Restoran hotel
Steve menatap lekat Gibran yang sedang menikmati makan malamnya, kemudian ia beralih melihat ke meja teman-teman pengacara nya yang lain dan terakhir melihat Pinkan yang sedang mengobrol dengan dua teman wanitanya di meja prasmanan. Ia menatap Gibran kembali.
"Kau ingin bicara atau tidak?" tanya Gibran acuh. Steve mencondongkan kepalanya ke depan.
"Brian..." ia menyebutkan salah satu teman pengacaranya yang juga ikut seminar..."tau Club malam yang bagus di kota ini." katanya setengah berbisik.
Gibran berhenti sejenak demi melihat ekspresi wajah Steve yang mengiba seolah-olah mengatakan bahwa aku ingin sekali kesana bersamamu, aku tahu kau akan menyukainya jika kau tidak menyukainya anggap saja kau menemaniku kesana! Steve menangkupkan kedua tangannya didepan dada.
"Aku mengantuk," jawabnya singkat. Gibran kembali menyuap makan malamnya.
Steve menarik kembali tubuhnya kebelakang dan memandang ke sekeliling. "Aku akan mengajak Pinkan,"
"Kau Ingin Mati?" kata Gibran dengan nada suara yang dingin.
"Aaghhh...kenapa kau begitu menyebalkan. Ini malam terakhir kita disini. Aku ingin bersantai..." Steve meletakkan kepalanya dimeja.
"Kau bisa pergi bersama Brian dan yang lainnya."
"Mereka tidak seru sepertimu. Ya ya ya..." paksa Steve.
"Steve, makan makananmu."
"Ah, aku tidak peduli. Aku akan mengajak Pinkan."
"Jangan gila," Gibran mulai kesal. Steve mengabaikan Gibran.
***
Tik tok tik tok
Gibran menarik selimutnya menutupi seluruh tubuhnya. Ia menikmati tidur dalam kegelapan ruang kamarnya. Tik tes...tes...
Terdengar suara tetes-tetes air menyentuh dinding kaca ruangan. Hawa bertambah dingin dan Gibran semakin mengeratkan selimutnya. Ia meringkuk di dalam selimut. Cahaya layar ponsel menyilaukan matanya. Ia bangun dan melihat panggilan masuk dilayar. Ia mengangkat nya.
"Kau masih bangun..." suara yang merdu terdengar ditelinga Gibran. Hanya dengan mendengarkannya saja ia tahu secantik apa wanita yang menghubunginya.
"Aku mengganggu tidurmu?" suara itu terdengar kembali.
"Kenapa kamu belum tidur?"
"Aku merindukanmu..."
"Apa kamu tidak malu mengatakannya?" Gibran setengah tertawa.
"Kau tidak rindu padaku?"
Hening. Gibran terdiam. Panggilan lain masuk, dari Steve.
"Viona, bisa tunggu sebentar. Steve menelponku,"
"Bisakah kamu tidak mematikan panggilan dari..."
"Aku tahu, sebentar..."
krckk, terdengar suara-suara dari ponsel seberang. Viona terdiam menunggu.
"Kenapa menelponku?"
"Gibran Pi...sini,"
Gibran menutup telinganya yang sebelah. Suara musik disko terdengar sangat keras memekakan telinga. Ia paling benci kebisingan semacam ini. Kenapa anak itu masih belum kembali ke hotel?
"Bicara lebih keras, aku tidak mendengarmu!"
"Pinkannnn adaaaa di siniiiii." Steve mengerahkan seluruh suaranya.
Gibran bangkit dari tempat tidurnya.
"Kau sudah gila????"
"Aku tidak mengajaknyaaaa,"
"Kau pikir aku percaya?"
"Tunggu, ... ...sama seoran.. pria. ...lihat ..tengkar,"
Semua suara dan kata-kata Steve membuat Gibran sakit kepala. Ia mengacak rambutnya kasar.
"Steve kirimkan lokasi kalian!!!"
"Gibran..."
"Sorry, Viona. Ada sesuatu yang harus kulakukan. Tidurlah dulu!"
klik Tut...Tut...Tut..
***
Gibran menyambar jaketnya dan berlari keluar kamar dan menuju lantai dasar. Begitu sampai teras, Ia baru menyadari bahwa hujan telah deras diluar. Ia sangat kebingungan, ia berputar sebentar diteras sambil mengacak rambutnya. "Sial sial!" umpatnya. Gibran kembali ke meja resepsionis.
"Aku butuh taksi," katanya kalut.
"Maaf?"
Gibran menatap tajam pegawai resepsionis itu.
"Oh...mohon maaf. Akan saya pesankan, mohon tunggu sebentar!"
