"Jangan berputus asa, jangan bersedih. Penyakit itu milik Allah dan Allah juga yang mempunyai obatnya. Lagipula, penyakit juga bisa melunturkan dosa. Yakinlah, kamu pasti akan segera sembuh dan menemukan kebahagiaan," tambahnya, tapi aku tak bisa berkata-kata, suaraku tercekat di tenggorokan.
Kenapa mendengar ucapannya, dadaku terasa sesak?
Motor maticnya terus melaju, memasuki sebuah lorong kecil sebelum akhirnya berbelok dan tiba di tempat kost. Aku turun, di susul dengan Azizah.
"La Tahzan, Ain. Aku akan selalu ada untuk kamu, begitu juga dengan Allah."
Diusapnya sisa air mataku yang masih tergenang, lalu menarik lembut tanganku menuju pintu kost. Aku hanya diam, hanya senyuman yang ku berikan karena tak sanggup lagi berkata-kata. Azizah sudah membuka pintu kost kami, menarik tanganku memasukinya.
"Kamu mau masak?" tanyaku saat melihatnya langsung berlalu menuju dapur.
Azizah mengangguk, dia membuka lemari dan mengeluarkan beberapa butir telur dari sana. "Aku lupa beli beras, nasinya tinggal sedikit. Sebentar, ya, Ain. Aku-"
"Aku saja," potongku sebelum kalimatnya selesai. "Aku saja yang membelinya ke warung. Kamu bisa langsung memasak, ya?"
Azizah menghentikan gerakan tangannya yang tengah membuka rice cooker. Beralih menatapku, wajahnya tampak ragu.
Aku tersenyum. "Aku bisa, jangan khawatir. Lagipula tidak banyak yang mau di beli 'kan?"
Kulihat dia menghela napas, lalu meraih tas kecil tempat uang kami di simpan. "Lima liter, yakin kamu bisa?"
Aku mengangguk. "Gampang, cuma lima liter saja. Aku bahkan pernah mengangkat karung sepuluh kilo. Tapi waktu tidak ada isinya!"
Azizah menatapku sejenak, lalu tawanya pecah. Aku hanya menyeringai, berhasil membuatnya tertawa. Padahal wajahnya tadi sedikit muram sejak turun dari motor.
"Ada-ada saja kamu, Ain. Aku juga bisa, seratus kilo juga bisa, tapi kalau kosong." Azizah berkata masih dengan sisa-sisa tawa, sebelum akhirnya dia menyodorkan uang padaku.
"Pergilah, di warung pinggir jalan itu saja. Jangan jauh-jauh, Aini. Aku tidak mau kamu kelelahan."
Azizah mulai memasang wajah serius, aku langsung mengangguk.
"Aku percayakan kamu pada Allah, lalu pada dirimu sendiri," ujarnya lagi.
"Ya Allah, Az. Aku cuma ke warung, bukan mau pergi berperang!" Aku berkata membuatnya tertawa kecil.
"Sudahlah, pokoknya seperti itu. Sana beli, nanti tidak sempat kamu makan."
Menghela napas pelan, aku akhirnya berjalan keluar kost. Kututup pintu, lalu mulai melangkah. Kembali melewati lorong untuk sampai di jalan raya. Sepanjang jalan, aku hanya menundukkan pandangan. Bahkan saat sudah membeli beras, pasalnya yang menjadi penjual adalah seorang lelaki muda.
"Biar aku bantu kamu bawa berasnya," tawar sebuah suara yang sudah cukup kukenal.
Aku menengadah, lalu tersenyum kecil. "Terima kasih, tapi tidak perlu Zikri. Aku masih bisa membawanya sendiri," ujarku sopan.
Zikri, salah satu temanku sewaktu di SMA. Kepala kelompok anak laki-laki yang setiap hari mengejek dan menghinaku. Bahkan dulu dia paling jijik melihatku, hingga terkadang semua cacian yang tak pantas diucapkan, terlontar untukku.
Lima tahun ini, dia tinggal di kota yang sama denganku. Dia menjadi seorang pengamen di sepanjang jalan ini, padahal setauku orang tuanya masih ada. Tapi, masa depannya entah seperti apa. Hidupnya gelap dengan judi dan rokok yang menjadi teman setia. Urakan dan berandalan, adalah julukannya. Dan sekarang entah mengapa dia selalu memberikan perhatian padaku. Padahal dulu, dia adalah salah satu orang yang selalu melukai hati ini.
"Aini, aku hanya ingin membantu. Itu berat pasti!" Zikri kembali mencegat langkahku yang baru akan berjalan.
