Azazel tentu saja tidak akan membiarkan Nana keluar dari ruangan itu. Entah sejak kapan dia sudah berada di belakang Nana dan menahan pintu agar tidak terbuka. Nana hanya bisa berdecak kesal karena kelakuan Azazel.
"Tidak bisakah kamu menyingkirkan tanganmu dan membiarkan aku keluar dan pergi ke kamar lain?!" seru Nana. Gadis remaja itu mudah sekali kesal dengan kelakuan orang lain.
"Bagaimana kalau aku tidak mau?" tanya Azazel berbisik lembut di telinga Nana. Dia menggigit daun telinga Nana untuk menggodanya. Nana yang kesal langsung mendorong Azazel hingga sang Iblis terdorong beberapa langkah ke belakang.
Nana meluruskan tangannya dengan telunjuk mengarah ke atas sebagai tanda nomor satu. "Pertama, aku tidak ingin digoda oleh Iblis mesum sepertimu walau harus diakui kalau kamu itu tampan," katanya. Kemudian, dia meneruskan angka selanjutnya. "Kedua, aku tidak ingin satu kamar denganmu, dasar mesum! Ketiga, apa pun yang akan kulakukan secara pribadi, atau apa yang akan kamu lakukan secara pribadi, masing-masing dari kita tidak boleh ikut campur. Itu adalah syarat yang ingin ku tetapkan selama kita bekerja."
Azazel hanya menatap Nana dengan dingin dalam diam. Perkataan Malaikat ada benarnya, Nana adalah seorang gadis manusia yang menarik dan Azazel harus mengakuinya.
"Aku tidak akan menyetujui syarat pertama dan kedua. Aku tidak perlu mendengar ocehan darimu yang tidak berguna." Azazel berkata. Dia mengangkat tubuh Nana dan melemparnya kembali ke atas ranjang. Agar tidak kabur, dia menindih tubuh Nana.
Nana menatap Azazel dengan galak. Azazel balas menatapnya dengan tatapan dingin. Baik keduanya tidak ingin mengalah sama sekali. Nana ingin lepas dari Azazel, sedangkan sang Iblis ingin gadis remaja itu tetap berada dalam ruangan bersamanya.
Azazel merasa ada bahaya yang sedang mengintai mereka. Akan sangat disayangkan jika Nana meninggal dunia dalam waktu yang amat singkat. Dengan kata lain, Azazel ingin melindungi gadis remaja karena dia menarik.
Nana akhirnya mengalah pada Azazel dan pasrah. Namun dia masih merengek. "Aku lapar, Tuan Iblis! Aku ingin ada makanan yang masuk ke dalam mulutku! Aku ingin makan!"
Rengekan Nana membuat Azazel sakit kepala. Dia mendudukkan Nana di atas pahanya, lalu memasukkan sesuatu seperti permen ke dalam mulut Nana. Nana ingin meludah benda aneh itu, tapi mulutnya ditutup oleh Azazel. "Telan benda itu," kata Iblis.
Mau tak mau Nana mengemut dan menelannya. Meskipun rasanya manis benar-benar seperti sebuah permen, tetap saja dia curiga. Matanya memicing seolah meminta penjelasan dari Azazel tentang benda yang telah ditelan olehnya. Namun Azazel hanya diam, tidak berkata apa-apa.
Tak lama kemudian, Nana akhirnya tahu apa yang dijejalkan oleh Azazel kepada dirinya. Sebuah obat tidur. Nana ingin protes kepada Iblis, tapi dia lebih dulu kehilangan kesadarannya. Tubuhnya yang akan jatuh ke belakang ditahan oleh Azazel.
Azazel meraih bantal dan meletakkan kepala Nana perlahan di atasnya. Dia mengambil selimut putih yang dipakai untuk menutupi tubuh Nana dan menyelimuti gadis remaja. Kemudian, dia berjalan menuju balkon.
Matahari sudah tenggelam di bawah garis ufuk barat. Azazel menelusuri setiap lekuk kota Paris kuno dengan matanya yang merah menyala. Hari memang sudah malam, tapi mata sang Iblis bersinar dalam kegelapan. Dia bisa melihat Istana tua Versailles yang berada tak jauh dari sana.
