Sesampainya Sandra kembali ke ruang tengah, tiga orang yang berada di sana tidak terlibat pembicaraan apa pun. Termasuk sesudah ia duduk di samping Bara.
Sepuluh menit hening, tidak ada yang berniat memulai duluan. Brisia sibuk memonyongkan bibir, Arsoni bermain ponsel. Sementara Bara juga sama saja sibuk dengan tablet di tangannya.
Sandra jadi salah tingkah karena tidak melakukan apa-apa. Dia menyenggol kaki Bara pelan. Bermaksud meminta penjelasan mengapa semuanya hanya diam. Tapi Bara, tak acuh dengan kode Sandra.
"Kalian ini memang tidak ada sopan santun dengan orang tua ya!" Setelah sekian lama, Brisia tak tahan juga membuka suaranya.
"Kami sibuk!"
Serentak Bara dan juga Arsoni membalas ucapan Brisia. Membuat perempuan itu memerah marah.
"Kalian benar-benar ya. Lihatlah akibat bertemu dengan orang yang tidak bermoral. Kalian–"
"Cukup Kak! Sebenarnya apa tujuanmu datang kemari?"
Bara meletakan tabletnya di meja. Menatap Brisia yang tampak syok mendengar suara Bara.
"Kau ...!" tunjuk Brisia kesal.
"Kami di sini bukan orang pengangguran Kak. Jadi jika kau hanya datang untuk menghina ataupun marah-marah lakukan lain kali saja."
"Bara!"
"Kak! Jika ada masalah dengan anakmu selesaikan di rumah. Pintu di sebelah sana."
"Kau mengusir Kakakmu? Benar-benar keterlaluan kau Bara. Siapa kau yang berani-beraninya berbicara lantang padaku, hah? Kau sudah lupa siapa kau–"
Bara berdiri dengan mengangkat tangannya. Sudah sejauh ini, dan kakaknya selalu membahas asal-usulnya yang tidak bisa apa-apa. Bara bukan bayi yang jika haus akan menangis. Sepanjang pertumbuhannya akan diisi kebanggaan.
"Hentikan Kak, ini tempat tinggalku. Di sini ada anakku dan juga temannya. Dalam kurang dari satu jam, orang tuanya akan datang menjemput. Akan jadi apa martabat keluargaku jika orang luar mendengar keributan tidak penting ini."
Brisia hanya mampu menggerakkan giginya. Menahan kesal setengah mati pada ucapan Bara. Dia masih tidak terima diusir begitu saja oleh adik satu-satunya itu.
"Anak haram, berteman dengan anak cacat. Cocok," ujar Brisia dengan lantangnya.
"Cukup!"
Sandra tidak tahan dengan pertikaian ini. Apa lagi sudah membawa-bawa nama sang anak. Terlebih Brisia bahkan berani menyinggung kondisi teman baik Sky. Ini tidak bisa dibiarkan. Nuraninya sebagai ibu terkoyak oleh Bara.
"Hanya ibu palsu yang mengatai anak dari ibu lainnya," ujar Sandra sambil bergetar. Setelah mengatakannya dia berlalu dari hadapan tiga orang yang selalu membuat kepalanya hampir pecah.
Bara dan Arsoni membiarkan Sandra pergi begitu saja. Lain halnya dengan Brisia yang mulai meracau tak jelas.
"Son, bawa ibumu keluar. Bisa-bisa ada pertumpahan darah di sini," ujar Bara dengan sorot mata yang tajam dan menusuk.
Arsoni bisa merasakan kemarahan Bara yang berusaha dia redam. Tak ingin berlarut dalam kegaduhan, Arsoni menggandeng Brisia keluar. Tak mudah karena sang ibu ternyata tidak mau beranjak sama sekali. Dengan berbagai bujukan, akhirnya Arsoni dapat membawa Brisia keluar dari apartemen.
***
Dengan langkah berat Bara masuk ke dalam kamar. Melihat Sandra menangkupkan bantal ke wajahnya membuat dadanya sesak. Dia mengerti bagaimana geramnya Sandra selama ini atas sikap Brisia. Selama dihina dia akan diam. Tapi tidak untuk Sky dan Erlangga. Dua anak kecil yang tidak berdosa.
"Sayang, mereka sudah pulang," ujar Bara dengan enggan memanggil nama mereka. Diusapnya rambut panjang Sandra, memberi kenyamanan.
"Iya tahu," sahut Sandra sambil terisak.
"Sudah ya. Kasihan Sky dan Erlangga kalau Mama dan tantenya menangis."
