan ada yang mengomel jika dia mabuk. Tidak seperti waktu dahulu ....
Beberapa saat kemudian Carrado mengalihkan pandangannya ke atas panggung. Di sana dia melihat saudara sumpahnya, Beruang dari Sicilia, bernyanyi bersama seorang gadis remaja, ralat, gadis kecil yang mungkin belum genap sepuluh tahun, Clarina.
"Hei, Henry ...," gumam Carrado. Suaranya pelan namun penuh dengan emosi. "Bukannya dulu kau pernah bilang kalau kau sangat membenci para iblis yang menyamar sebagai manusia itu? Lalu kemana kau sekarang? Kenapa kau membiarkan anak sekecil ini berpetualang sendirian? Sungguh, dunia ini memang tidak pernah berubah, kan."