"Aini!"
Aku yang baru duduk di kursi pabrik menoleh. Salah seorang mandor ruangan menghampiriku yang bahkan baru saja akan memegang bahan olahan pabrik yang menggunung di atas meja.
"Ada apa, Pak?"
Aku bangkit, menunduk sopan. Para teman semejaku sudah berbisik-bisik, takut obrolan mereka terdengar oleh Mandor.
"Kamu ikut saya, pindah ruangan!"
"Hah?" Mulutku menganga, tak percaya dengan ucapannya.
"Kenapa? Kaget?" Wajah yang selama ini kaku itu tertawa, dia menatapku yang langsung menutup rapat mulutku.
"Kenapa saya pindah ruangan, Pak? Apa kinerja saya di ruangan pemeriksa bahan utama selama ini buruk?" tanyaku pelan, sudah meremas ujung hijabku.
"Bukan," ucapnya sambil mulai berjalan, memintaku mengikutinya.
Kuletakkan alat bantu untuk menyortir bahan-bahan dasar untuk membuat cemilan di atas meja. Lalu berjalan mengikutinya keluar dari ruangan kering itu. Masih tak paham akan di bawa kemana, tapi aku tetap mengikutinya.
"Kamu sekarang di ruangan packing, di sini gaji kamu akan lebih besar," ujarnya sambil tertawa.
Aku masih tak percaya dengan ucapannya saat di dalam ruangan tadi, kini bertambah tak percaya mendengar suara tawa dan juga nama ruangan yang di sebutkan oleh mandorku ini.
Ruangan packing? Masya Allah, demi apa aku di pindahkan ke sana. Jujur saja, itu memang ruangan dengan gaji harian yang lebih tinggi. Seratus lima puluh ribu sehari, bagiku itu sangat banyak. Di ruangan sortir, gajiku hanya lima puluh ribu sehari. Bisa di bayangkan, bukan? Gajiku naik dua kali lipat! Azizah pasti senang mendengarnya!
Pintu ruangan besar itu dibuka oleh Mandor, beliau memintaku ikut masuk. "Ini yang namanya Aini Arfana, Pak. Dia sudah bekerja selama setahun di ruangan pemasakan dan terakhir tiga tahun di ruangan sortir. Kinerjanya cukup bagus dan mengesankan, maka dari itu saya memilihnya untuk menggantikan Qori yang sudah resign."
Aku tersenyum sopan pada pengawas ruangan itu. Belum terlalu tua, hanya saja dia sudah beristri. Wajahnya terlihat teduh dan tampak ramah bersahabat.
"Baiklah, sepertinya kamu sangat menyeleksi anggota yang saya butuhkan. Dan tinggi Aini juga pas untuk anggota packing. Apa aktivitasmu di luar, Ain?" tanyanya akrab, seperti namaku sudah biasa di panggilnya.
Aku menunduk. "Saya mahasiswi di Universitas Dharmawarman semester enam, Pak."
Dia mengangguk paham, lalu melihat arlojinya. "Baiklah, Rian. Terima kasih sudah mengantar Aini kemari. Selebihnya saya yang akan membimbing dan mengawasinya karena dia sudah resmi menjadi anggota ruangan saya."
Pak Rian, mandorku yang berada di devisi lain itu menunduk sopan. "Baik, Pak. Saya permisi, jika Aini susah di ajarin, jangan terlalu di paksa, Pak. Karena dia punya penyakit-"
"Saya tahu, sudah sana!" potong kepala ruangan packing itu cepat.
Aku hanya tersenyum melihat mereka dorong-dorongan. Mandorku di ruangan sortir itu sedikit berteriak saat tanpa aba-aba kepala ruangan packing mendorongnya keluar ruangan. Pintu di tutup olehnya, lalu berbalik kearahku.
"Nama saya Mukhtar, panggil saja Pak Mukhtar." Kepala ruangan baruku tersenyum, memperkenalkan dirinya.
"Iya, Pak. Saya baru, mohon bimbingannya, ya?" Aku ingin berteriak sekarang, bangga sekaligus tak sabar mengabarkan hal ini pada Azizah.
"Ah, tentu. Eliza!" Pak Mukhtar berseru, memanggil seorang wanita yang berdiri di ujung meja.
"Iya, Pak?" Eliza mendekat, menatapku sejenak.
"Ini, anggota baru pindahan dari devisi sortir. Aini ini pengganti Qori, kamu bisa membimbingnya, ajarkan Aini cara mempacking produk yang akan di pasarkan. Melihat kinerjanya yang cukup baik empat tahun ini, saya yakin dia tidak akan kesulitan untuk memahami cara cepat untuk mempacking seperti yang kalian lakukan." Pak Mukhtar berkata, membuat Eliza mengangguk.
"Baik, Pak. Ayo, siapa namamu tadi?"
Aku tersenyum. "Aini, Kak."
"Iya, Aini. Kamu jangan kasar-kasar padanya, El. Aini itu adikku yang-"
"Adik?" ucapku tak percaya. Apa maksud ucapannya?
Saat kulihat, Pak Mukhtar sedang tersenyum. "Kenapa, Ain? Saya salah bicara dengan menyebut kamu Adik?"