Sandra membalikan wajahnya. Menatap Bara dan tersenyum. "Memang hanya mereka yang membuatku kuat. Hanya mereka yang membuatku berani. Astaga, dua anak itu sepertinya harus tumbuh bersama," ucap Sandra sambil bergurau.
"Begitu dong senyum." Bara senang melihat perubahan mood Sandra. "Eh, kalau kau mau dua anak, em ... kita bisa loh buat lagi. Sky juga 'kan sudah besar."
Ucapan Bara langsung mendapat hantaman bantal pada wajahnya. Dia yang tidak siap langsung oleng ke belakang.
"Wuah .... Mulai berani ya!"
Buru-buru bangkit dan menggapai kedua tangan Sandra untuk dia ikat mengunakan tangannya. Sandra bergerak gelisah di bawah kendali Bara.
"Lepaskan Bara. Ingat ada Sky dan Erlangga. Sebentar lagi juga orang tuanya datang."
Bara tidak perduli. Dengan wajah menyeringai, dia mengkikis jarak dengan Sandra. Melumat perlahan hingga menuntut. Membuat lawannya mau tak mau membalas perbuatan Bara.
"Aku jadi ingin nih San," gumam Bara sesaat pagutannya terlepas.
"Ih tidak bisa begitu. Lepas dong. Katanya ad yang mau disampaikan."
Bara kemudian ingat dengan rencananya pulang cepat. Dia melepaskan Sandra dan mulai duduk dengan tenang.
"Kita harus tinggal di mansion. Apartemen ini tidak aman. Kalau di mansion penjagaan ketat. Aku tenang ketika meninggalkanmu seorang diri. Lagi pula, tempatnya jauh lebih luas untuk perkembangan anak-anak."
Sandra mengangguk. Teringat tadi dia begitu ketakutan akan kedatangan Zachary. Dia berpikir bukan kali ini saja sepupunya akan datang mengacau.
"Aku setuju saja. Asal Sky nyaman," sahut Sandra beralasan. Dia tidak ingin terlihat lemah di mata Bara. Meski dalam hatinya begitu ketakutan.
"Tenang saja, meski banyak pegawai, kita tetap memiliki privasi. Anak itu juga akan nyaman. Dia bisa membawa temannya sebanyak apa pun tanpa takut merasa sempit," ujar Bara jumawa.
Sandra hanya berdecak. Tidak berminat menyahuti kesombongan Bara. Sejak dulu pria itu memang sombong. Tak ada yang berubah dari dirinya.
"Kau tidak kembali ke kantor?"
"Tidak. Sudah ada asisten yang menangani. Tidak terlalu sibuk kok."
Sandra hanya mengangguk. Tidak mengerti juga dengan schedule yang dilakukan Bara.
"Oh ya, kau siap-siap saja. Mungkin nanti setelah ibunya Erlangga menjemput, kita akan ke mansion."
"Oh."
Hanya itu yang bisa keluar dari mulut Sandra. Selanjutnya perempuan itu memilih berkemas. Dari pada hanya berdua dengan Bara. Dia takut terjadi hal yang tidak-tidak dengan pria tersebut.
"Kau butuh bantuan Sayang?" tawar Bara yang langsung saja mendapat penolakan.
Dia mendesah kecewa. Niatnya tidak bersambut baik.
"Ya sudah kalau begitu. Aku ke kamar Sky saja. Minta dia bersiap-siap."
Sandra hanya mengacungkan jempolnya. Lebih baik begitu. Ada Bara di sini malah semakin mengurangi geraknya. Orang itu kadang-kadang melakukan hal-hal yang tidak diduga.
***
"Kau begitu mengecewakan Mama Soni! Bisa-bisanya kau pergi menemui perempuan sundal itu."
"Namanya Sandra Ma," sahut Arsoni tidak terima perempuannya dikatai buruk.
"Segitunya kau bela dia Arsoni. Pelet apa yang telah dia pakai untuk membuatmu lupa dengan ibunya sendiri hah!"
Arsoni mencengkeram setir di depannya. Kesal sekali dengan ucapan buruk ibunya tentang Sandra.
"Tidak ada Ma. Lagi pula, niatku mengunjungi Sky dan memberinya banyak hadiah. Aku sudah lama tidak melihatnya."
Mendengar kata Sky disebut, Brisia merasa jengah. Kehadiran bocah sialan itu jelas saja memperhambat rencananya memisahkan Sandra dari Bara.
Terbesit satu rencana di kepalanya. Seketika dirinya tersenyum sinis. Kalau tidak bisa memisahkan mereka berdua. Lebih baik membuat apa yang ada di antara mereka pergi.
***