Hari ini Kriss bersama dengan anak buahnya, sedang mengunjungu tokoh kayu. Para pekerja keliatan sangat giat dan serius dengan tugas masing-masing. Karena Bos mereka dikenal sebagai orang yang sangat-sangat tegas.
"Hoi mau diapakan itu,amplasan kurang halus sudah mau di cat amplas lagi, lalu kau gosokan tanganmu. Periksa apakah serpihan kayunya masih tersisah atau sudah mulus!!" Kirss mengomeli pekerjanya yang tidak teliti.
Dari seberang jauh Kriss melihat remaja itu sangat menikmati, menonton seorang pengerajin yang sedang mengukir kayunya.
"Indah ya.." Kriss menyapa remaja itu
"Iya, ukiranya cantik bentuk berbentuk bunga aster!" Remaja itu menunjuk ukiran bunga itu.
"Ya, itu bunga kesukaan Martha..." terang Kriss.
"Pak Kres..." Remaja itu menantapnya dengan tatapan cemas.
"Tidak apa, karena kehadiranmu hatiku mulai membaik.." ujarnya sambil tersenyum.
Remaja itu sangat lega mendengar pernyataan bossnya itu. Lalu membalas senyuman pria paru baya itu.
lonceng toko berbunyi, seorang pelanggan datang ke toko. Dan anehnya dia tidak menuju para pengerajin. Namun, dia langsung menghampiri Kriss.
"Anda, benar Kresno Wijoyo?" tanya orang itu.
"Iya, ada apa?" tanya Kriss balik.
"Saya dengar kayu yang Anda buat langsung lebih berkualitas dari para pengerajin disini. Biasakah Anda membuatkan peti mati untuk istri saya!?" tanya orang itu.
Kriss terkejut dengan permintaan orang itu, dirinya tak berkutik. Dan tidak mengucapkan satu kata pun. Bagas yang terlihat khawatir langsung memarahi orang itu.
"Hoi, ini toko kayu bukan peti mati Anda salah alamat!!" tegur Remaja itu melindunginya.
"Tidak saya memang ingin bertemu dengan Pak, Kresno. Istri saya sangat menyukai kerajinan kayu yang Anda buat. Jadi, saya harap anda mau melakukannya..." terang orang itu.
"Tapi, istri Anda kan sudah meninggal bagaimana Apakah bisamenunggu peti mati tersebut itu jadi?" tanya Kriss heran.
"Mayatnya sudah kuberi formalin, sebenarnya dia sudah memintaku memesanya sebulan lalu hahaha.., istriku Leukimia ku pikir dia akan sembuh ternyata dia..."
"Aku tidak kerebatan, ada desainya!" sela Kriss.
"A.. Pak...,"
"Tidak apa, saya menginginkannya. Bosan juga kalau hanya mengawasi para pekerja.." Kriss menenangkan remaja itu.
"Tidak ada, dia ingin jika Anda sendiri yang membuatkan desainya. Itu pesan terakhirnya..." jawab orang itu.
"Baik," sahut Kriss.
Setelah mngurus pembayarannya orang itu langsung pergi meninggalkan toko. Sedangkan Kriss terus memandangi orang itu.
"Pesan terakhir macam apa itu, pesimis sekali! Istriku bahkan, jauh lebih optimis ya.. walaupun hasilnya tidak sesuai," gumannya heran.
"Sabar ya pak..." hibur remaja itu.
Kriss menarik nafas panjang dan melirik remaja itu. Lalu dia mengatakan kepada remaja itu bahwa dia akan diajaknya pergi ke toko peti.
"Bagas, hari ini kita akan ke toko peti mati setelah pulang ke rumah ya," Kriss memberi tahu remaja itu.
"Baik," jawab remaja itu.
Lallu mereka berdua pulang berjalan bersama dirumah. Sesampainya di rumah Kriss mengambil surat itu tanpa, membukanya kemudian dia kembali pergi bersama anak buahnya itu.
Mereka berjalan lagi hingga sampai ke toko peti mati itu. Kriss melihat ukuran standart untuk sebuah peti mati. Dan dirinya langsung kembali ke tokonya. Di toko itu sudah sepi para perkerja sudah meninggalkan toko hanya ada Kriss dan anak buahnya.
"Jadi jam segini toko Anda tutup ya, padahal saat aku masih kecil toko Anda terkenal dengan pelayanan 24 jam..." ujar Remaja itu.
"Hahaha.., kamu benar.." Kriss mengiyakan.
"Mengapa tidak buka 24 jam lagi?" Remaja itu bertanya.
"Saat Martha sakit, menjalankan aku kesulitan menjalankan toko ini 24 jam. Mungkin bulan depan nanti, aku akan mulai melakukannya lagi..." Kriss menjawa Remaja itu.
Lalu dirinya mulai membuat peti mati itu, sepanjang malam suara gergaji, bor, palu dan paku terus terdengar sepanjang malam hingga peti tersebut pun jadi sebelum Matahari terbenam.
"Wah, cepat sekali Anda memang terkenal sebagai pekerja yang cepat ya!!" Remaja itu memujinya.
