Chereads / Assalamu'alaikum, Ya Aini. / Chapter 4 - Azizah

Chapter 4 - Azizah

"Ustadz Ahmad yang kita kenal dari tausyiah mingguan itu?" tebakku membuat wajahnya semakin memerah.

"Iya, demi apa coba? Bagaimana bisa beliau berniat untuk ta'aruf denganku? Aku bingung menjawabnya, Ain."

Wajahnya tertekuk, bahkan dia menutup buku tugas yang ada di hadapannya. "Kamu tahu 'kan, kita cuma hidup berdua di kota ini. Aku tidak punya orang tua apalagi wali. Siapa lagi tempatku untuk meminta masukan dan juga saran?"

Aku terdiam, menatap wajahnya sendu. "Benar, aku juga tidak punya orang tua untuk membantumu. Abi dan Ummiku tidak tahu ada di mana, sejak berpisah lima tahun lalu, aku tidak pernah tahu bagaimana kabar mereka. Maaf, ya, Az."

Dia menatapku, tangannya terulur untuk menggenggam tanganku. "Ain, maaf. Aku tidak bermaksud untuk membebanimu ataupun membuatmu merasa bersalah. Ini hidup, Ain. Dan ini adalah ujian bagi kita." Azizah berkata, aku bisa mendengar suaranya yang mulai bergetar menahan tangis.

Aku mengangguk, balas menggenggam tangannya. Jika mengingat tentang perpisahan kedua orang tuaku, rasanya hatiku sakit sekali. Disaat aku akan mendaftarkan diri untuk kuliah, di saat itulah mereka bertengkar. Entah apa penyebabnya, aku tidak tahu.

Dua bulan aku terpuruk, kedua orang tuaku masih saling menyalahkan dan juga perang dingin. Setelahnya, mereka berpisah setelah kata 'talaq' keluar dari mulut Abi. Mereka meninggalkan aku, tak pernah kembali hingga saat ini.

Dan aku seperti seseorang yang kehilangan arah. Orang tuaku yang pergi tanpa kabar membuatku tak terurus. Hingga tanpa kuduga sama sekali, penyakit mulai menghampiri hidupku. Salah satunya TTH kronis (Tension type headache), lima tahun aku mengidapnya di karenakan faktor banyak pikiran dan juga efek dari perpisahan kedua orang tua. Tubuhku juga lemah, tidak bisa berlari terlalu cepat dan jauh. Rasanya saat ini, aku hanya perlu memperbaiki dan menyempurnakan diri sebelum akhirnya nanti sang Pencipta memanggilku ke hadapannya.

Dan hal itu juga yang membuatku memutuskan untuk pura-pura tak mengenali Pak Mursal. Rasanya, aku takut perhatiannya yang dulu kembali dan aku hanya akan menjadi beban untuknya.

"Kamu sift malam hari ini 'kan, Ain?" Azizah bertanya, membuyarkan lamunanku.

"Eh, iya. Kenapa?"

Azizah tersenyum. "Tidak ada, nanti aku jemput pulangnya. Jam sebelas malam, bukan?"

Mataku menyipit. "Kita satu pabrik 'kan, Az?"

Dia mengangguk polos membuatku mencebikkan bibir. "Kalau begitu kamu berarti sudah tahu. Dan, untuk apa bertanya jika hal itu sudah kamu ketahui?"

Dia menyeringai, menampilkan deretan giginya yang bersusun rapi. "Sengaja, aku 'kan suka melihat kamu kesal."

Aku berdecak pelan, lalu tersenyum. "Kamu tak akan mendapatkan hal itu."

Dia tertawa, tapi aku sudah menenggelamkan kepalaku di balik buku. "Sudah dapat bahan pembelajarannya?" Aku bertanya tanpa melihatnya.

"Sudah, tinggal ku salin saja. Aku masuk kerja 'kan sift pagi, nanti malam aku kerjakan di kost."

Aku menggeleng kecil mendengarnya, lalu menyelipkan penanda di halaman terakhir buku yang kubaca. "Suka menunda pekerjaan itu tidak baik, Az. Kita akan semakin lalai dan nantinya akan menjadi terbiasa."

Azizah tersenyum lebar. "Aku lapar, makanya aku tidak bisa mengerjakannya sekarang." Dia melirik jam dinding yang ada di loteng. "Tuh, sudah jam dua. Kita pulang, yuk. Kamu bisa sempat istirahat dulu, makan siang dulu, minum obat baru setelahnya berangkat kerja. Jangan terlalu memaksakan diri untuk mempelajari sebuah hal, Ain. Nanti penyakit kamu makin parah."

