Walau sudah mengantarkan Nana ke Restaurant du matin—sebuah restoran pagi—dan membuatnya menikmati sarapan, tetap saja mood gadis remaja itu tak kunjung membaik. Dia masih berada di fase sangat marah pada Azazel. Semua dikarenakan first kiss dan kontrak tak langsung yang terjalin di antara mereka.
Walau Azazel sudah menjelaskan dan menyuruh Nana untuk mengabaikan dan menganggap kontrak itu tidak pernah ada, tapi si gadis remaja malah mengamuk kepadanya dan menunjukkan tanda bahwa kontrak itu sudah terjalin, tak bisa dikembalikan lagi. Kecuali kalau Nana sudah meninggal dunia. Itu pun dia harus hidup sebagai budak di Neraka bersama dengan Azazel. Tentu saja dia tidak mau. Dia tidak sudi.
"Jaga jarak satu meter dariku!" pekik Nana sambil mendorong Azazel menjauh darinya. Dia benar-benar marah. "Jangan berani kamu mendekatiku."
Orang-orang menatap heran ke arah mereka. Mereka merasa kalau Nana tidak ada elegannya menjadi seorang Duchess of Fleur. Namun mereka tak bisa berbuat apa-apa. Gelar itu dipilih langsung oleh Raja.
Bahkan ketika berada di dalam kereta pun Nana duduk di pojokan dan berusaha menjauh dari Azazel.
Suara Eduardo terdengar dari luar. "Yang Mulia, Anda ingin pergi kemana lagi?"
"Versailles." Azazel menjawab tanpa berpikir. Dia ke sana dengan tujuan mengambil surat keterangan dari Raja dalam urusan perizinan menginterogasi setiap penyihir yang ada di Paris. Dia memiliki firasat kalau sebentar lagi akan ada Talisman yang muncul. Dia tidak ingin bertindak gegabah dan dikejar sebagai buronan Kerajaan.
Kereta kuda berhenti di depan Istana kuno yang terlihat megah. Tapi, Nana tidak tertarik sama sekali. Ketertarikannya sudah tenggelam akibat kemarahan. Dia bahkan tak sadar kalau kereta sudah berhenti. Tatapannya kosong, lurus ke arah papan kayu kereta yang seolah-olah bisa hancur karenanya.
Nana disadarkan oleh sentuhan lembut di kulitnya. Dia menatap tajam ke arah Azazel yang mengisyaratkan kepadanya untuk turun bersama dengannya dan menghadap Raja di Versailles.
"Kita akan menghadap Yang Mulia Raja Philip II Augustus. Apakah kau tidak tertarik dengannya? Kupikir kau akan tertarik jika aku membawamu ke Versailles," kata Azazel.
Nana melebarkan matanya dan menatap keluar dari pintu kereta yang terbuka. Mereka memang sedang berada di Versailles tahun 1201! Yang lebih menyenangkannya lagi, dia bisa melihat Raja Philip II Augustus dari dekat! Tentu saja dia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.
Nana akhirnya menepis kemarahannya demi bisa mengenal sejarah dari dekat.
"Satu tahun sebelumnya, Raja Philip II Augustus membangun Universitas sebagai penghargaan untuk para guru di Prancis. Ini adalah tahun 1201, satu tahun setelahnya ... tunggu! Bukankah itu berarti ...?" Nana bergumam panjang kepada dirinya sendiri.
"Benar. Pasangannya yang berasal dari Merania akan meninggal dunia." Azazel melanjutkan perkataan Nana yang belum selesai.
Bahu Nana merosot. Wajahnya menampakkan kesedihan. Azazel terheran-heran. Nana sendiri yang berkata kalau dia tidak takut lagi akan kematian. Namun dia terlihat lemas ketika mengetahui bahwa pasangan Raja Philip II Augustus akan meninggal dunia di tahun 1201. Manusia adalah makhluk yang sangat sulit dipahami.
Nana tentu saja tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Azazel atas dirinya. "Aku bersedih karena Raja Philip II Augustus akan kehilangan pasangannya, bukan karena aku takut akan kematian," katanya menjelaskan. Azazel terdiam dan menunggu. "Tapi, hidup manusia seperti kami tidak akan pernah abadi seperti hidup kalian. Tuan Iblis pasti pernah mendengar kata-kata seperti ini: "Hidup sebagai manusia adalah anugerah termulia. Hidup sebagai manusia adalah untuk menghapus dosa-dosanya.", bukan? Sering kali kami merasa tidak puas dengan apa yang telah kami miliki. Berakhir pada penyesalan, kemudian melupakannya sama sekali."