Aku menggeleng, sambil tersenyum menghargai. "Tidak perlu, Zikri. Lagipula kost tempatku tinggal juga dekat. Ini juga tidak terlalu berat. Aku tidak mau merepotkan kamu, permi-"
Tanganku di genggamnya erat, wajahnya terlihat mengeras saat aku menengadah. "Aku sudah melakukannya dengan baik selama ini, Aini! Tapi kamu sama sekali tak menghargai ataupun menerima kebaikan yang aku lakukan! Apa kamu tidak melihat bahwa aku melakukannya karena aku tidak mau kamu lelah?!" sentaknya kasar.
Aku menarik tanganku dari genggamannya, lalu menatapnya tajam. "Tolong, Zikri. Aku dan kamu bukan makhrom hingga dengan seenaknya kamu menyentuh tanganku. Aku tidak pernah memintamu untuk baik padaku. Aku tidak memintamu untuk perhatian. Aku bukan tidak menghargai, aku justru senang kamu berubah baik seperti ini padaku setelah kamu puas mengejek kekurangan dan kejelekanku masa SMA dulu. Tapi, setidaknya jangan menjadi pemaksa. Hargailah keputusanku menolakmu karena untuk menghindari fitnah!"
Zikri terdiam, wajahnya masih belum melunak. "Aku tidak peduli dengan fitnah! Apa perlu aku menyakitimu seperti dulu, hah?"
Tubuhnya mendekat, membuatku langsung bergerak mundur. Saat tangannya hampir menggapai tubuhku, sebuah bogem mentah mendarat di pipinya, membuatnya terhuyung ke tembok lorong.
"Lo, jangan pernah macam-macam sama Aini! Mau mati lo, hah?"
Azizah, dia sudah berdiri di depanku menjadi tameng. Auranya terlihat garang, dengan wajah yang memerah. Zikri yang baru bangkit langsung menyerangnya. Tapi dengan gerakan cepat, Azizah menendangkan kakinya ke perut Zikri. Membuatnya terkapar di tanah. Aku hanya diam, di belakang Azizah. Sebelum akhirnya Zikri kembali bangkit dan menatapnya dengan aura kemarahan.
"Lo, brengsek! Berani banget lo main belakang! Gue hajar-"
Sebuah pukulan melayang lagi kearahnya. Tapi kali ini bukan dari Azizah, namun dari seorang pria yang berpakaian Muslim. Saat menyadari dirinya terpojok, Zikri hanya bisa beringsut mundur dengan tubuh separuh duduk.
"Awas aja lo semua, urusan kita belum selesai!" serunya sambil meludah.
Setelah mendapat jarak aman, dia langsung bangkit dan melarikan diri dari sana.
"Ustadz Ahmad?" gumamku pelan, tersenyum sopan saat lelaki itu berbalik arah.
"Kalian tidak apa-apa?" tanya Ustadz Ahmad, sesaat setelah dia berbalik.
Aku dan Azizah langsung menunduk. "Alhamdulillah, tidak apa-apa, Ustadz. Terima kasih atas bantuannya."
"Alhamdulillah kalau begitu."
Saat kami mendongak, Ustadz Ahmad sedang menghela napas. "Di sini berbahaya, Azizah, Aini. Banyak preman dan berandalan yang suka cari masalah. Beruntung tadi saya sempat di beri tahu oleh lelaki yang ada di sana ...." Ucapan Ustadz Ahmad terpotong, saat melihat kearah seberang jalan yang sudah tak ada lagi siapa-siapa.
"Lha, kemana dia?" ujarnya pelan, membuat kami ikut melihat arah yang ditatapnya.
Aku dan Azizah kembali menatap kearahnya. "Siapa yang Ustadz maksud? Tidak ada siapa-siapa di sana." Aku bertanya, membuatnya menoleh kearah kami.
"Tadi ada, seorang pria muda. Dia tertinggal saat akan menyeberang untuk membantu kalian berdua. Tapi, kenapa dia tidak ada lagi di sana?"
Aku mengerutkan kening, tapi justru kepalaku menjadi pusing. Tanganku tanpa sadar langsung memegang bahu Azizah, membuatnya sadar akan kondisiku dan langsung memegang kedua tanganku. Melepaskan beras yang ku pegang, dia menumpukan dirinya untuk membopong tubuhnya yang hampir luruh.
"Aini, Ya Allah, Ustadz!" Azizah berseru, membuat Ustadz Ahmad langsung mendekat, wajahnya panik.
"Ada apa? Kenapa dengan Aini?"
Bersambung!