Aku tersenyum, begitulah Azizah. Dia amat perhatian dan paham bagaimana diriku. Selama ini, dia selalu mendampingiku disaat-saat penyakitku kambuh. Dia merawatku dengan baik, menyiapkan makanan jika aku tidak bisa, menjagaku, sekaligus pembelaku. Karena, aku tahu dirinya jauh lebih kuat dariku. Azizah bahkan pintar beladiri, katanya saat kutanya, beladiri itu perlu untuk menjaga diri dan harga diri.

Aku salut padanya, pribadinya amat menyenangkan. Juga, aku merasa bahwa dia terlalu baik. Suatu saat, aku ingin membalas semua perbuatan baiknya padaku, jika aku mampu.

"Yasudah, kita pulang. Ayo!" Aku bangkit, tapi kepalaku langsung terasa pusing. Begini jika aku sudah terlalu lama duduk atau berbaring, jika bangkit tiba-tiba pusing akan langsung menyerangku.

"Hati-hati, Ain!" serunya sambil berjalan dan memeluk lenganku. "Jangan langsung bangkit secara tiba-tiba, nanti kamu bisa jatuh karena rasa pusing itu."

Aku mengangguk lemah, memijit kepalaku untuk sekedar mengurangi rasa pusing. Setelah membereskan buku dan alat tulis, dia menuntunku menuruni anak tangga. Kulirik wajahnya yang tampak tulus memperhatikan langkahku. Rasanya aku ingin menangis melihat wajahnya itu. Kemana orang tuaku yang seharusnya ada di saat-saat seperti ini? Kenapa aku harus di jaga dan di rawat oleh seorang wanita asing yang sekarang menjadi sahabatku?

Sampai di parkiran, Azizah langsung menaiki motornya. Dia menyalakannya dan memintaku untuk naik. Saat aku memegang bahunya dari belakang, satu tetes air mataku jatuh. Aku sebenarnya tak ingin seperti ini. Kenapa dari dulu, aku selalu menyusahkan wanita sebaik dirinya? Aku merasa amat bersalah.

"Maafkan aku, Az. Entah sampai kapan rasa sakit ini menderaku. Tapi, jika nanti aku sudah pergi menghadap Ilahi. Aku tidak akan merepotkan dirimu lagi," ujarku pelan, membuatnya tak jadi melajukan motor.

Menoleh menatapku, tatapannya tampak tak suka. "Apa yang kamu bilang tadi?! Kenapa kamu memikirkan kematian di saat kita sedang berusaha untuk menyembuhkan penyakitmu? Kamu tidak menghargai apa yang sudah kuusahakan selama ini?"

Di atas motor, aku menangis dalam diam. Mendapati pertanyaannya tak dijawab, Azizah melajukan motor keluar dari pekarangan kampus.

Aku menyentuh bahunya. "Kamu marah, Az?"

Azizah menoleh sedikit kearahku, wajahnya basah. "Aku sudah tak punya orang tua, Aini. Jangan buat aku sedih karena kamu membahas tentang kematian lagi."

Motor yang melaju pelan membuat aku dapat mendengar suaranya yang bergetar. Rasa bersalah menghantuiku, rasanya aku semakin membuatnya menjadi bertambah susah.

Kuusap air mataku kasar, lalu mencoba tersenyum. "Maaf, Az. Aku tidak akan membahasnya lagi, maaf. Aku janji akan sembuh, kita akan menggapai impian dan juga cita-cita kita bersama. Kamu jangan sedih lagi ya, aku minta maaf."

Di atas motor aku melihat tangannya yang bergerak mengusap air mata. Senyum terbit di wajahnya, membuat aku ikut membalas senyum.

"Kamu pasti akan sembuh, ingatlah bahwa jika kita berusaha, usaha itu tidak akan pernah sia-sia. Allah tidak akan membiarkan usaha hambanya menjadi sia-sia. Akan ada kesembuhan bagi orang yang menginginkannya, Ain. Kita hanya perlu berusaha, lalu berdoa. Selebihnya kita serahkan pada yang maha kuasa. Kalau kamu mengharapkan kematian, sama saja kamu menjadi hamba yang berputus asa. Dan Allah membenci orang-orang yang berputus asa," ujarnya menasihatiku yang hanya bisa menangis dalam diam.

"Jangan berputus asa, jangan bersedih. Penyakit itu milik Allah dan Allah juga yang mempunyai obatnya. Lagipula, penyakit juga bisa melunturkan dosa. Yakinlah, kamu pasti akan segera sembuh dan menemukan kebahagiaan," tambahnya, tapi aku tak bisa berkata-kata, suaraku tercekat di tenggorokan.

Mendengar ucapannya, kenapa dadaku terasa sesak?

Bersambung!