Chereads / Surat Dari Surga / Chapter 6 - Pohon tinggi yang rapuh III (End)

Chapter 6 - Pohon tinggi yang rapuh III (End)

Sudah 2 minggu sejak Kriss keluar dari rumah sakit pria paru baya itu sedang sibuk mengawasi anak buahnya yang sedang manyapu halaman. Sambil melihat-melihat sebuah brosur yang dipegangnya

"Bagas!!" panggilnya pada anak remaja itu.

"Ya, Pak..." jawab remaja itu menghamprinya.

"Kamu itu kalau belajar lebih suka teori atau praktek, Gas?" Kriss bertanya kepada remaja itu.

Kriss melihat remaja itu kebingungan menjawab pertanyaannya. Akhirnya Kriss pun menjelaskan jika dia berniat untuk menyekolahkannya.

Remaja itu tekejut dan langsung menolak tawaran Kriss. Kriss bingung dnegan sikap anak buahnya dan langsung menanyakannya.

"Kenapa tidak mau? Tenang saja masalah gaji saya akan..." tanya Kriss bingung.

"Bukan, tapi.. jika saya sekolah, siapa yang akan menjaga bapak," Remaja itu menjawab dengan nada cemas.

Kriss mengela nafasnya, dia sangat tidak menyangka bahwa orang asing yang ada di hadapannya sangat memikirkan kondisinya sampai seperti itu.

"Hahaha... Bagas, kamu ini usianya 16 tahun tugas kamu itu belajar bukan kerja. Kamu sekolah saya akan baik-baik saja disini," Kriss mencoba untuk menenang anak buahnya itu. Namun, sepertinya anak itu tidak ingin ditenangakan.

"Tapi pak, bapak ini baru keluar dari rumah sakit 3 hari lalu. Itu saja bapak,hampir kumat lagi gara-hara bapak tua itu tiba-tiba muncul didepan rumah sakit. Kalau saya sekolah dan bapak tua itu datang lagi. Pak Kresno bagaimana..." ujar Remaja itu mencemaskan dirinya.

"Kalau kamu keras kepala, ya sudah sekolah rumah saja!" Kriss yang mulai pasrah menawarkan solusi terakhir dengan harapan anak buahnya ini mau menerimanya.

"Sekolah rumah itu apa pak?" tanya Remaja itu.

"Sekolah rumah itu, kamu belajar dirumah Bagas. Jadi kamu bisa terus mendamlingi saya dan mendapat ilmu disaat yang bersamaan..." Kriss menerangkan pada remaja itu.

Kriss lalu melihat remaja itu menundukkan kepalanya. Lalu anak laki-laki mendongakkan kepalnya dan bertanya sekali lagi.

"Apakah biayanya mahal?" tanya Remaja itu.

"Untuk, duda yang hidup sendirian dnegan harta ya, lumayanlah... gak masalah dengan berapa banyak uang yang saya keluarkan untuk kamu," Kriss menjawab dengan nada angkuh.

Kriss melihat remaja itu tengah berpikir, Kriss yang mulai kesal langsung bersikap tegas dan mengatakan bahwa sekolah rumah adalah sebuah perintah yang wajib dilaksanakan.

"Ini pertintah bagas,kamu-sekolah rumah atau saya pecat!" Kriss berusaha terlihat tegas di depan remaja itu berharap jika anak laki-laki itu merasa terancam dan langsung menurutinya.

"Ba.. baik," jawab remaja itu terbata-bata.

"Nah! gitu dong kan sa.... hah... hah... hah..." tiba-tiba saja Kriss kesulitan bernafas dan terjatuh.

Remaja itu langsung menangkapnya dan melihat sekeliling. Seperti yang diduga oleh remaja itu jika orang itu muncul lagi dihadapan mereka.

Remaja itu langsung menenangkannya kemudian mengusir pria tua itu dari rumahnya.

"Saya tahu dan sangat sadar, jika Anda sudah tua. Tapi, bukan berarti anda minim dengan kepekaan sosial. Tidak bisakah Anda menyadari jika Bos saya tidak ingin Anda temui!"

Kriss sangat terkejut kerena untuk pertama kalinya dia melihat remaja itu murka dan berbicara nada tinggi. Karena Krias sempat berpikir bahwa anak yang bekerja padanya ini hanya seorang anak laki-laki biasa yang culun dan baik hati.

"Minngir anak kecil aku hanya ingin mengatakan sesuatu pada orang itu!" Kriss melihat orang tua itu menatapnya dengan takut dan itu membuatnya semakin ketakutan.

"Hah... hah... hah..." tubuhnya semakin lemas dan dadanya semakin sesak.

Melihat dirinya yang seperti itu remaja itu pun menjadi tambah murka dan mengancam mertuanya.

"Anda ingin menyusul putri Anda ya, Biar saya percepat ingin apa? Karete, Wingchun, Wushu, Judo sebutkan!!"

