Chereads / Books of Evil / Chapter 8 - The First Talisman - Berhasil Meredam Amarah Aegeana Lidya

Chapter 8 - The First Talisman - Berhasil Meredam Amarah Aegeana Lidya

"Untung saja semuanya sudah berakhir," gerutu Nana ketika keluar dari dalam Aula Istana dan berjalan-jalan di taman luas yang belum direnovasi oleh Raja Louis XIV pada tahun 1631. "Kenapa pula Raja menyetujui permintaan dari seorang Duke yang baru saja diangkat? Apalagi itu berhubungan dengan para penyihir. Bukankah politik tidak boleh ikut campur terhadap apa yang dilakukan oleh mereka? Penyihir adalah aset yang berharga untuk negara karena mereka hampir punah."

"Memang benar kalau mereka adalah aset yang berharga bagi negara." Azazel berkata tanpa membuka mulutnya. "Kenapa? Hanya kau yang bisa mendengar perkataan ku saat ini. Aku tidak ingin dipenggal hanya karena bergosip tentang rahasia negara dengan dirimu."

Nana menatap tajam ke arah Azazel kemudian berpaling. Dia hampir saja melupakan kekesalannya jika saja Azazel tidak bersikap menyebalkan.

"Apakah kau ingin marah lagi terhadapku?" tanya Azazel. Dia tidak mendapat jawaban dari Nana. Dia hanya bisa menghela napas. Dia ingin bertanya sampai kapan Nana akan marah kepadanya, tapi dia takut kalau gadis remaja itu semakin marah. Kemarahan Nana cukup membuatnya pusing.

Eduardo masih menunggu di depan Versailles. Dia membuka pintu kereta untuk Nana dan Azazel dan bertanya kepada sang Iblis kemana lagi mereka harus berkunjung. Azazel menunggu jawaban dari Nana yang tak kunjung membuka mulutnya untuk sekadar menjawab.

"Kita pulang saja, Eduardo." Akhirnya Azazel yang memutuskan untuk pulang. Mansion sebagai destinasi selanjutnya. Nana tidak protes sama sekali walau sebenarnya dia ingin mengelilingi kota Paris zaman Abad Pertengahan. Dia lebih memilih untuk diam dan mengabaikan Azazel.

Jika saja Azazel adalah seorang manusia, pastilah dia akan kesal dan merasa kelelahan menghadapi sikap Nana yang seperti itu. Namun tidak bisa dipungkiri kalau si gadis adalah orang yang menyenangkan untuk diajak berbicara. Dia secara pribadi merupakan orang yang bijaksana dan pandai.

"Apa yang akan membuat kemarahan itu mereda?" tanya Azazel.

Nana masih belum berkenan menjawabnya. Dia bukanlah orang yang mudah dibujuk memakai kata-kata. Seseorang harus benar-benar berpikir keras untuk memahami apa yang dia inginkan. Orang yang aneh dan unik.

Saat kereta sudah berada di depan mansion, Azazel bertanya, "Maafkan aku, Eduardo. Tapi, apakah kau bisa membawa kami ke sebuah toko yang menjual manisan?"

"Kemana Anda ingin berkunjung, Yang Mulia?" Eduardo bertanya balik dengan sopan. Seorang Kusir bisa menjadi lebih profesional daripada seorang Duchess—dalam artian untuk menyindir Nana. Tentu saja Azazel tidak berani mengatakannya. Itu hanya akan memperburuk keadaan Nana.

"Kemana saja, Eduardo. Bawa kami ke toko manisan terbaik di Paris." Azazel hanya bisa berharap kalau manisan bisa menenangkan perasaan Nana yang sedang memburuk.

"Baiklah." Kereta pun dipacu kembali oleh Eduardo.

Nana tenggelam dalam pikirannya sendiri. Angan membawanya ke kejadian yang baru saja terjadi, dari dia dan Azazel yang baru saja sampai di tahun 1201 sampai dengan Azazel yang menciumnya. Dia bisa gila jika angannya tidak ingin berhenti membayangkan hal itu.

Azazel bisa melihat wajah Nana yang merona dan matanya yang memicing serta menatap dingin ke arah jalanan yang dilalui kereta melalui celah kecil jendela yang tertutup kain. Dia menurunkan sedikit pandangannya ke arah bibir pucat Nana yang terlihat seksi. Darahnya ... darahnya sungguh manis ..., pikirnya. Apa yang sedang kupikirkan?! Tapi, memang darahnya manis sekali.