Aku tersenyum gugup, merapikan hijab. "Tidak, Pak. Hanya aneh saja."
Eliza tertawa. "Aini, Pak Mukhtar memang begitu. Beliau ini menganggap kita sebagai adik-adiknya biar tidak ada yang jatuh cinta padanya. Jadi, kamu jangan merasa bahwa ucapannya aneh!"
Aku akhirnya paham, lalu menunduk sopan. Mengikuti Eliza ke meja packing yang bergerak tanpa henti, lalu mengikuti ajarannya tentang cara cepat membungkus snack-snack yang bergerak cepat dari sebuah mesin raksasa.
Kuseka keringatku dengan semangat. Hingar bingar suara di ruangan ini cukup menyenangkan. Jika di ruangan sortir selalu hening, di ruangan ini berbeda. Suara tumpahan potongan snack yang meluncur dari atas, membuat aku merasakan keseruan tersendiri. Tidak lama aku beradaptasi dengan anggota lama, mereka tidak sombong, bahkan dengan senang hati bersedia membantu.
"Makan!"
Sebuah suara terdengar, saat aku sedang duduk beristirahat di belakang kantin pabrik berseberangan dengan mushola. Tadi aku sempat sholat isya, lalu setelahnya duduk di atas kursi taman dengan pencahayaan yang cukup terang.
Saat ini aku tidak membawa bekal, karena tadi Azizah tidak sempat memasak. Setelah kami makan di warteg, aku langsung masuk karena memang sudah penggantian jadwal.
"Kamu bekerja di sini juga?" tanyanya lagi membuatku tersentak.
Aku menoleh, lalu terperanjat saat melihat siapa yang berdiri di sampingku. "Pak Mursal?!"
Keningnya berkerut, lalu menatapku bingung. "Saya rasa, kita belum pernah berkenalan. Kenapa kamu tahu nama saya?"
Aku gelagapan saat beliau menatapku sejurus. Lalu mulai menyadari kesalahan hingga aku memutuskan untuk menampilkan deretan gigi. "Saya memang tahu nama Bapak, karena banyak teman-teman kampus yang membicarakan Bapak."
Dia masih menatapku, sebelum akhirnya tersenyum. "Begitu rupanya. Oh iya, boleh saya duduk di sisi ini?" Pak Mursal bertanya, menunjuk sebuah kursi kecil tak jauh dari kursi yang ku duduki.
Aku tersenyum kikuk. "Pabrik ini bukan punya saya, Pak. Jadi, tidak perlu minta izin untuk duduk di mana saja."
Pak Mursal mengalihkan perhatian, menatapku yang langsung membuang muka. "Saya tahu pabrik ini bukan punya kamu, juga bukan punya saya. Tapi kenapa kamu tidak mengatakan hal yang sama waktu saya ingin bergabung duduk denganmu dulu?"
Aku menelan ludah, apa maksud dari ucapannya? Apakah Pak Mursal mengingat tentang pertama kali beliau meminta bergabung dengan kursi yang sama denganku saat di taman sekolah dulu?
"Dulu, kapan ya, Pak?" Aku bertanya, menatapnya dengan kerutan dahi palsu yang ku ciptakan.
Pak Mursal tak menjawab, beliau mendudukkan tubuhnya di sisi tak jauh dari tempatku. Mengikuti pandanganku yang sudah kualihkan, kami sama-sama diam menatap kolam ikan yang berpendar karena pencahayan lampu.
"Jadi, siapa nama kamu?" Pak Mursal bertanya tanpa mengalihkan pandangan.
Tubuhku sudah gemetar saat mendengar ucapannya. Berbeda dengan Pak Mursal, beliau amat santai di kursinya. Bahkan wajahnya sama sekali tak berubah seperti pertama kali beliau menegurku tadi.
"Nama saya, Pak?" Tunjukku pada diriku sendiri.
"Hmm, jika saja ikan-ikan itu bisa bicara, saya tidak akan bertanya tentang nama kamu. Karena, bisa jadi mereka yang akan menjawabnya lebih dulu." Pak Mursal berkata, tak mengalihkan pandangannya dari kolam.
Aku meringis pelan, lalu diam berpikir. Nama apa yang cocok jadi samaran?
"Masih lama berpikirnya?"
Aku terlonjak kaget, bagaimana Pak Mursal bisa tahu bahwa aku sedang berpikir?
Sebelum Pak Mursal bergerak untuk mengalihkan pandangan, aku sudah menjawab. "Ismi Syahza, tahiatan sayidi." (Nama saya Syahza, salam kenal, Pak.)
Aku menutup mulutku setelah mengucapkan kalimat bahasa Arab itu. Bagaimana bisa aku mengucapkannya pada seorang guru bahasa Arab yang justru ingin pura-pura tak kukenali?
"Ya Allah, Ain. Kau membuka identitasmu dengan mengunakan bahasa itu."
Saat kulihat, Pak Mursal hanya diam termangu. Dapat kulihat bahwa bibirnya tengah mengulas senyum. Habislah aku!
Bersambung!