Chereads / Selaras Rasa (The Same Love) / Chapter 3 - Bagian 2

Chapter 3 - Bagian 2

Mentari hangat dan semangat di pagi hari sangat terasa di halaman Museum Indrayan. Angin sejuk menggerak-gerakkan bendera pawai yang tertancap diantara stand-stand peserta pameran. Pintu gerbang yang dibuka sejak pagi mulai ramai dilewati pengunjung. Hari ini adalah annual anniversary yang ke 60 sejak didirikannya Museum ini. Baik seniman, orang tua, anak sekolah, atau perwakilan dari perusahaan kerajinan berlomba-lomba untuk menampilkan hasil karyanya.

Viona bersandar pada pohon beringin favoritnya. Menatap orang-orang yang mulai berdatangan. Sebuah walkman berada di tangan kirinya, mendengar suara setiap koordinasi dari berbagai seksi panitia. Tangan kanannya memegang ponselnya dan menanti sebuah panggilan masuk. Pandangan nya datar. Iya, Viona merindukannya. Tadi malam, ia sangat menahan diri untuk menelpon Gibran kurang dari tiga kali. Ia tidak ingin terkesan memaksa pria itu. Dan sebelum berangkat bekerja Viona menghubungi sekali. Tapi sambungannya terputus. Mungkin dia belum bangun. Atau mungkin dia tidak memiliki waktu untuk ponselnya. Apakah hanya Viona yang sangat ingin mendengar suaranya. Apakah Gibran sudah bosan dengan hubungan ini?

"Kau melakukan nya lagi Viona..." Gumam wanita itu... khawatir tanpa sebab...

Rupanya saat sendirian Viona tidak seoptimis itu. Terlebih saat berulangkali seseorang muncul dimimpinya. Viona tidak bisa tidur nyenyak. Ia tidak bisa bercerita kepada mamanya ataupun kepada Gibran. Dan akhir-akhir ini Pinkan, sahabatnya juga sedang dalam suasana hati yang buruk jadi ia menjadi enggan untuk mengganggunya dengan hal-hal yang sepele.

Viona melihat Sekar berjalan ke arahnya, "Bu Viona, semua tamu undangan sudah datang dan acara akan segera dimulai."

Viona mengangguk, ia menegakkan punggungnya dan mengantungkan ponselnya. Ia berjalan mengikuti Sekar menuju aula museum.

"...selanjutnya kita akan mendengar sambutan dari ketua panitia, Bapak Fajar Indrayan. Waktu dan tempat kami persilahkan!"

Prok prok prok...

""Tante apa kabar?" Viona menyapa ketiga tantenya yang dari tadi bersama mamanya. Mama menatap Viona.

"Viona apa kabar?" Tante Silvi, istri dari adik bungsu mamanya mencium kedua pipi Viona.

"Baik Tante, Tante apa kabar?"

"Baik donks...eh kamu, kapan nikah?" sambarnya tanpa dosa. Viona melihat mamanya, yang ditatap langsung menghadap Tante Erni dan memulai obrolan.

"Viona belum berpikir sampai situ Tante, ..."

"Gak baik lho ditunda lama-lama...atau mau Tante kenalin sama anaknya teman Tante yang tentara itu" Tante Silvi masih belum menyerah.

"Nggak usah Tante...haha," Viona mencoba tetap bersikap ramah.

"Sebaiknya kamu dengarkan saran tantemu itu, wanita berkarier itu bagus tapi jika hanya akan menghambatnya untuk berkeluarga hanya akan sia-sia." Mama Fajar ikut mendekati Viona. Jantung Viona berdegub semakin kencang. Ia hanya berharap kedua tantenya tidak bisa mendengar debarannya.

"Lihat Fajar!" Mama Fajar menatap jauh pada panggung. Viona ikut melihat Fajar yang sedang memberi sambutan. "Bukankah dia sudah sangat cakap untuk diberi kepercayaan..." Mama Fajar menoleh ke arah Viona. Mereka bertatapan. "Dia sudah pantas untuk memanage suatu event...Tante yakin Fajar sangat berbakat. Tidak pa-pa memberinya banyak tugas. Jangan paksakan dirimu untuk memikul semua beban..." Mama Fajar menatap lekat pada Viona. Tatapan yang membuat gadis itu merinding sejak ia berusia sepuluh tahun.

