"Baiklah. Aku sudah mengerti. Syaratnya adalah aku dengan Tuan Iblis Azazel pergi ke Abad Pertengahan untuk mengumpulkan Talisman dari berbagai belahan dunia. Hanya seperti itu, kan?" tanya Nana. Dia terlihat sangat santai dan masih saja tersenyum, seolah-olah senyuman itu tidak bisa terhapus dari wajahnya.
Malaikat tertawa dengan keras. Itu berlangsung sangat lama. "Menarik! Kamu sangat menarik, Aegeana Lidya!" serunya. "Hanya seperti itu, katamu? Kamu tidak akan tahu apa yang akan terjadi ketika kamu memasuki Abad Pertengahan, Nana. Kamu sudah siap dicabik-cabik di era menyeramkan itu rupanya."
Nana menggelengkan kepalanya seolah itu bukan apa-apa. Tidak ada ketakutan yang terlihat dalam netra coklat gelap miliknya. "Aku sudah mati satu kali," katanya. "Aku sudah tahu bagaimana rasa saat maut menjemput. Seharusnya aku tidak perlu takut lagi jika harus menghadapinya untuk kedua kalinya. Lagipula, aku ini tidak abadi. Aku tidak seperti Malaikat atau seperti Iblis yang dapat hidup berabad-abad lamanya. Juga, aku tidak akan menyerah atas diriku dan hidupku sendiri. Aku lebih meyakini kalau kecelakaan mobil itu sangat disengaja oleh pihak kalian."
Nana menguap lebar setelah berkata amat panjang. Dia tersenyum kepada Malaikat yang terdiam, kemudian mengalihkan pandangan ke arah Azazel yang tidak berbicara sepatah kata pun sedari dia hadir tadi.
"Baiklah. Aku bisa gila kalau berbicara dengan manusia pandai seperti dirimu. Anggap saja kamu menang dalam perdebatan ini," kata Malaikat. "Sekarang, kalian akan dikirimkan ke tahun 1201. Ke sebuah tempat yang sudah pernah kamu baca sejarahnya, Nana."
Nana tentu saja penasaran dengan perkataan Malaikat.
"Kamu akan tahu ketika sampai di sana. Iblis ini akan mengatakannya kepadamu. Di Abad Pertengahan, gunakanlah Talisman yang tersimpan di ruang hampa Azazel baik-baik." Malaikat mengedipkan sebelah matanya.
"Tunggu sebentar! Talisman kan tidak bisa dibaca okeh sembarang orang. Talisman itu akan memilih orang yang mereka inginkan agar kata-kata di batang tubuh mereka bisa dibaca. Bagaimana caranya aku menggunakan Talisman jika ia tidak mau aku baca?" tanya Nana. Dia terlalu pandai. Dia bahkan tahu kalau Talisman akan memilih orang yang akan membacanya.
"Dari mana kamu tahu kalau Talisman itu memilih orang?" Malaikat mencurigai Nana.
"Aku pernah melihat sebuah Talisman ketika berkunjung ke Negeri Jiran, Malaysia. Lalu, satu lagi di Negeri Gajah Putih alias Golden Triangel, Thailand. Ketika melihat Talisman di Malaysia, aku sama sekali tidak bisa membacanya. Tapi, berbeda dengan saat aku berada di Thailand." Nana menjelaskan.
"Karena kamu sudah tahu semua konsep dasar, maka aku akan segera mengirim dirimu dan Azazel langsung ke Abad Pertengahan. Ingatlah perkataan yang baru saja kukatakan baik-baik, Aegeana Lidya!" seru Malaikat. Dia menjentikkan jari.
Cahaya putih perlahan-lahan menyelimuti pandangan Nana dan Azazel.
"Tunggu dulu! Kamu belum menjawab pertanyaannya! Jawab dulu! Ma ... laikat ...."
Semuanya menjadi gelap.
Tahun 1201 saat Musim Panas di Kediaman Duke and Duchess of Fleur di dekat Istana Kuno Versailles, Paris, Prancis Kuno.
Nana terbangun dengan napas terengah-engah dan keringat dingin membasahi seluruh tubuhnya. Dia memejamkan matanya sebentar, lalu membukanya. Kesadarannya mungkin sudah kembali setengahnya.
Nana terduduk tepat di atas tubuh Azazel yang masih memejamkan matanya. Dia sedikit kaget. Namun entah kenapa dia merasa sangat dingin, seperti angin langsung menusuk ke dalam pori-pori kulitnya.
