Hari yang tenang senang secangkir kopi yang nikmat menyambut pagi Kriss yang cerah. Sedangkan dia ditemani oleh Bagas yang sedang mengerjakan tugas sekolah rumahnya.
Krisa memperhatikan remaja itu nampak serius dalam mengerjakan soalnya. Sampai Akhirnya Kriss pernasaran sendiri dan memperhatikan anak buahnya itu.
"Jelaskan pertumbuham cicak...." guman remaja itu.
"telur, anak cicak, dewasa ..." Kriss menyahut lamunan anak buahnya.
"A... itu hehehe... terima kasih pak, tapi bukan itu,"
"Ya terus apa?" Kriss bertanya.
"Ya, saya juga sedang cari dibuku pak," Remaja itu menjelaskan.
"Ya wes..." Kriss meninggalkan remaja itu yang sedang belajar.
Kriss masuk ke rumah dan membuka kulkas, dia ingin memakan suatu yang manis hari ini.
"Bagas..." Kriss memanggil remaja itu namun, tidak disahutnya.
Kriss keluar dan mengamhampiri remaja itu dan terkejut dengan apa yang ada di hadapannya.
"Bagas kamu sa...., bapak!!" Kriss terkejut.
"Hah... hah..., bapak... hah..." Bagas langsung menarik Kriss masuk rumah.
"Untuk apa pria itu datang ke rumahku..." geram kriss.
"Tadinya saya tidak ingin langsung menyuruh beliau pergi tapi...."
"Tidak apa," sela Kriss.
"Kriss buka pintunya, saya harus bicara dengan kamu!!" Dari dalam Kriss bisa mendnegar suara pria tua yang serak-serak basah itu memanggil.
"Sa... saya tidak ada waktu!!" teriak Kriss.
"Brukk!!" Pria tua itu menendang pintu rumah Kriss hingga rubuh.
"Itu adalah kesalahanmu Kriss, sekarang berikan!!" pria tua itu meminta sesuatu dari kriss.
"Be... berikan apa?" Kriss bertanya.
"Kotak biru itu.. pasti di kamukan!!" ujar pria tua itu.
"Itu milik Martha, saya... saya tidak akn memberikannya!!" Kriss menolak tegas.
Dengan perasaan yang sedikit takut dia menatap mata pria itu dengan sinis. Tangan mengepal menahan emosinya yang sudah memuncak. Mengapa pria tua ini masih datang kerumahnya untuk apa , dia datang kemari.
"Itu milik saya, yang saya berikan ke martha. Saya ingin mengambilnya kembali..." pria tua itu memaska.
"Tidak!! Saya tidak akan memberikannya..." Kriss membentak mertuanya ketus.
"Kamu ini, berikan atau saya..."
"Di surat bu Martha ini untuk pak Kresno!!" celetuk remaja itu sambil menunjukkan surat terakhir milik Martha.
"Hah! Surat?" pria tua itu bertanya-tanya.
"Lihat saja sendiri..." unjuk remaja itu menunjukkan surat Martha pada pria tua itu.
Kriss menatap remaja itu bingung, dan ikut melihat surat itu juga. Kriss menarik paksa surat martha dari mertuanya dan membacanya dengan seksama.
"Selama pagi, surat ini yang mungkin, akan jadi surat terakhir saya. Kondisi saya hari ini semakin buruk. Semakin membuat mas sangat kewalahan. Dari mata saya tertutup hingga terbuka saya terus melihat wajah mas yang ketakutan dengan mata yang sembab.
Namun, bibir itu selalu berusaha tersenyum. Berusaha kuat meskipun sebenarnya merasa ketakutan. Terkadang saya bertanya mas ini seorang super hero atau malaikat. Karena mas itu sangat baik hati.
Wajah cantik saya sudah tidak ada lagi, sekarang untuk melakukan semuanya saya butuh bantuan. Dan mas, selalu ada disana hingga saya sulit menulis surat ini diam-diam hahaha....
Bagaimana hari-hari tanpa saya apakah baik, apakah mas sudah mengunjungi bapak?"
Kriss langsung melempar surat dengan perasaan kesal. Apa-apa itu permintaan macam apa itu. Bagaimana dia mau untuk mengabulkannya. Bahkan sekarang orang yang tidak ingin dia temui itu sudah ada dihadapan matanya.
Kriss pergi meninngalkan rumah namun, remaja itu menahan Kriss dengan mengambil surat itu dan lanjut membacakannya.
"Saya tahu mas pasti tidak mau menemui bapak. Ibu mas juga sempat memarahi saya karena meminta hal yang seperti itu.
Saya paham bapak jahat sama mas, tapi saya harap mas mau memaafkan bapak."
"Egois," Kriss menggerutu kesal lalu pergi meninggalkan rumah.
Kriss pergi berjalan sendirian menuju makan dari istri tercintanya. Dia melihat istrinya dan duduk disampinya.
"Martha mbok ya, kalau sudah tidak ada mintanya jangan macam-macam. Ini namanya hidup mati dengan egois..." Kriss menggerutu kesal sambil mengelap batu nisan istrinya itu.
Kriss juga mencabuti rumbut liat yang tumbuh terlalu tinggi. Lalu dia menaburkan bunga dimakan istrinya.