Kriss sangat terkejut melihat remaja itu yang mulai murka. Lalu dirinya langsung berusaha untuk bangun dan berjalan menghampiri anak buahnya yang sedang kesal itu.

Dia tidak ingin jika anak buahnya itu terluka atau terjadi sesuatu hanya karena melindunginya. Karena bedasarkan usia menurut Kriss, dialah yang seharusnya melindungi anak itu.

"Gas, sudah..." Kriss mencoba menenangkan anak laki-laki itu.

"Ya, tenangkan dia! Sehabis itu kita bicara berdua bisa aku masuk Kriss?" pria tua itu langsung menyerang Kriss dengan kata-kata dingin.

Kriss yang semula memiliki kekuatan langsung terjatuh lemas di lantai.

"Pak Kresno!" remaja itu langsung mengangkatnya. Namun, Kriss menepis tangan remaja itu dan melirik mertuanya itu dengan tatapan sinis.

"Hanya ada satu orang yang boleh menyebut nama itu dan itu bukan dirimu! Aku tidak mau bicara denganmu tentang apapun juga. Jadi... ja... jadi PERGI dari rumahku se-ka-rang!!" tegasnya dan langsung masuk kerumah dengan anak buahnya yang mengukuti dari belakang.

Kriss membanting pintu rumahnya dirinya sangat kesal dengan kelakuan mertua itu. Bahkan, saat istrinya meninggal pria itu hanya terus menatapnya dnegan dingin.

"Mertua sialan kenapa mereka sangat menyebalkan!!" umpat Kriss kesal.

"E... pak Kress," remaja itu memanggil Kriss.

"Saya ingin bertanya, bagaimana asal muasalnya bapak, dipanggil Kriss oleh ibu?" Remaja itu pernasaran.

"Aku juga lupa sebenarnya hahaha....." Kriss tertawa.

"Hm.. mungkin, surat keenam ini alan mengingatkan Anda," ucap remaja itu lalu memberikan surat keenam itu pada dirinya.

"Hah?" Kriss menerima surat itu dan dia bingung dengan judul surat yang tertulis disurat itu.

"Pohon, tingguku yang rapuh??"

Kriss pun langsung membuka surat itu dan membacanya.

"Apa kabar mas, sehat? tentu saja ya kan... Hari ini saya menuliskan surat sambil mengingat-ingat saat waktu kita break. Bukan yang gara-gara peristiwa itu, tapi karena mas yang cemburuannya diam-diam.."

"Wah pak Kress cemburuan toh..." remaja itu tertawa.

"Hush..." Kriss menuruh remaja itu diam.

"Apalagi saat itu, pas kita break mas Kriss langsung galau berat. Seperti pohon tanpa. Apalagi mas bilang kepada saya "Martha, Tuhan memberikan kamu kepada saya agar saya hidup bahagia. dan itu benar, saya tanpa kamu bagaikan sebuah pohon tinggi yang rapuh..." ujar mas saat itu.

Saat itu saya langsung menangsis karena mas itu sudah cemburuan diam-diam. Mendadak over protective bikin kesel lagi. Namun, saya jadi mebayangkan bagaimana dengan nanti. Saat saya mati apakah mas akan benar-benar jadi pohon tinggi yamg rapuh.

Mas, saya memanggilmu Kriss karena artinya adalah kesembuhan. Karena jika mas sakit, mas selalu cepat sembuh sebagai harapan jika hal itu akan berlaku pada perasaan mas.

Saya tahu jika hari ini dan sejak kemarin-kemarin. Bahkan beberapa tahun terkahir ini hatimu sedang sakit mas. Tapi, mas itu adalah kesembuhan, mas diberkati dengan itu.

Jadi, ini mungkin egois tapi sekali lagi saya berharap. Hati mas akan ceoat sembuh.

Jangan jadi pohon tinggi yang rapuh ya mas.

Mas itu pohon tinggi yang kuat buat saya, jadi mas harus kuat jalanilah hidup. Alamilah banyak pertualangan dan bangun hidup baru.

Lalu ketika kita sama-sama pada satu alam yang disebut dunia kematian itu. Marilah kita saling bercerita bagaimana kita hidup tanpa satu sama lainnya.

Terima kasih untuk semuanya Mas Kriss...

Salam hangat,

Martha Sari Dewi.

Kriss menutup surat itu dan memasukannya ke kotak biru itu bersama dengan amplopnya. Lalu pria paru baya itu melirik ke anak buahnya dan bertanya.

"Bagas," panggilnya.

"Iya pak," remaja itu menyaut panggilannya.

"Apakah yang Martha harapkan itu bisa saya wujudkan?" tanyanya putus asa.

"Bisa," Remaja itu menjawab dengan yakin.

"Temani saya ya..." pinta Kriss pada anak buahnya itu.

"Pasti pak," remaja itu tersenyum manis.