Dirga tersenyum pahit sembari bangkit menuju jendela, berharap angin segar menyapu wajahnya. Namun lagi-lagi yang ia dapat hanya sepotong malam yang sunyi, dengan langit gelap, dan debu-debu kemarau yang hinggap di jendela.
Kamar seluas 10 meter persegi itu lagi-lagi menjadi tempat istirahat untuk Abel. Dia tertidur lelap di atas brankar bersprei putih dengan pergelangan tangan yang dibalut perban.
Sementara Lia tengah menghabiskan waktu menatapi layar handphone, mengusap naik-turun layar bening itu demi membuang rasa bosan.
"Abel kenapa nggak sadar-sadar, ya?" ujar Dirga lalu menghela napas panjang.
Lia hanya mengabaikan, sebab sudah lebih dari dua puluh kali ia bertanya seperti itu. Padahal dokter bilang sebelumnya kalau Abel butuh waktu untuk istirahat. Lagipula, dokter sudah memberikan obat penenang supaya gadis itu bisa beristirahat dengan maksimal.