Gibran melihat ke arah lain.
*
Steve datang menengahi mereka, "Santai bro, kita bisa bicara baik-baik. Ada apa ini?"
"Loe tanya sama wanita gila itu, dia yang cari masalah sama gue!"
"Pasti ada kesalahpahaman, dia teman ku..."
"Dimana Maya?"
Steve menoleh Pinkan. Gawat, wanita itu sudah ada di mode pengacaranya. Akan sulit untuk berunding dengannya.
"Agh, dia terus bicara dimana Maya dimana Maya dan membuatku gila."
"Maya menghubungiku dan mengatakan kau menyekapnya. Dia telah melaporkan segala tindakan kekerasan yang kau lakukan kepadanya. Tidak ada gunanya berkelit."
"Apa kau tidak waras?"
"Minggir!" Pinkan mendorong pria itu dan berjalan memasuki lorong.
"Hei apa yang kau lakukan!" pria itu mengejarnya. Steve yang kebingungan memutuskan untuk mengikuti mereka. Ruangan semakin remang-remang dan sampai pada sebuah pintu Pinkan membukanya. Brakkkk.
.
.
.
"Mayaaa!!!"
Maya menoleh, senyumnya merekah ketika melihat gadis kecil berlari menghampirinya.
"Hap..." gadis itu memeluk pinggang Maya.
"Kau sangat merindukanku?"
"Tentu saja, aku kira kamu tidak akan kembali."
"Kenapa kamu berpikir seperti itu? Aku akan selalu bersamamu."
"Apa benar? Kita akan selalu bersama?"
"Kita akan selalu bersama."
.
.
.
Gibran menyela beberapa orang yang sedang asyik ~nge-dance~. Suara musik keras menggema dimana-mana. Begitu melihat Brian ia langsung menghampirinya. Ia membalik tubuh pria itu.
"... Steve,"
"Gibran, loe kemari?" Brian sedikit terkejut.
"Dimana Steveee?" Gibran mengeraskan suaranya.
"Mungkin udah lamaran, bro. Dia selalu selangkah lebih cepat dari gue.."
Brat...
Gibran mengibaskan tangannya dan berbalik pergi.
"What the... what happened Gibran?"
"Hei, tampan..." seorang wanita mendekati Brian. Brian hampir terpesona tapi ia segera teringat dengan Gibran.
"Sorry cantik, lain kali!" Brian menyusul Gibran.
Gibran menyusui lorong-lorong hingga sampai pada sebuah lorong yang dijaga seorang bodyguard.
"Maaf, ini bukan ruangan untuk tamu..." disaat yang sama Brian sampai ditempat itu.
Ia melihat Gibran yang memandang benci pada bodyguard itu. Brian tertawa mengerti. "Ah, come on bro!" Brian merangkul bodyguard itu. satu tangannya memberi isyarat dibelakang punggung. Gibran melihatnya.
"relaks...kita bisa bicarakan baik-baik,"
Bodyguard itu mendengarkan Brian. Pelan-pelan Gibran menyelinap masuk.
"Lu kok bisa sih berdiri nggak bergerak disini, sementara banyak wanita cantik disini."
Bodyguard itu melihat kebelakang, "orang itu?"
Tak...
Brian memukul tengkuk bodyguard hingga jatuh pingsan, ia melihat ke sekeliling kemudian menyusul Gibran menuju lorong.
.
Pinkan memeluk Maya yang terlihat kesakitan dan lemah disudut ruangan. Ia mengelus kepala Maya.
"Kita keluar dari sini," Pinkan meyakinkannya. Mereka berdiri. Tapi pria yang tadi masih berada di depan pintu.
"Maksudmu apa?"
Steve maju, "Sebaiknya kau minggir, sudah cukup!" katanya dingin.
"Hahaha...yang mau loe bawa pacar gue bro!" pria itu mendorong Steve. Steve menahan amarahnya. Ia menoleh kebelakang, melihat Maya terpekur dengan luka lebam diwajah dan lengannya membuat darahnya mendidih. Ia kembali melihat pria dihadapannya.
"Aku juga pria brengsek, bro. Tapi aku tidak memukul perempuan!"
"Lu ngajarin gue? wanita murahan kayak dia memang pantas di..." BUKKKK
"Agh,"
Steve memukul pria itu sebelum dia menyelesaikan kata-katanya.
"Cari mati," pria itu membalas. Mereka terlibat dalam perkelahian kecil hingga sang pria terjerembab di lantai.
"Kita pergi,"
Pinkan mengangguk, mereka bergegas keluar pintu tapi tanpa disangka beberapa pria berjalan mendekat ke arah mereka. Perlahan Pinkan, Steve dan Maya berjalan mundur.