Kediaman Duke and Duchess of Fleur, ya? pikir Azazel. Dia tidak begitu tertarik dan kembali masuk ke dalam kamar. Dia melirik ke arah Nana yang memejamkan matanya dan tertidur pulas akibat obat tidur yang dia berikan. Aegeana Lidya. Gadis yang menarik.
Alih-alih tidur bersama dengan Nana seperti saat Malaikat mengerjai mereka berdua, Azazel lebih memilih untuk duduk di sofa yang menghadap ke arah ranjang dan memperhatikan setiap napas yang diambil dan dikeluarkan oleh Nana. Mungkin dia sudah gila.
Azazel menatap Nana tanpa berkedip hingga pagi menjelang dan efek obat tidur yang diberikannya kepada gadis remaja hilang sama sekali. Namun karena Nana tak kunjung sadar, akhirnya dia memutuskan untuk mandi saja.
Nana membuka matanya perlahan-lahan. Sudah lama dia tidak tidur panjang seperti itu. Rasanya tubuhnya segar sekali. Namun dia tetap masih marah dengan Azazel yang seenak jidat memberikan obat tidur kepadanya.
Netra coklat gelap Nana menyusuri setiap lekuk ruangan, tapi dia tidak menemukan keberadaan Azazel dimana pun. Entahlah, ada perasaan panik yang menyergap gadis remaja. Dia melirik keluar kaca pintu balkon dan memanjakan matanya melihat ke cahaya kuning indah nan cerah.
Beberapa saat kemudian, kenop pintu memutar dan Nana bisa Azazel kembali tanpa memakai atasan. Terlihat sekali kalau Iblis itu baru saja mandi. Rambutnya masih saat basah dan dia berusaha mengeringkannya dengan handuk.
Karena tak tahan dengan sikap menggemaskan Azazel yang tidak sabaran, Nana menginjakkan kakinya di lantai dan merebut handuk dari tangan Azazel. "Duduk!" perintahnya.
Azazel tidak mengindahkan perintah Nana. Dia mematung dan menatap lurus ke dalam mata Nana.
Nana berdecak kesal karena Azazel tidak mendengarnya. Dia terpaksa mendorong Azazel hingga sang Iblis terduduk di atas ranjang. Gadis remaja dengan sabar mengeringkan rambut Azazel yang basah menggunakan handuk. Setelah dirasa cukup, dia pun berhenti.
Saat Nana berpaling dari Azazel, sang Iblis berulah dengan menarik tangan si gadis hingga dia terjatuh ke atas pangkuannya. Azazel melingkarkan tangannya di pinggang Nana dan gadis remaja berusaha melepaskan dirinya.
"Aegeana Lidya ...." Azazel memanggil nama Nana dengan berbisik halus di telinga gadis itu.
"Apa?!" Dia malah mendapatkan seruan galak dari Nana.
"Buatlah kontrak denganku," kata Azazel. Dia terlihat serius—tapi, memang sepanjang Nana mengenalnya, Azazel adalah tipe yang berwajah serius. Nana tentu saja menganggap kalau Azazel itu sudah tak waras. Memang semua Iblis itu tidak waras, Nana sangat memahaminya.
"Dasar gila!" hardik Nana. Dia menginjak kaki Azazel, tapi Iblis itu tidak bereaksi sama sekali. Tentu saja bagi Azazel injakan manusia apalagi seorang gadis tidak akan terasa sakit.
"Apakah kau tidak tertarik?" tanya Azazel.
"Tidak!" Nana menjawab dengan tegas. Dia memang tidak tertarik untuk membuat kontrak dengan makhluk tak kasat mana pun, apalagi dengan Iblis kuat seperti Azazel. Satu alasan yang pasti, dia hidup untuk dirinya sendiri. Dia tidak ingin menjadi budak dari Iblis.
Yang benar saja aku akan menjadi budaknya. Aku tidak mau! pikir Nana.
"Kalau kau menjalin kontrak denganku, aku akan menjamin kau terbebas dari perbudakan, bagaimana?" Azazel masih saja berusaha untuk memikat Nana.
"Tidak akan! Tidak mau! Sekarang lepaskan aku! Aku mau mandi dan sarapan! Aku lapar!" Nana berteriak keras hingga Azazel pasrah menghadapi si gadis remaja.