"Benar, dengan begitu kamu bisa memiliki waktu untuk berkencan dengan anaknya teman tante." Tambah Tante Silvi oblivious.

"Oh lihatlah, bukankah Fajar sangat tampan diatas sana?" Mama merangkul lengan Viona. Viona menatap mamanya, mama mengangguk seolah mengetahui segalanya. "Bukankah dia sangat mirip dengan papa-nya? Aku ingat ketika Pras berpidato untuk pertama kalinya ditelevisi. Sangat berkarisma...

"Ugh hahaha...itu bukan apa-apa, sebenarnya dia tidak ingin melakukannya tapi..."

"oh ya? haha..."

Satu-satunya yang dapat mengalihkan perhatian mama Fajar adalah om Pras. beliau sangat mencintai suaminya. Viona bernapas lega.

Mama dan Viona menjauh dari keramaian setelah yang lain sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia merapikan rambut putrinya.

"Mama harus pergi sekarang, titip salam untuk Rudi. Maaf mama nggak bisa menemani mu sampai selesai."

Viona mengangguk, mereka berpelukan.

"Thanks, ma" bisiknya. Mama melihat ke sekeliling.

"Mama tidak melihat berandalan itu, dimana dia?"

"Bera....astaga, ma. Berhenti memanggilnya seperti itu."

"Sudah-sudah, mama pergi dulu. Bye..."

"Ma..." Viona cemberut.

Mama kembali lagi.

"Ada apa lagi?"

"Hampir lupa, kenalan mama akan datang ke pameran nanti. Kamu masih disinikan?"

"Kenalan?"

"Iya, dokter spesialis jantung mama yang baru."

Viona mengerutkan kening.

"Mama mengundangnya kemari karena katanya dia juga menyukai kerajinan tradisional. Mama sudah memberikan nomormu padanya."

Viona menyipitkan matanya. "Bisakah mama bertanya padaku terlebih dahulu? Seperti, nak, apa kamu tidak sibuk nanti? apakah kamu bisa membantu mamamu yang cantik ini,"

"Hehe...mama tahu kamu tidak terlalu sibuk. Bye sayang!" Mama mencium pipi Viona.

Ughhh.

Ring ring ring. ring ring ring

Viona merogoh sakunya dan menerima panggilan masuk.

"Kau tinggal di gunung atau dimana sebenarnya?" sambarnya kesal.

Gibran yang sedang melepas sepatu di kamar hotel terheran mendengar suara Viona yang kesal.

"Kenapa kamu marah?"

"Ugh, Aku sedang tidak ingin berbicara denganmu!"

Tut.

Gibran mengambil ponsel dari bahunya dengan heran.

"Steve, tanggal berapa ini?" tanyanya masih tidak mengalihkan pandangan dari layar ponselnya.

Steve melepaskan headphone dikepalanya.

"Kau bicara padaku?" tanya Steve.

"Tidak apa,"

***

"Fajar, kau sudah bertemu Om Rudi?" Viona mengirim pesan suara pada ponsel Fajar. Ding.

"Sudah, Bu. Beliau akan masuk ruang pameran sebentar lagi." Ding.

"Ok, keep strong Fajar!" Ding.

"Thanks," Ding.

.

~Tante yakin Fajar sangat berbakat. Tidak pa-pa memberinya banyak tugas. Jangan paksakan dirimu untuk memikul semua beban...~

.

Bukankah kamu hanya ingin aku menyerah. Melepaskan posisiku sebagai manager museum ini. Bukankah kalian telah mendapatkan segalanya? Apa kalian tidak ingin menyisakan sedikit saja untukku dan mamaku?

Viona memegang kepalanya yang sedikit berdenyut dan duduk di bangku panjang depan ruang pameran.

.

.

.

"Aku ingin segera keluar Ona, pikirkan sesuatu." Suara di dalam bola sinar itu melemas. Viona menyentuh lembut bola sinar itu. Entah kenapa tenggorokan Viona terasa sakit setiap ia mencoba untuk mengatakan sesuatu.