Azazel tertegun dengan perkataan Nana, seolah-olah gadis remaja manusia yang baru berusia delapan belas tahun itu sudah hidup selama berabad-abad lamanya.
Mereka berdua akhirnya sampai di Aula Istana. Nana tidak henti-hentinya melirik dan mengagumi setiap lekuk Versailles walau Kerajaan tua itu berada di Abad Pertengahan. Memang tidak seindah yang dibangun oleh Raja Louis XIV. Namun terkesan classy dan sangat elegan. Batu-batu pualam dan marmer menghiasi dan membangun setiap lekuk Kerajaan, memantulkan cahaya matahari siang ke berbagai arah hingga di sana tampak sangat terang.
"Duke and Duchess of Fleur," kata seorang pria memanggil Azazel dan Nana dengan sebutan baru mereka di sana. Pria itu berdeham pada Nana yang tidak tahu tata krama—itu menurutnya. Azazel mengulurkan tangannya kepada Nana, yang bertujuan untuk mengurangi kecanggungan gadis remaja.
Nana membalas uluran tangan itu. Dia bahkan menggenggam dengan erat jemari Azazel. Dia dan Azazel membungkukkan badan, memberi hormat khas Abad Pertengahan di Eropa. Rasanya mereka berdua sangat serasi, tapi pria itu mengabaikan sensasional yang tercipta.
"Silahkan ikut denganku. Yang Mulia Raja Philip II Augustus sudah menunggu. Kalian terlambat!" Pria itu berkata dengan ketus, sama sekali tidak ada estetiknya. Jika saja itu bukan di Istana, Nana pasti sudah menjulurkan lidahnya untuk mengejek pria yang merupakan seorang Perdana Menteri itu.
"Aku baru ingat kalau di tahun 1204, dikatakan bahwa Raja Philip II Augustus mengepung Château Gaillard dan berakhir dengan kemenangan Prancis atas King John dari Inggris, yang kehilangan kendali atas Normandy kepadanya," bisik Nana.
Azazel diam saja. Dia tidak seperti Nana yang tidak tahan untuk bercerita tentang sejarah yang diketahuinya. Lagipula, mereka juga tidak akan bisa mengubah sejarah itu. Tujuan mereka adalah mengumpulkan Talisman. Namun entah kenapa Azazel merasa perkiraan waktu oleh Malaikat salah. Sejauh ini masih tidak ada tanda-tanda kalau adanya aktivitas yang diperbuat dari sebuah Talisman. Dia menjadi meragukan kalau di Prancis ada seorang cenayang/shaman/apa pun itu yang memiliki sebuah Talisman. Namun itu hanya perkiraannya saja.
"Duke and Duchess of Fleur meminta izin temu dengan Yang Mulia Raja!"
Walau Nana sudah pernah melihat ilustrasi seorang Philip II Augustus, tapi itu adalah pertama kalinya dia melihat secara langsung. Rasanya sangat aneh, juga menarik.
"Oh? Duke and Duchess of Fleur!" Raja terlihat sangat senang ketika melihat Nana dan Azazel. "Silahkan! Silahkan!"
Nana merasa kalau menjadi seorang Raja sangat berat. Raja harus memiliki sisi perkasa dan berwibawa. Namun Nana tentu tahu kalau seorang Raja bisa saja menjadi lucu dan kekanak-kanakan.
Raja bertanya mengapa mereka ingin bertemu dengannya dan Azazel menjawabnya tanpa basa-basi. Nana sendiri mengeluh panjang di dalam hati karena dia harus duduk tegak sampai-sampai pinggang dan pantatnya terasa pegal dan sakit.
Yang kemudian, pertemuan itu diakhiri dengan persetujuan dari Raja atas keinginan Azazel sebagai Duke of Fleur dan mengizinkannya menginterogasi para penyihir yang ada di Paris. Raja juga sebenarnya sudah resah dengan beberapa kejadian aneh yang kerap kali terjadi karena ulah kekuatan magis.