"Tidak juga, ah..." Kriss merebahkan dirinya dan mulai membuka surat yang dirinya ambil saat di rumahnya.
"Hari ini saya semakin merasakan, bahwa saya mulai mendekati kematian. Namun, sulit saya menceritakannya pada Mas. Disaat saya sadar, mas sudah banyak melakukan pengorbanan agar saya bisa hidup lebih lama setidaknya untuk satu hari...."
"Pak Kress..."
"Saya mulai lelah mas, tapi mas terlihat lebih lelah. Saya melihat mas dan saya sadar jika saya tidak sendirian. Mas terus berusaha membagi waktu bekerja dan menedampingi saya berobat.
Setiap hari saya selalu menyusahkan, tapi mas selalu mengelak dan mengatakan bahwa mas tidak merasa disusahkan. Entah mengapa... saya sedikit meragu akan kejujuran itu. Namun, ketika saya melihat mata mas. Saya melihat itu adalah pandnagan seorang suami yang takut kehilanhan istrinya.
Hari demi hari mas terus, datang dengan baju yang basah oleh keringat sehabis bekerja. Di hari itu saya sangat sadar, bahwa bukan hanya saya, yang ingin hidup lebih lama. Mas pun, bekerja keras untuk saya bisa hidup lebih lama.
Mas, sudahlah jangan terlalu bekerja keras lagi percayakan saja pada seseorang. Sekarang waktunya Mas Kriss untuk menikmati hidup dan bersenang-senag sedikit lebih lama bersamaku.
Saya butuh waktu mas, lebih lama untuk bersama saya hari ini. Akan tetapi saat saya hendak mengatakannya pada hari itu. Seluruh Dokter berlarian di lorong, tentu saja saya pernasaran dan mengikuti para dokter itu.
Dengan langkah yang lambat saya mulai, mengikuti mas. Dan saya melihat seorang pria terkapar pingsan dilantai rumah sakit dengan darah yang tercucur dari hidungnya sambil membawa bucket bunga aster putih...."
"Sial!!" Kriss melempar suratnya.
"Ada apa, mengapa?" Remaja itu terkejut.
"Kenapa dia harus melihat itu!!" keluh Kriss.
Melihat wajah Kriss yang panik remaja itu lali bertanya pada Kriss apa yang terjadi.
"Melihat, melihat apa?" Remaja itu bertanya padanya.
"Melihat saya, terkapar pingsan begitu. Pria di surat ini adalah saya..." Kriss menjawab dengan nada kesal.
Dirinya merasa sangat frustasi saat dia tahu jika perempuan yang di cintainya melihat dengan keadaan yang seperti itu.
Namun, Kriss langsung bangkit dan mulai membaca surat itu lagi.
"Pria itu adalah mas, saya sangat takut terjadi sesuatu yang buruk pada mas. Saya memutuskan menyelinap untuk melihat keadaan mas perawat lalu masuk ke kamar mas lalu saya bersenyembunyi di bawa kolong tempat tidur mas.
Lalu saya mendengar seorang perawat mengatakan kata-kata yang paling menyakitkan. mereka mengatakan "bagaimana kondisi suaminya bisa baik, jika istrinya saja terus memburuk kasihan sekali ya, suaminya harus banting tulang untuk membiayain istrinya yang sudah tidak punya harapan lagi. Bahkan, pria ini sampai menjual cabang tokonya..."
"Apa!!! Untuk apa kau mendengar hal yang seperti itu Martha jadi dia tahu...." Kriss merobek surat itu dan tidak mau membacamya lagi.
Kriss menangis frustasi, dia memeluk dirinya sendiri dan tidak mengatakan satu kata pun.
Kriss memperhatikan anal buahnha memungut robekan kertas itu dan menyambukannya lagi.
"Apa yang kamu lakukan..." Kriss menegur remaja itu. Namun, remaja itu tidak menjawabnya.
Remaja itu terus fokus menyambungkan robekan kertas itu. Lalu dia pun membacakan isi surat itu kata demi kata.
"Saya sangat hancur mas, mengapa mas tidak mengatakan apa-apa kepada saya. Namun, saya sadar bahwa saya bukan lagi istri yang bisa diajak untuk mendengar keluh kesah suaminya. Setiap hari mas datang dengan wajah yang tersenyum. Membawakan makanan dan menceritakan banyak hal yang lucu untuk membuat saya tertawa.
Sambil menyembunyikan semua penderitaan itu, maafkan saya ya mas. Saya harap setelah saya pergi nanti, Mas bisa melepasa semua rasa penat itu dan mulai bersantai.
Walaupun sulit menghentikan seorang pekerja keras seperti mu Mas...
Salam Hangat,
Martha Sari Dewi.
"Untuk apa kamu membacakannya lagi, Bagas?" Kriss menatap anak buahnya kesal.
"Saya hanya ingin menunjukkan bahwa sesuatu yang terjadi pada Bu Martha adalah karena sudah waktunya. Bukan karena beliau merasa bersalah...." ujar Remaja itu meletakan surat itu kembali di amplopnya.
"Dasar..." Kriss tersenyum melihat wajak kikuk remaja itu.