Ketika Nana sadar sepenuhnya, dia menemukan bahwa dirinya telanjang bulat tidak memakai sehelai pakaian pun. Dia langsung berteriak histeris dan menarik selimut, lalu menyelimuti tubuhnya. Dia menatap tajam ke arah Azazel yang membuka matanya. Dia mengamuk kepada Iblis itu, "Apa yang kamu lakukan?! Tutup kembali matamu, dasar Iblis mesum!"
Nana bahkan melempari bantal tepat ke wajah Azazel. Namun sayang sekali, Azazel berhasil menahan bantal itu sebelum benda itu mengenai wajah tampannya. Iblis itu menatap gadis remaja dengan tatapan membunuh.
Wajah Nana merona merah. Dia masih terduduk di atas tubuh Azazel. Melihat bahunya yang bebas, Azazel baru mengerti kenapa dia begitu histeris, tapi Iblis itu tidak ingin menutup matanya. Azazel bahkan menarik Nana hingga gadis itu terjembab ke atas tubuh Iblis.
"Apa yang kamu lakukan, Mesum?!" tanya Nana setengah berteriak. Dia berusaha melepaskan diri dari Azazel. Namun sadar, sekali saja Azazel menarik selimutnya, tubuhnya akan langsung terekspos.
Nana akhirnya diam dan menggembungkan pipinya. Matanya menatap dengan kesal ke arah dinding. Jemarinya meremas selimut dengan kuat, tidak akan melepaskan selimut yang sedang digunakannya.
Azazel tidak peduli dengan apa yang sedang diperbuat oleh Nana. Dia memejamkan matanya lagi dan tetap menahan gadis remaja di dalam pelukannya. Nana merasa sangat sesak lantaran pelukan itu semakin lama semakin erat.
"Tuan Iblis, lepaskanlah aku, ya?" pinta Nana dengan nada memohon. Namun itu tidak akan mengubah keinginan Azazel untuk tetap memeluknya hingga sang Iblis puas.
Langit oranye menghiasi angkasa senja itu. Nana bisa melihat melalui pintu kaca menuju balkon. Sepertinya kamar itu berada di lantai dua. Pucuk pohon yang hijau masih terlihat dari sana.
Kepala Nana berpaling dari kiri ke kanan, kemudian bersembunyi dan tenggelam di dada Azazel yang terbalut kemeja putih tipis. Semerbak wangi madu yang bercampur dengan mint membuat Nana mabuk kepayang. Dia menyukainya.
Jangan-jangan dia sudah melihatnya?! Ah! Memalukan sekali ...! pikir Nana.
Beberapa saat kemudian, Nana bisa merasakan kalau rangkulan Azazel dari tubuhnya terlepas. Dia menatap ke arah Azazel yang memejamkan matanya. Dia pelan-pelan turun dari atas ranjang. Matanya menatap awas ke arah Azazel.
Setelah Nana merasa kalau Azazel tidak akan mengintip, dia membuka lemari kayu yang ada di kamar itu dan mencari piyama tidur. Dia menemukan beberapa setelan dress yang biasa digunakan oleh bangsawan wanita Eropa untuk tidur pada Abad Pertengahan.
Benar-benar di Abad Pertengahan?! Kira-kira, ini ada dimana? Nana terlihat senang ketika mengetahui kalau dia berada di Abad Pertengahan. Di satu sisi, dia amat rindu dengan kedua adik kembarnya, juga Mama ....
"Versailles. Prancis. Di Paris, tepatnya." Akhirnya Nana mendengar suara Azazel. Dia langsung menatap ke arah Azazel dan menemukan bahwa sang Iblis masih memejamkan matanya. "Aku tidak akan mengintip. Aku sudah melihatnya satu kali tadi."
Nana merutuki kebodohan Malaikat yang berani-beraninya menelanjanginya. Dia tahu apa yang akan menjadi jawaban Malaikat: "Kamu itu terlahir kembali. Wajar saja jika kamu tidak mengenakan busana sama sekali.".
Nana menanggalkan selimut ke lantai dan cepat-cepat memakai piyama tidurnya, tak lupa dengan pakaian dalam tentu saja.
"Kau ingin kemana?" Azazel bertanya dengan dingin saat Nana menyentuh kenop pintu dan bersiap untuk pergi dari sana.
"Ke kamar tidur yang lain!" jawab Nana.