Bola itu berbicara lagi, "Aku ingin bertemu dengannya, ingin mengatakan sesuatu kepada nya."

Siapa? suara Viona tidak dapat keluar.

"Kau tahu, dia beraroma seperti lemon. Aku tidak tahu kenapa. Tapi aku menyukai aromanya."

"Dia yang mengajariku tertawa. Mengajariku menjadi manusia yang bebas dan berani untuk bermimpi."

Tolong...uhuk, uhuk..

Sakit sekali, Viona memegang tenggorokannya.

.

Uhuk uhuk,

"Air lemon, tanpa es tanpa gula...suhu sekitar 36 sampai 37 derajat celsius. Bagus untuk tenggorokan yang sakit. Tarik napas, jangan panik..."

Tanpa sadar Viona mengikuti arahan pria yang berada dihadapannya. Dia menyodorkan segelas air lemon dihadapan Viona.

"Kau tampak khawatir, jadi aku kira..." pria itu mencoba menjelaskan ketika melihat ekspresi wajah Viona yang mencurigainya.

"Apa aku mengenalmu?" Viona mencoba bersuara. Pria itu terdiam beberapa saat. Segelas lemon juga masih berada ditangannya. Lalu ia merogoh saku celananya dan mencoba menghubungi seseorang.

Ring ring ring. Ring ring ring

Viona bangkit dari duduknya dan mengangkat panggilan masuk diponselnya.

"Selamat siang, dengan Ibu Viona manager dari museum Indrayan?" pria itu berbicara. Viona menatap nya.

"Benar, bisa saya tahu saya sedang berbicara dengan siapa?"

"Dokter Kardiologi di rumah sakit pemerintah, Aditya Sanjaya." Ia balas menatap Viona, mencoba mencari sesuatu dimatanya.

dug dug

dug dug

dug dug

.

.

.

"Permisi, ibu!!" Adi melangkah cepat menyusul seorang ibu yang baru saja keluar dari ruang periksa. Wanita paruh baya itu berbalik.

"Ya?"

"Dompet anda," Adi menyerahkan dompet ibu itu.

"Astaga, aku tidak menyadarinya. Terimakasih dokter," Ibu itu akan memasukkan dompet ke dalam tas nya tapi...

"Maaf saya melihat foto di dalammya anda ketika tak sengaja dompet anada terjatuh. Itu...suami anda?"

"Ah, dia sangat benci saat difoto. Tapi waktu itu dia menahannya demi bisa berfoto dengan putri kami." Ibu itu ikut melihat foto pada dompetnya.

"Pasti beliau sangat mencintai putri kalian,"

"Sangat, bahkan dia hanya meninggal saat sedang bersama putri kami," Ibu itu menerawang.

.

.

.

Awan putih berarak mengikuti arah angin dan panas mulai merayap pada konblok dan dinding-dinding museum. Halaman luar menjadi sepi karena semua orang berpindah ke dalam untuk mengikuti acara lelang di auditorium. Viona yang sedang berbincang dengan om Rudi melihat Sekar dan Adi memasuki auditorium. Ya, pada akhirnya ia meminta tolong asistennya untuk mendampingi Adi berkeliling. Ia sedikit merasa bersalah tapi apa yang bisa dilakukan? Pekerjaan tetap menjadi nomor satu.

"Bagaimana kabar mama kamu?"

"Baik, om."

"Kau harus terus mengawasi nya. Dia selalu saja bergerak, tidak bisa diam, seperti belut."

"haha.... pasti, om!" Mereka tertawa.

"Oh ya, terimakasih sudah datang di event museum kami...maaf Viona meminta bantuan di akhir waktu."

"Ah, tidak usah dipikirkan. Om ada... untuk mamamu dan kamu. Dahulu, papamu satu-satunya orang yang mendukung karier om. Bahkan orangtua om tidak mempercayai bakatku...tapi papamu memberikan seluruh kepercayaan dan dukungannya..."

Viona hanya tersenyum. Ia tidak tahu apa yang harus ia katakan ketika orang-orang mulai bercerita tentang papanya.

Semakin lama lukanya memudar dan ia mulai terbiasa. Bahkan walaupun sudah lama pergi, kebaikan-kebaikannya masih terus membekas dan membantu Viona dikala ia membutuhkan pertolongan.