"Martha, saya bukan benci sama bapak kamu... enggak. Saya masih trauma Martha, jadi maaf permintaan kamu tidak akan saya kabulkan justru bagus kalau kamu kesal. Saya malah senang. Karena itu artinya... kamu malah menghantui saya. Jadi, saya bisa ketemu kamu ya kan...." geram Kriss kesal.
Kriss mendengar suara hentakan kaki menghamprinya rupanya remaja itu datang membawa surat padanya.
"Pak kresno..." Remaja itu memanggilnya.
"Apa?" tanya Kriss.
"Bacalah surat ini sampai akhir," ucap remaja itu.
"Tidak," tolaknya kesal.
"Biar saya bacakan boleh," remaja itu menawarkan dirinya.
"Silahkan," Kriss menantang remaja itu.
Remaja itu menarik nafasnya dan mulai membaca surat itu.
"Maaf saya egois, tapi bapak hanya punya saya bapak pasti kesepian saat saya tidak ada nanti. Maaf ya mas...
Saya tahu mas Kriss adalah suami yang baik, saya juga tidak meminta mas untuk menemui bapak setiap hari. Hanya seminggu sekali untuk memeriksa apakah bapak baik-baik saja..
Maafkan saya mas, tapi saya minta kebijaksaan mas Kriss. Saya tahu saya jahat, pemaksa dan saya tahu mas pasti kesal dengan sama. Hidup bikin susah mati pun permintaan menyusahkan. Tapi saya yang tidak tahu malu ini meminta agar mas mau menerima bapak dan mengunjungi bapak seminggu sekali saja...
Saya tahu ini egois, tapi saya juga tahu betapa baik hatinya pria yang telah meminanhku ini. Kabulkannya permintaanku mas.
Saya Mohon....
Martha Sari Dewi.
Kriss terlihat wajahnya terlihat bengis dan kesal. Remaja itu berusaha menegurnya namun, anak itu tidak berani mihat wajah bengis Kriss yang garang.
"Mengapa kamu membacakannya sampai akhir, saya kan jadi tidak bisa menolaknya...." Kriss menggerutu kesal.
"Maaf...." sahut remaja itu.
"Seumur hidup saya mengenal Martha, tidak pernah ada kata tidak keluar dari bibir ini untuknya. Sepanjang hidup ini yang saya lakukan hanya memberikan yang dia minta. Kenapa sekarang saya harus melakukannya lagi. Dan kenapa say tidak bisa menolaknya, egois. Aku memiliki istri yang sangat egois...."
Kriss menutur kesal.
"Maaf pak," remaja itu meminta maaf.
"Sudahlah kota pulang kerumah temui pria tua itu..."ujar Kriss.
Mereka berdua berjalan pulang dan menemui pria tua itu sedang memperbaiki pintu rumahnya. Kriss menarik palu yang digenggam oleh tua itu dan berbicara denganya.
"Ini bukan keahlian Anda, memperbaiki sesuatu bukan keahlian Anda. Keahlian Anda adalah merusak sesuatu. Seperti Anda merusak jiwa saya...." seru Kriss.
"A... aku,"
"Tinggalah disini, Saya ingin tahu mengapa Martha begitu memakasa. Saya akan merawat Anda seperti saya mearawat Martha. Saya akan mengabdi kepada Anda sebagai mana daya mencintai Martha. Rumahnya jauh saya, akan kelelah berdiri di bus. Dan itu karena Anda juga kan. Jadi jadilah pria tua yang tahu malu dan diri dan tinggallah dirumahku...." ucap Kriss lalu meninggalkan pria tua itu.
Kriss memasuki rumahnya dan mbuka kamar kosong yang seharusnya menjadi kamar anak mereka.
"Martha kamar yang kubuat menjadi kamar bagas, yang ini akan menjadi kamar ayahmu..."
"Kamu meminta seminggu sekali, tapi motorku sudah kujual. Aku tidak bisa naik mobil dengan cideraku. Ya, jadi bapakmu itu akan tinggal disini kamu puas sekarang...." Kriss menggerutu sambil merapikan kamar kosong itu.
Dirinya mengganti lampu kamar kosong itu dan menyapunya lalu mengelapnya. Remaja itu ingin membantunya akan tetapi Kriss menolaknya dan mengatakan bahwa dia akan melakukannya sendiri.
"Nanti pria tua itu akan banyak cakap jika aku menyerah hal sepele ini padamu...." itulaj yang Krisa katakan.
Remaja itu pun hanya tersenyum sambil mengawasinya.
Dan beberapa hari kemudia dengan pintu yang sudah diperbaikkinya. Ayah mertuanya data g dan tinggal dirumahnya.
"Nikamtilah dan ingatlah ini rumah saya...." ucap Kriss lalu pergi.
"Terima kasih Kriss, saya minta maaf karena membuat kamu cidera yang menghancurkan sebagian kehidupan kamu..." ucap pria tua itu.
"Saya tahu ini terlambat, terlambat 25 tahun tapi saya..., saya...."
"Sudah saya maafkan," Kriss menyela kata-kata pria itu dan tersenyum.
"Martha hari ini aku belajar memaafkan dengan baik, apakah aku tetap menyakikanmu sebagai suami yang bijak sayangku...." batin Kriss.