Nana tidak bisa melupakan sensasi ciuman Azazel dan sang Iblis tidak bisa melupakan sensasi ketika mencicipi darah si gadis remaja. Mereka tenggelam dalam angan gila mereka masing-masing.

Azazel ingin sekali meminta sedikit darah Nana untuk melepas rasa penasarannya akan sensasi yang baru pertama kali dia nikmati. Namun dia sangat sadar kalau dia melakukannya, kemarahan Nana tidak akan membaik—mungkin untuk selamanya. Tentu saja Azazel tidak akan membiarkan hal itu terjadi.

Secara tak sadar, Azazel mendekati Nana dan memegangi bahunya agar si gadis remaja menatap ke arahnya. Nana yang kaget langsung berusaha untuk melepaskan dirinya. Walau sudah ditendang kakinya pun, Azazel tak kunjung sadar.

Bibir Azazel menyentuh kulit leher Nana yang lembut dan sang Empu berusaha untuk mendorongnya.

"Tuan Iblis ... apa yang kamu lakukan?" tanya Nana sambil berusaha mendorong tubuh Azazel yang semakin memojokkannya ke sudut tempat duduk kereta. Wajahnya merona.

Netra semerah darah milik Azazel melihat tepat ke dalam netra coklat gelap Nana yang terlihat berkaca-kaca. Kemudian, Azazel tersadar.

Meski sudah sadar akan perlakuannya, Azazel tetap melanjutkannya. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Nana dan dengan satu tangan yang bebas dia mengangkat dagu gadis remaja. Wajah mereka perlahan menjadi semakin dekat. Namun Eduardo malah mengganggu adegan romantis itu. "Yang Mulia, kita sudah sampai."

Walau sudah diperingatkan oleh Eduardo, Azazel tak kunjung melepaskan Nana. Dia ingin menikmati semuanya. Sedangkan Nana sendiri sudah memberikan penolakan.

"Eduardo sebentar lagi akan membuka pintu," bisik Nana.

Akhirnya, Azazel melepaskannya. Tepat saat itu, Eduardo membuka pintu. Nana menghela napas lega. Setidaknya Eduardo sudah membantunya keluar dari situasi yang amat gila.

Matahari yang semula berada di puncak mulai bergeser. Nana dan Azazel masuk ke dalam toko manisan yang direkomendasikan Eduardo.

"Apakah ada yang ingin kau beli?" tanya Azazel.

Tentu saja! Ini manisan! Manisan tahu?! seru Nana dalam hati dengan raut wajah senang yang tidak dapat disembunyikan. Apakah aku boleh membeli semuanya?

Azazel lega karena Nana menyukainya.

"Ambil saja sesukamu." Azazel tentu tahu kalau kereta mereka akan penuh dengan kantong manisan, tapi dia tidak ada pilihan lain yang lebih bagus agar mood Nana kembali membaik.

Meski menyukai manisan, Nana merupakan tipe yang pemilih. Dia hanya ingin memakan apa yang dia sukai.

Entah berapa lama Nana dan Azazel ada di toko manisan itu, tapi manisan yang dipilih Nana tidak main-main banyaknya. Saat disusun oleh staf toko, mereka mendapati bahwa Nana memilih sebanyak dua peti besar. Azazel hanya bisa menggelengkan kepala dan menanyakan harga dan membayar mereka—manisan yang dipilih oleh si gadis remaja.

Eduardo tertawa ringan melihat kelakuan Duchess yang dilayaninya. Seumur hidupnya, dia tidak pernah bertemu dengan bangsawan semenarik seorang Aegeana Lidya. Dia yakin pasti gosip tentang bangsawan yang hampir membeli sebuah toko manisan akan cepat beredar di kota kecil Paris.

Nana memasukkan manisan seperti permen tangkai ke dalam mulutnya. Azazel bisa melihat kalau perasaan gadis remaja sangat bagus. Sang Iblis merasa lega. Setidaknya manisan-manisan itu cukup untuk membuat Nana merasa senang jika saja dia salah bicara.

Eduardo membawa Nana dan Azazel kembali ke kediaman sesuai dengan perintah sang Iblis. Entahlah. Yang pasti dia senang karena bisa melayani Duke and Duchess yang unik.