*

Pukul empat sore. Event ini benar-benar memakan waktu hingga sore hari. Beberapa mobil pickup berdatangan dan mulai mengemasi stand-stand dihalaman. Viona dan Adi berjalan bersama menuju gerbang. Mereka hanya melangkah bersama tanpa kata. Sedikit canggung, tapi entah mengapa ia mendapati perasaan familiar ketika melihat wajahnya.

"Maaf, aku tidak bisa menemani anda berkeliling..."

"It's okay. Seperti nya aku yang mengganggu pekerjaan mu."

"Tidak, sama sekali tidak." Viona menyilangkan tangannya. Mereka tertawa kecil.

Adi mengeluarkan sesuatu dari dalam sakunya. Ia mengeluarkan kotak perhiasan berwarna navy. Ady berhenti melangkah. Ia menyodorkan kotak itu pada Viona.

"Untukmu..."

Viona terkejut dan refleks kotak itu berada ditangan Viona.

"Ini...aku tidak bisa menerimanya..."

"Bukalah..."

"Aku..."

Pria itu mengangguk. Viona menurutinya dan membuka kotak itu. Dua buah gelang batu alam kecil berwarna turquoise dan nila. Viona merasakan ketertarikan yang tidak biasa pada gelang itu.

"Cantik sekali,,," gumamnya tanpa sadar.

"Aku mendapatkannya saat lelang tadi. Seorang gadis kecil dari panti asuhan membuatnya. Dia berkata, gelang adalah simbol dari ikatan janji antara dua orang yang saling menyayangi. Takdir kita akan terus terikat dan tidak akan pernah terlepas."

"Lalu kenapa anda memberikannya kepadaku, anda bisa memberikannya kepada orang yang anda sayangi."

Adi tersenyum.

"Aku hanya menyukai cerita anak itu. Aku membelinya karena aku menyukainya. Mungkin gelang itu lebih berguna untukmu."

"Anda tidak memiliki seseorang yang ingin anda beri gelang ini? maksudku mungkin sahabat?"

Adi terdiam sejenak, ia menatap Viona.

"Aku memiliki sahabat, tapi dia sedang pergi ketempat yang sangat jauh."

"Anda bisa memberikannya saat dia kembali," Viona menutup kotak itu menyerahkan kembali pada Adi, tapi tangan pria itu menahannya. Ia mencondongkan wajahnya pada Viona membuat wanita itu menjadi serba salah.

"Aku akan memberikan sesuatu yang lain ketika dia kembali, ini untukmu..."

Mobil Adi sampai dihadapan mereka. Adi melepaskan genggaman tangannya pada Viona. Ia tersenyum dengan manisnya. Apakah aku belum mengatakan bahwa pria dihadapan Viona tidak kalah tampan dari para aktor ditelevisi?

"Aku sangat menikmati hari ini, thanks Viona..."

Viona mengangguk. Vale Keluar dari mobil dan Adipun masuk ke dalam mobil. Ia membuka kaca jendela mobil.

"Sampai jumpa!" katanya.

Viona melambaikan tangan kanannya. Tak lama setelah mesin dinyalakan, mobil itu melaju pergi meninggalkan area museum. Viona tidak menurunkan tangannya hingga mobil hitam itu berbelok ditikungan. Viona terkesiap. "Ada apa denganku yang melambaikan tangan untuknya seolah aku mengenalnya. Dan dia sangat aneh memberikan barang untuk orang asing."

Viona berbalik masuk ke arah dalam museum sambil tersenyum melihat kotak berwarna navy itu. Ia berpikir untuk siapa dia akan memberikan pasangan gelang cantik itu.

.

~Air lemon, tanpa es tanpa gula...suhu sekitar 36 sampai 37 derajat celsius. Bagus untuk tenggorokan yang sakit. Tarik napas, jangan panik...~

~Dokter Kardiologi di rumah sakit pemerintah, Aditya Sanjaya~

.

Langkah kaki Viona melambat, ia menoleh ke belakang.

Dia yang mengajariku tertawa. Mengajariku menjadi manusia yang bebas dan berani untuk bermimpi...